Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soenjono Dardjowidjojo
Dari tiga ikrar 28 Oktober 1928, yang masih belum digoyang hanyalah bahasa nasional kita. Warisan ini harus dipertahankan dan dikembangkan agar dapat menjadi bahasa yang secara global kompetitif. Untuk itu perlu pengembangan yang mengarah ke masa depan, terjauhkan dari sikap yang syofinistis (chauvinistic). Kita harus belajar dari sejarah dunia dan memetik hikmahnya.
Kita tak mungkin terlepas dari sejarah perkembangan bahasa di dunia. Bahasa Inggris (BIng) berkembang karena pengaruh banyak bahasa lain: Latin seawal tahun 55 SM, dan bahasa orang Angles, Saxons, Frisians, dan Jutes dari daratan Europah. Tahun 800-an BIng menyerap unsur Skandinavia dengan mengadopsi kata seperti ill, gugus konsonan /sk/ skin, dan sufiks –s (walks, ). Tahun 1066 kelompok Norman menduduki Inggris—mulailah bahasa Prancis (BPr) membelah masyarakat Inggris menjadi dua kelompok: rakyat yang memakai BIng, dan kaum bangsawan yang memakai BPr. Namun, kodrat persentuhan alami tidak dapat dicegah: masuklah ke BIng banyak kata Prancis seperti crown, cardinal, captain, dress, dan prose.
Kolonisasi Inggris telah pula membuat BIng menyerap kata asing seperti totem, chili, potato, curry, boomerang, dan bamboo dari bahasa Indian, Mexico, Cuba, India, Australia, dan Melayu. BIng telah menyerap kata dari 350 bahasa dan 75 persen kosakata BIng masa kini berasal dari bahasa asing.
Bahasa Indonesia (BInd) juga tidak berbeda. Banyak kata asing yang telah kita serap: dewa, bendera, kabar, kamar, mi, yang kini terus berlanjut. Sebagian linguis menganggap hal ini ”pencemaran”—karena itu, harus dicegah! BInd harus disucikan! Pandangan dari tahun 1940-an ini masih diteruskan: kita harus mencari padanan dalam BInd umum, BInd purba, bahasa daerah, dan bahasa serumpun sebelum mengadopsi kata asing. Nama toko, pusat belanja, perumahan, dan sebagainya tidak boleh dalam bahasa asing.
Pemikiran seperti ini menunjukkan kurangnya pengetahuan mengenai sejarah bahasa. Akademi bahasa di Italia, Prancis, dan Inggris telah gagal men-”suci”-kan bahasa mereka. Sisi lain yang ”terlupakan” adalah bahwa kata tidak hanya punya makna denotatif, tetapi juga konotatif. Kita harus bertanya mengapa pengembang menamakan kompleks perumahan River Side Estate dan bukan Perumahan Pinggir Kali?
Dalam leksikon mental, kali punya fitur semantik kotor, bau, butek, sampah, tahi, dan seterusnya. Pinggir Kali menggambarkan kekumuhan: becek, rumah kardos, kakus bambu, dan sebagainya. Siapa yang mau membeli rumah pinggir kali? Meskipun River Side = Pinggir Kali, dari segi pengembang hunian kata Inggris ini bernuansa lain. Juga, tukang potong rambut di Barber Shop tidak ingin disamakan dengan tukang becak atau tukang copet. Orang juga akan merasa afdol temu kencan di Cafe Batavia daripada di Warung Betawi. Kenapa? Karena kata punya fitur semantik psikologis.
Memurnikan BInd dengan mencegah kata asing bukan hanya bertentangan dengan kodrat, tetapi juga menjauhkan kita dari masa depan. Tentu saja kita tidak boleh gegabah menerima kata asing begitu saja. Ada aturan yang perlu diperhatikan seperti ejaan dan lafal: computer > komputer dan kompyuter > komputer. Tidak ada salahnya memakai kata padanan, asalkan kata ini dipakai sebagai sinonim untuk memperkaya BInd. Kata memantau dan sangkil perlu kita sambut positif sebagai sinonim untuk memonitor dan efisien. Tetapi, memaksa orang mengganti metode dengan padika, objektif dengan kepros, dan bangkrut dengan jombrot mencerminkan pola pikir yang keliru arah.
Penentu kosakata bukanlah Pusat Bahasa atau undang-undang, tetapi masyarakat pemakai bahasa itu sendiri. Masuknya kata asing bukan hal yang eksklusif pada BInd. Semua bahasa mengalami proses yang sama. Kita hanya tinggal mengatur bagaimana memanfaatkannya untuk menyongsong hari esok. Hindarilah ultra-nasionalisme agar tidak tercebur ke syofinisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo