Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memperkirakan ada defisit sekitar Rp 20 triliun yang dialami oleh perusahaan. Defisit tersebut terjadi selama tahun 2024. Namun, ia mengklaim bahwa besaran tersebut belum dipastikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ga banyak (defisit). Mungkin sekitar Rp 20 triliun tahun ini,” ujar Ghufron ketika ditemui di gedung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Senin, 11 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ghufron menambahkan, tahun ini Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) dari BPJS Kesehatan pada 2024 ini mencapai Rp 176 triliun. Besaran tersebut, kata Ghufron, ada kemungkinan dihabiskan hampir keseluruhannya. Sedangkan pada 2023 lalu, total belanja yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp 153 triliun.
“RKAT kami tahun 2024 ini sampai akhir Desember itu Rp 176 triliun. Kami targetkan kurang dari Rp 176 triliun, kurang dikit, tapi kira-kira Rp 176 triliun spending-nya,” ucap Ghufron kembali.
Ghufron mengakui ada kemungkinan gagal bayar yang dialami oleh BPJS Kesehatan di tahun 2026. Namun, ia menilai, hal tersebut mustahil terjadi di tahun 2025. Maka untuk menghindari terjadinya gagal bayar tersebut, Ghufron telah menyiapkan beberapa rencana penyesuaian yang akan dilakukan oleh perusahaan.
“2025 ga mungkin (defisit), (potensinya) di 2026. Makanya kan 2025 mau disesuaikan,” katanya.
Permasalahan terkait defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan juga disebutkan oleh Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby. Ia mengatakan, biaya yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan lebih besar dibandingkan pemasukan yang didapatkan dari pembayaran premi bulanan oleh peserta.
“Antara biaya (pengeluaran) dengan premium itu bisa lebih tinggi biaya. Maka aktuaria loss ratio kita sebut adalah menjadi di atas 100 persen,” ujarnya.
BPJS Kesehatan menyebutkan bakal menghadapi potential loss hingga triliunan rupiah. Hal ini disebabkan banyak peserta BPJS Kesehatan yang tidak aktif membayar preminya. Setidaknya, ada sekitar 50 juta dari total peserta BPJS Kesehatan yang tidak aktif.