Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dolar Melemah, Jepang Meradang

The Fed mempertahankan kebijakan suku bunga rendah. Investor meninggalkan dolar. Nilai tukar uang hijau ini pun rontok. Jepang yang paling dirugikan.

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERMULA dari notulen rapat Federal Open Market Committee yang dirilis di situs mereka, Selasa pekan lalu. Catatan hasil rapat komite 3-4 November 2009 itu berisi resume proyeksi ekonomi yang dibikin anggota Dewan Gubernur dan Presiden Federal Reserve Bank, Amerika Serikat.

Dalam pembahasan kebijakan moneter ke depan, mereka sepakat tidak ada perubahan target. Pemulihan ekonomi berjalan perlahan dan terus berlanjut. Namun pengangguran akan tetap tinggi selama beberapa tahun mendatang. Tingkat inflasi pun akan konsisten di level bawah. Kesimpulannya, perekonomian akan berada di tingkat yang sangat rendah untuk jangka waktu yang panjang. Karena itu, mereka memutuskan mempertahankan suku bunga di kisaran 0-0,25 persen.

Pasar langsung merespons. Investor ramai-ramai meninggalkan mata uang Negeri Abang Sam itu. Nilai tukar dolar langsung rontok terhadap enam mata uang utama dunia seperti yen, pound sterling, dan euro. Puncaknya, Kamis pekan lalu, dolar jatuh terhadap yen ke level terendah sepanjang 14 tahun terakhir. Dolar terlempar di posisi US$ 86,51 per yen di perdagangan ­Tokyo, terendah sejak Juli 1995.

Pedagang valas ikut repot. Mereka jadi ekstra-melotot, memantau perge­rakan dolar, agar tak kehilangan momen. Sekali terlena, fulus bisa hangus. Emas ikut pula terdorong. Komoditas yang sedang kinclong-kinclongnya ini makin mengkilap. Ini lantaran beberapa investor melego dolar untuk membeli emas. Kamis pekan lalu, Bloomberg mencatat harga emas di pasar spot US$ 1.193,10 per troy ounce, naik US$ 4,5.

Pemerintah Jepang pun ”mencak-mencak”. Menteri Keuangan Hirohisa­ Fujii mengatakan yang terjadi seka­rang adalah pelemahan dolar, bukan­ penguatan yen. Tapi toh faktanya sama. Penguatan yen atau pelemahan dolar­ berarti sebuah sinyal buruk perekono­mian Jepang. Sebab, daya saing per­usahaan-perusahaan Jepang pun melorot. Yang paling terpukul tentu saja per­usahaan otomotif dan elektronik, yang selama ini menguasai pasar dunia. Mereka bakal kehilangan pendapatan dalam jumlah besar dari ekspor.

Neraca perdagangan Jepang tercatat surplus, per 30 September 2009, sebesar 807,1 miliar yen, setelah pada periode yang sama tahun lalu defisit 75 miliar yen. Tapi pada Oktober kondisi berbalik lagi. Departemen Keuangan meri­lis ekspor Jepang melemah 23,2 persen menjadi 5,31 triliun yen dibanding tahun lalu. Penurunan ekspor terjadi antara lain pada besi. Sebaliknya, impor tumbuh 35,6 persen menjadi 4,5 triliun yen. Terhadap Amerika, neraca perdagangan Jepang terhitung surplus 27,7 persen pada Oktober menjadi 369,6 miliar yen.

Penguatan yen juga menekan bursa saham Jepang. Indeks Nikkei N225 datar di posisi rendah. ”Pasar mengalami double whammy atas penguatan yen dan peng­umuman deflasi pemerintah,” kata Fumiyuki Nakanishi, manajer SMBC Friend Securities di Tokyo. Deflasi, menurut Fumiyuki, bisa mengarah pada koreksi perkiraan harga penjualan oleh korporasi dan memperkecil keuntungan.

Presiden Panasonic Corp., Fumio Ohtsubo, menggambarkan apresiasi yen sebagai pukulan keras bagi Jepang, yang ekonominya masih lemah. Karena itu, Hirohisa Fujii mengatakan, pemerintah Negeri Sakura akan mengambil langkah yang tepat jika nilai tukar mata uang asing bergerak tidak normal. Pada gilirannya, penguatan yen ini bakal memukul proses pemulihan yang sedang terjadi di sana.

Bukan kali ini saja dolar Amerika loyo. Pada Mei 2009, dolar jatuh akibat keprihatinan atas peringkat Amerika Serikat, setelah Inggris melakukan koreksi terhadap proyeksi tahun depan. Dolar makin tertekan lantaran Menteri Keuangan Jepang—saat itu Kaoru Yosano—mengatakan pemerintah tidak berpikir tentang intervensi ke pasar uang. Dolar­ turun 0,4 persen menjadi 94,08 yen. Memburuknya keuangan juga menekan dolar di perdagangan Asia.

Menurut Purbaya Yudhi Sadewa, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, pelemahan dolar ini akan berlanjut hingga beberapa bulan ke depan.­ Sebab, ketika pemulihan ekonomi global makin nyata, posisi save heaven—dolar sebagai tempat investasi yang aman—menjadi berkurang. Ini yang membikin investor kabur, sehingga dolar melemah. Pada saat yang sama, Amerika mencetak uang banyak-banyak. Akibatnya terjadi kelebihan likuiditas di pasar.

Kebijakan suku bunga The Fed, yang selalu disorot para investor, juga menjadi pemicu gonjang-ganjing do­lar. Keputusan mereka mempertahankan suku bunga The Fed di level rendah, menurut Yudhi, didasarkan atas kon­disi inflasi. Saat ini inflasi Amerika masih negatif alias deflasi. Pertumbuh­an ekonomi juga relatif rendah. Dilihat dari situ, kebijakan suku bunga rendah memang layak dipertahankan.

Apalagi perekonomian Amerika masih negatif kendati jika dilihat antarkuartal tetap menunjukkan gejala positif. Dari kuartal kedua ke kuartal ketiga, misalnya, ekonomi Amerika tumbuh 25 persen. Artinya, menurut Yudhi, tidak ada alasan bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga saat ini. Suku bunga akan dinaikkan bila laju pertumbuhan ekonomi berada di sekitar pertumbuhan potensial untuk jangka waktu lama, sekitar 3 persen. ”Dan ketika tekanan inflasi mulai naik.”

Agaknya, Federal Reserve juga tidak khawatir terhadap gonjang-ganjing ­dolar. Mereka sudah memperkirakan kemungkinan efek negatif dari kebijakan mempertahankan suku bunga rendah, termasuk risiko di pasar uang. Menurut Yudhi, Amerika memang tidak terlalu memakai nilai tukar sebagai patokan utama. Mereka terus mencetak uang. Selama orang masih mau menyimpan dolar sebagai instrumen investasi, berarti masih aman.

Pabrikan Amerika Serikat juga menikmati pelemahan dolar ini. Jebloknya nilai tukar dolar justru menjadi berkah buat eksportir Amerika. Barang-barang mereka menjadi lebih kompetitif di pasar dunia, terutama menghadapi pesaing mereka dari kawasan Eropa dan Jepang. Harga barang terasa murah karena konsumen di mancanegara tak perlu me­rogoh kantong terlalu dalam untuk membeli barang produksi Amerika. Tentu saja ini akan mendorong perekonomian negeri ini makin cepat berlari.

Dalam soal ini, Jepang memang layak jengkel. Bagaimanapun, merekalah­ salah satu kompetitor Amerika di pasar­ dunia, terutama produk otomotif dan elektronik. Sony Corporation, misalnya, sudah menghitung, setiap nilai tukar dolar melemah terhadap 1 yen, pendapatan mereka berkurang 1 miliar yen atau sekitar US$ 11,4 juta. Itu sebabnya, Sony kini makin banyak menggunakan mata uang lain untuk mengurangi dampak buruk pelemahan dolar.

Kini, Perdana Menteri Yukio Hatoyama mendapat tekanan dari banyak pihak untuk melakukan intervensi. ”Pe­nguatan yen ini problem bagi kami,” kata Ketua Asosiasi Baja dan Besi Jepang Shoji Muneoka. Pemerintah harus mengambil tindakan untuk menjaga agar yen tidak menguat terus-menerus. Jepang terakhir mengintervensi pasar uang pada 2004.

Retno Sulistyowati (AP, AFP, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus