Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENAYAN, kantor Dewan Perwakilan Rakyat kita, bak tempat persembunyian aman bagi pelaku kekerasan seksual. Tiga laporan tentang perbuatan pidana itu oleh tiga anggota DPR sepanjang 2021-2022 menguap hingga kini. Meski para korban sudah melapor ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan Kepolisian RI, penyelidikan ketiga kasus itu berjalan lambat. Salah satu perkara bahkan dihentikan penanganannya dengan alasan minim bukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus paling anyar menimpa istri siri mantan anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Bukhori Yusuf. Korban juga sudah melapor ke Markas Besar Kepolisian RI pada Mei lalu. MKD tak kunjung menggelar pemeriksaan etik dengan alasan Bukhori sudah mengundurkan diri dari DPR setelah pemerkosaan dilaporkan. Sidang Dewan Syariah PKS bahkan menyimpulkan pelecehan tak pernah terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Mesakh Mirin, juga dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Polri pada Oktober 2021 karena dituduh memperkosa keponakan istrinya yang masih di bawah umur. Saat ini kasusnya mandek. Kasus serupa menjerat Debby Kurniawan, anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat. Ia diadukan ke polisi karena dituding berkali-kali memperkosa bawahannya. Tapi polisi menghentikan penyelidikannya. Ketiganya memang membantah semua tuduhan.
Status anggota DPR saat dugaan kekerasan dilakukan para tertuduh membuat mereka di atas angin. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada 2015, pemeriksaan kasus pidana yang melibatkan anggota DPR, MPR, dan DPD harus mendapat persetujuan tertulis presiden. Aturan ini membuat anggota DPR seolah-olah kebal hukum. Di sisi lain, pembuktian kasus kekerasan seksual lebih sulit karena acap kali minim saksi.
Hubungan relasi kuasa juga kerap muncul dalam kasus pemerkosaan. Awalnya ketiga korban tak berani melawan karena memiliki ketergantungan ekonomi pada pelaku. Mereka melapor setelah tak tahan berkali-kali dilecehkan. Itu sebabnya pemberian hukuman kepada pelaku menjadi sangat penting. Umumnya korban kekerasan seksual mengalami trauma mendalam. Hingga kini, salah seorang korban anggota DPR yang sudah bersuami kesulitan beraktivitas karena menderita gangguan psikologis.
Tiga kasus pemerkosaan yang melibatkan anggota DPR itu patut ditandai sebagai alarm peringatan bahwa kasus pemerkosaan masih menjadi ancaman terbesar bagi perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat laporan pelecehan seksual sepanjang 2022 meningkat menjadi 11.016 kasus, dari 8.800 perkara pada Januari-November 2021. Sebagian korban masih anak-anak.
Baca liputannya:
Kementerian mengumpulkan data ini hanya dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak. Ibarat gunung es, masih banyak kasus pemerkosaan yang terjadi lalu menguap selepas pelaku berdamai dengan korban.
Penegak hukum harus menjunjung tinggi keadilan tanpa pandang bulu. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebenarnya sudah memberikan tuntunan agar pencegahan dan penanganan kasus pelecehan seksual menjadi lebih efektif. Penghentian perkara justru membuat korban menderita berkali-kali, bahkan mengalami trauma berkepanjangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo