Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Minim Partisipasi Publik Aturan Sedimentasi Laut

Sebulan sejak PP Nomor 26 Tahun 2023 diteken, DPR masih awam soal aturan mengenai sedimentasi laut itu. Apa penyebabnya?

13 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kapal penambang pasir laut di perairan Lampung Selatan, 2019. Dok. Walhi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • DPR mempertanyakan penerbitan PP Nomor 26 Tahun 2023 soal sedimentasi laut yang minim transparansi dan partisipasi publik.

  • Kementerian menyebutkan PP No. 26/2023 tak akan berjalan sebelum ada aturan turunan.

  • Pakar meminta pelaksanaan PP itu ditunda.

JAKARTA – Rendahnya transparansi dan partisipasi publik menjadi persoalan yang disoroti dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengangkat masalah terbitnya aturan sedimentasi laut tersebut dalam rapat bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, kemarin, 12 Juni 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga aturan ini diteken Presiden Joko Widodo pada 15 Mei lalu, anggota Komisi Kelautan DPR, Slamet, berujar belum pernah mendengar adanya rancangan PP yang melibatkan publik. "Kami pun tahunya langsung muncul PP. Biasanya rancangan PP, ya, minimal ada angin-angin sayup terdengar bahwa akan ada PP," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Slamet khawatir kurang transparannya proses pembentukan PP tersebut menimbulkan adanya penumpang gelap. Karena itu, kata dia, pembahasan PP dan aturan turunannya perlu dilakukan secara terbuka. PP itu pun dianggap perlu diuji publik. Misalnya, soal dasar aturan hingga jurnal-jurnal ilmiah yang menjadi acuan terbitnya aturan tersebut.

Musababnya, Slamet melihat masih banyak keraguan dan potensi dampak terhadap lingkungan akibat aturan tersebut. Ia pun khawatir nantinya pengawasan terhadap penerapan aturan yang membuka keran ekspor pasir laut tersebut lemah sehingga justru hanya akan menguntungkan kelompok tertentu, alih-alih memberi dampak positif bagi negara. "Jadi, saya mengusulkan agar PP ini kemudian harus disampaikan kepada minimal Komisi IV karena kami tidak melihat adanya RPP hukum dan diajukan ke publik," kata Slamet.

Senada dengan Slamet, anggota Komisi Kelautan DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema, mempersoalkan minimnya partisipasi publik dalam pembentukan aturan tersebut. Ia mengatakan partisipasi masyarakat, transparansi, dan konsultasi publik harus dilakukan kendati pembentukan PP adalah ranah lembaga eksekutif. "Ini perlu juga dibuka sehingga kemudian kami ini tidak gelap gulita soal adanya PP ini," tutur dia.

Terlebih, kata dia, PP tersebut membuka keran ekspor pasir laut yang selama 20 tahun belakangan ditutup. Karena itu, ia mengatakan publik perlu mengetahui alasan fundamental dan kepentingan di balik penerbitan aturan tersebut.

Alasan Ekspor Pasir Laut Dilarang

Warga Desa Suka Damai menolak tambang pasir laut di Rupat Utara, Bengkalis, Riau, 24 Desember 2021. Dok. Masyarakat via Walhi Riau

Yohanis mengingatkan, pada 2003, ekspor pasir laut dilarang lantaran dianggap menyebabkan kerusakan lingkungan, abrasi, kemusnahan ekosistem laut, hingga hilangnya pulau-pulau kecil. Belum lagi, pasir yang banyak dijual untuk reklamasi Singapura tersebut justru membuat wilayah negara tetangga itu semakin besar sehingga berpotensi memicu konflik batas wilayah.  

"Pertanyaan saya, apakah alasan pelarangan ekspor pasir laut yang saya sebutkan tadi pada hari ini sudah tidak kontekstual alias tidak lagi relevan, sehingga keran ekspor pasir laut itu hari ini diperbolehkan?" kata Yohanis. Ia pun mempertanyakan ada-tidaknya kompensasi bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang terancam lantaran adanya potensi kerusakan ekologi akibat aktivitas pengambilan sedimen nantinya.

Sorotan-sorotan serupa pun muncul dari para anggota Komisi Kelautan DPR lainnya. Dalam kesimpulan rapat kemarin, DPR meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan diskusi grup terfokus (FGD) dengan Komisi Kelautan serta melibatkan pakar, akademikus, dan para pemangku kepentingan untuk mencari solusi terbaik mengenai PP No. 26/2023. "Mengingat adanya polemik di masyarakat," kata Wakil Ketua Komisi Kelautan DPR Anggia Ermarini, membacakan salah satu poin kesimpulan rapat. 

Atas banyaknya kritik dan pertanyaan dari anggota DPR tersebut, Menteri Sakti Wahyu Trenggono mengklaim filosofi pembentukan aturan tersebut adalah memastikan sumber pasir untuk berbagai proyek reklamasi diambil dari lokasi yang tidak merusak lingkungan dan memberikan pemasukan bagi pemerintah melalui penerimaan negara bukan pajak. Di samping itu, ia mengatakan pengelolaan sedimen diperlukan agar tidak mengganggu ekosistem laut, terumbu karang, hingga padang lamun.

Ekspor, ia melanjutkan, hanyalah salah satu pemanfaatan hasil sedimentasi yang diatur dalam aturan tersebut. Itu pun diperbolehkan apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. Nantinya, perencanaan pengambilan sedimentasi ini pun diklaim akan dikaji mendalam oleh tim pengkaji yang berasal dari berbagai instansi pemerintah, perguruan tinggi, bahkan pegiat lingkungan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono berbicara dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Jakarta, 12 Juni 2023. Dok. KKP

Menyitir PP No. 26/2023, tim ini akan bertugas membuat dokumen perencanaan yang memuat sebaran lokasi prioritas, jenis mineral, dan volume hasil sedimentasi di laut, prakiraan dampak sedimentasi terhadap lingkungan, upaya pengendalian dan rencana pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, serta rencana rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

Trenggono mengatakan nantinya hanya lokasi yang mengandung sedimen sesuai dengan ketentuan tersebut yang dapat dieksploitasi. Pengambilan pasir pun tidak boleh merusak lingkungan sehingga alatnya juga akan dipastikan oleh tim pengkaji tersebut. 

Aturan Turunan PP Sedimentasi Laut Disiapkan

Namun demikian, sebelum itu dilakukan, Trenggono berujar aturan turunan dari PP tersebut akan menjadi kunci pelaksanaan ketentuan program pengelolaan sedimentasi laut. Ia pun sepakat perlu ada FGD guna menjaring banyak masukan untuk pembentukan aturan teknis yang lebih rinci. "PP ini tidak akan bisa apa-apa, tidak akan bisa dijalankan apabila tidak ada aturan turunan teknisnya," katanya.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan, Victor Gustaaf Manoppo, mengimbuhkan bahwa saat ini kementeriannya masih berfokus menjaring masukan untuk aturan turunan dari PP tersebut. Ia berujar beberapa forum telah digelar untuk mendengar masukan dari pemangku kepentingan, dari masyarakat di daerah, pelaku tambang pasir laut, pegiat lingkungan, bahkan perusahaan pengerukan.

"Kami menampung kekhawatiran dan masukan dari teman-teman. Kami akan jawab di permen (peraturan menteri). Enggak akan jalan PP tanpa permen," ujarnya. Sejauh ini, beberapa masukan yang banyak disuarakan antara lain tuntutan agar pengambilan sedimen ini ramah lingkungan dan dilakukan di lokasi yang tepat.

Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Yonvitner, meminta pemerintah menunda implementasi PP No. 26/2023 sampai ada data teknis yang memadai. Beberapa pengkajian teknis yang perlu dilakukan untuk naskah akademik antara lain tentang potensi dan cadangan hasil sedimen, identifikasi rencana kebutuhan, hingga analisis risiko. Ia pun menyarankan adanya uji kelayakan publik yang memadai atas aturan ini. 

Musababnya, kata dia, kebijakan ini berpotensi memiliki risiko lingkungan dan sosial, seperti hilangnya daerah penangkapan nelayan, daerah pemijahan ikan, daerah nursery, serta daerah ikan mencari makan. Selain itu, sedimen berupa lumpur selama ini menjadi sumber makanan bagi biota dasar laut, seperti kepiting, rajungan, dan ikan dasar laut, sehingga perannya vital.

Yonvitner berujar kajian PKSPL-IPB pada 2003 menunjukkan biaya yang dikeluarkan untuk setiap 1 meter kubik setara dengan 5 persen dari harga yang diperoleh dari penjualan pasir laut. "Artinya, jika biaya produksi Rp 1, diperlukan Rp 5 biaya pemulihan ekosistem dan lingkungan," kata dia.

CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus