Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Politikus Amerika Serikat memakai dolar untuk kepentingan mereka.
Mayoritas sistem pembayaran dunia masih memakai dolar.
Infrastruktur pembayaran dalam dolar Amerika Serikat sudah mapan.
AKHIRNYA, para politikus di Amerika Serikat berhasil memecah kebuntuan soal batas utang pemerintah. Pekan lalu, Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang baru yang memungkinkan pemerintah Amerika menambah utang sehingga tak mengalami gagal bayar. Pasar keuangan sedunia selamat dari kekacauan. Dolar Amerika Serikat pun kembali perkasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati pasar lega, ada ironi amat dalam yang terasa. Hanya karena tarik-ulur kepentingan politik domestik di Amerika Serikat, nilai aset finansial di seluruh dunia terombang-ambing berbulan-bulan, mengaduk-aduk nasib miliaran orang. Dan tak cuma untuk kepentingan politik lokal, para politikus Amerika kerap memakai dolar sebagai senjata penekan di arena geopolitik global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rusia, Libya, Suriah, Iran, hingga Venezuela adalah beberapa negara yang tengah terkena sanksi pemerintah Amerika Serikat yang menggunakan dolar sebagai senjata. Itulah akibat buruk dominasi dolar Amerika terhadap ekonomi dunia. Hingga bertahun-tahun ke depan, semua negara di dunia sepertinya masih harus menelan realitas pahit ini. Posisi dolar sebagai mata uang utama dunia belum tergantikan.
Selama mayoritas pembayaran perdagangan ataupun transaksi utang-piutang lintas negara masih memakai dolar Amerika Serikat, baik korporasi maupun pemerintah di seluruh dunia akan selalu membutuhkan mata uang itu. Itulah sebabnya bank sentral di seluruh dunia tetap harus menyimpan sebagian besar cadangan devisanya dalam dolar Amerika. Jika bank sentral suatu negara tak punya cadangan dolar dalam jumlah yang cukup, ekonomi negara itu bisa terisolasi dari transaksi internasional. Nilai tukar mata uangnya juga bisa merosot.
Pemimpin di berbagai negara bukannya tak ingin mengakhiri dominasi dolar Amerika Serikat yang tak adil dan amat mengesalkan ini. Makin banyak upaya untuk beralih dari mata uang itu. Misalnya, awal Mei lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Gubernur Bank of Korea Rhee Chang-yong meneken nota kesepakatan untuk mendorong penggunaan rupiah dan won sebagai alat pembayaran transaksi bilateral. Dua pekan berikutnya, di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, ASEAN bersepakat mendorong perbaikan konektivitas pembayaran regional dan transaksi dengan mata uang lokal di antara negara-negara anggotanya.
Di tingkat global, tren yang sama tengah terjadi. Brasil dan Cina sudah meneken kesepakatan untuk meningkatkan pemakaian mata uang masing-masing dalam perdagangan kedua negara. April lalu, India dan Malaysia mengikat kesepakatan serupa. Lebih jauh lagi, negara-negara yang tergabung dalam akronim BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) sedang merancang suatu mata uang bersama pengganti dolar Amerika Serikat sebagai alat pembayaran transaksi mereka.
Berbagai kerja sama bilateral dan multilateral semacam itu sebetulnya bukan baru muncul akhir-akhir ini. Namun, sejauh ini, cita-cita dedolarisasi itu masih jauh dari realitas. Menurut data mutakhir Bank of International Settlement, 88 persen transaksi antarnegara masih memakai dolar Amerika Serikat sebagai alat pembayaran, kendati transaksi itu tak melibatkan pemerintah ataupun perusahaan Amerika.
Ini realitas di pasar yang masih sulit berubah. Sebab, infrastruktur finansial untuk memfasilitasi pembayaran dalam dolar Amerika Serikat memang sudah mapan. Sistem itu efisien: ongkosnya murah, prosesnya cepat, dan menjangkau semua pelosok dunia. Pada akhirnya, hukum pasar juga yang membuat dominasi dolar terus terpelihara.
Jika ada sistem pembayaran yang memudahkan dan menguntungkan, pasar tak akan mencari pengganti meski politikus menghendaki. Demi menikmati kemudahan dan efisiensi, pasar pun mengabaikan satu titik lemah sistem pembayaran internasional itu. Semua bank yang menangani transaksi internasional menggunakan dolar harus mempunyai rekening di Amerika Serikat. Rekening-rekening ini sangat rentan menjadi sasaran blokir jika pemerintah Amerika menjatuhkan sanksi pada negara mana pun dengan alasan apa pun.
Kini para politikus di berbagai negara dan pemimpin bank-bank sentral makin keras berupaya membongkar dominasi dolar Amerika Serikat yang tak adil itu. Mereka tidak sedang berperang dengan Amerika, tapi mereka melawan kekuatan pasar yang enggan meninggalkan zona nyaman. Entah sampai kapan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lantaran Pasar Kecanduan Dolar"