SUKU bunga perbankan bergerak naik -- sesudah turun lebih dulu -- dan ini membingungkan. Ada apa? Bukankah para pengamat memperhitungkan bahwa penurunan suku bunga akan berlanjut. Soalnya, ada sejumlah bank yang go public hingga memperoleh dana murah. Di samping itu, sejumlah perusahaan industri juga terjun ke pasar modal sampai bisa melunasi utang. Mereka, katakanlah, kekenyangan dana. Dan kalau itu benar, tak ada alasan untuk menaikkan suku bunga. Pada awal tahun ini, tampaknya, proyeksi tersebut benar. Namun, memasuki bulan April, suasana mulai panas karena lonjakan suku bunga call money pernah mencapai 35%. Dua pekan lalu, hal itu terulang lagi. Kendati suku bunga overnight masih bisa dijinakkan kembali, belakangan justru suku bunga deposito jangka panjang (6-12 bulan) yang merambat naik. Dan ini diawali oleh bank-bank pemerintah, yang biasanya dikenal sebagai barometer perbankan nasional. BNI, misalnya, awal Juni lalu masih memberi bunga 15,25% per tahun untuk bunga deposito 6 bulan -- sekarang bunga itu 16,50%. Langkah ini disusul oleh BCA yang ternyata sudah menaikkan bunga deposito 6 bulan dari 16,5% menjadi 17% per tahun. Citibank belum tergoda untuk "latah", tapi Bank of America sudah menaikkan bunga sekitar 0,5% untuk deposito 6 bulan. Pangkal masalahnya ada pada kredit likuiditas sekitar Rp 3 trilyun, yang jatuh tempo dan harus dibayar kembali kepada Bank Indonesia (TEMPO, 30 Juni 1990). Sekalipun begitu, tak urung ada yang bertanya, bagaimana pemerintah mengendalikan suku bunga. Soalnya, ada kesan bahwa otorita moneter -- dalam hal ini Bank Sentral -- cenderung menyerahkan mekanisme pasar uang kepada hukum pasar. Padahal, Bank Sentral diwajibkan berperan menetapkan tingkat dan struktur bunga, sesuai dengan UU Bank Sentral No. 13 tahun 1968. Dirut BRI Kamardy Arief, dalam keterangannya kepada TEMPO, menyatakan bahwa keadaan pasar sekarang ini memang mengharuskan kenaikan suku bunga. Kalau BRI menaikkan suku bunga, "Itu hanya hukum permintaan-penawaran saja," ungkap Kamardy. Langkah ini ditempuh BRI, antara lain disebabkan pangsa pasar deposito BRI yang sudah menurun. Sebelum Pakto, andil deposito BRI adalah 12,28%. Tapi pada awal tahun ini, menyusut jadi 8,26%. Jumlahnya memang naik dari Rp 2.445 milyar menjadi Rp 2.821 milyar. Itu berarti ada tambahan dana segar sekitar Rp 376 milyar -- toh oleh direksi BRI dianggap kurang. "Saya tidak boleh berhenti memberikan kredit kepada nasabah inti. Kalau dihentikan, mereka bisa lari," ujar Kamardy. Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy yang ditemui TEMPO di Medan pekan silam, membenarkan bahwa pengendalian suku bunga harus mengikuti pasar. Kata Dr. Mooy, demi mendorong perekonomian suku bunga memang harus rendah. Tapi, kalau inflasi kita lagi tinggi, kan perlu diketatkan. Dalam hal itu, suku bunga harus tinggi. "Sekarang tinggal mencari keseimbangan antara keduanya dan melihat apa situasi yang dihadapi. Masalah yang mendesak harus dipecahkan lebih dulu. Jadi, kita tidak bisa menganut policy yang dengan kaku mempertahankan suku bunga," kata Mooy pula. Ditambahkannya, suku bunga itu mirip harga. Kalau dananya banyak, harga turun. Bahwa beberapa kali terjadi gejolak dalam pasar uang antarbank, itu tersebab kelemahan struktural di dalam pasar uang di Indonesia. "Kalau di luar negeri, bank-bank yang menyuplai dana dengan bank-bank yang mencari dana, biasanya tak ada yang disebut langganan," kata Mooy. Artinya, setiap bank sekali waktu bisa menjadi pemasok, lain kali bisa menjadi yang membutuhkan. Sedangkan di Indonesia, sejak dulu hanya bank pemerintah yang menjadi pemasok, bank swasta cuma menerima. Bahkan, ada bank yang terus-menerus menyusu pada bank pemerintah. "Mereka nggak mau capek-capek mengerahkan dana masyarakat. Jadi, mereka pinjam terus dari pasar uang. Dari situ, dia kasih kredit lagi," kata Mooy. Padahal, pinjaman antarbank mestinya hanya sebagai pelengkap. "Sekarang ini kan dana terus-menerus dari si A kepada si B. Kalau ada apa-apa pada si A, si B bisa hancur," kata Gubernur Bank Sentral, prihatin. Nah, penyakit itulah yang antara lain hendak disembuhkan oleh Pakto. Lewat paket deregulasi ini, Pemerintah memberikan keleluasaan kepada bank-bank swasta untuk menghimpun dana masyarakat. Paket Januari 1990 bahkan mempersempit gerak bank-bank pemerintah, melalui penarikan kredit likuiditas. Dengan demikian, Pemerintah mengharapkan akan ada keseimbangan antara bank swasta dan bank pemerintah. "Kita harapkan, dalam waktu tak terlalu lama, pasar uang kita bisa berkembang sehat," demikian Dr. Mooy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini