INILAH gebrakan 1990 dari Institut Teknologi Bandung: empat lembaga terkemuka (Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, Organisasi Konperensi Ilmu Regional Pasifik (PRSCO), University of Illinois, dan National Science Foundation) membicarakan masalah ekonomi dunia selama dua hari di aula kampus Ganesha itu. "Konperensi ini diadakan untuk mengantisipasi dampak globalisasi ekonomi di kawasan Pasifik," kata B.S. Kusbiantoro, ketua panitia konperensi. Memahami dampak proses globalisasi ekonomi, yang telah mendorong bangkitnya perekonomian negara-negara di Lautan Teduh, ujarnya lagi, penting dalam merumuskan strategi pembangunan nasional secara tepat. Pembicara pada konperensi yang bertema Public-Private Partnership for Urban, Regional, and Economic Development in the Pacific Rim ini antara lain Prof. Sadli (Universitas Indonesia), Prof. Robert Cervero (University of California, Berkeley), Prof. Karren Polenska (Massachusetts Institute of Technology), Roy Powell (University of New England, Australia), Prof. Nigel Harris (University College, London), Prof S. Soegijoko (Bappenas), Buddhy Tjahjati (ITB), Alec Hansen (Policy Consultant, Development Studies Project, Jakarta). Tak heran jika Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Prof. Saleh Afiff menyambut hangat konperensi yang menghadirkan ahli-ahli terkemuka dari berbagai kampus tersebut. Ia menilai, tema kerja sama pemerintah dan swasta untuk pembangunan kota, wilayah, dan ekonomi, sangat tepat karena pemerintah Indonesia memang sedang merangsang kerja sama dengan swasta. Menurut Menteri Saleh Afiff, hasil kerja sama yang sudah tampak dalam pembangunan swasta yang selama ini diandalkan bergerak langsung dalam investasi produksi, mulai diarahkan dalam pembiayaan serta pengoperasian infrastruktur dan peningkatan keterampilan. Pembuatan jalan tol dan pembangunan kawasan industri (segera diperluas ke bidang pembangkit tenaga listrik dan telekomunikasi) sudah dilakukan oleh swasta. Mereka juga menunjukkan minat swasta membangun pelabuhan dan proyek air minum. Penyerahan proyek-proyek infrastruktur itu kepada swasta, kata Saleh Afiff, akan dilakukan secara hati-hati. Pembangunan proyek air minum, misalnya, tak boleh mengabaikan peran kaum penjual air minum kalengan. Peran para operator minibis, bajaj, delman, dan becak di bidang angkutan perkotaan, juga peran pemulung sebagai penyapu sampah yang sulit dimusnahkan (misalnya plastik) tak bisa diabaikan. Tapi tak berarti pemerintah akan terus memelihara sistem tidak modern itu. "Jika pendapatan meningkat dan kota-kota memodernkan diri, kami akan secara bertahap mengganti pelayanan-pelayanan tersebut dengan aturan-aturan terorganisir secara formal dan berskala luas," kata Saleh Afiff. Swastanisasi jalan tol, suplai air minum, telekomunikasi, dan listrik, tak mungkin lepas dari soal tarif. Karena itu, tutur Menteri Saleh Afiff, pelayanan swasta tak mungkin diserahkan kepada ekonomi pasar. Tarif harus diatur pemerintah. "Namun regulasi itu akan lebih mudah melindungi produsen swasta atas biaya masyarakat pemakai jasa," tambahnya. Maka, Saleh Afiff merasa perlu menitipkan pertanyaan untuk dibahas dalam konperensi: Bagaimana pemerintah meyakinkan bahwa semua warga bisa menikmati jasa dan fasilitas dasar? Bagaimana cara pemerintah campur tangan ketika proses tak mungkin menangani ekonomi eksternal, diseconomies sampah, air minum, dan jasa-jasa lain? Bagaimana seharusnya pembagian tanggung jawab risiko dalam kerja sama pemerintah dengan swasta? Bagaimana cara terbaik dan efisien dalam memantau pembangunan serta pengoperasian infrastruktur? Di daerah mana seharusnya perusahaan swasta diatur dengan mengindahkan tingkat-tingkat penentuan harga dan jasa, dan kapan hal tersebut harus diserahkan kepada pasar? Prof. Sadli melontarkan masalah kesenjangan antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta kesenjangan antara Indonesia Bagian Barat (IBB) dan Indonesia Bagian Timur (IBT). Menurut Sadli, pangkal semua itu sebenarnya adalah situasi politik. "IBB mulai berkembang sejak zaman perkebunan (karet, teh, kopi, tembakau, dan gula) di Jawa dan Sumatera," kata Sadli. Ketika Indonesia merdeka, pemerintah lebih terlibat pada masalah politik dan pembangunan negara. Maka, waktu terjadi Perang Korea dan Perang Vietnam pada 1950-an, kita tak dapat memanfaatkan peluang-peluang ekonomi. Sebaliknya Muangthai dan Filipina. Waktu itu Indonesia justru melakukan tarik tambang dengan investor asing, yang berakhir dengan nasionalisasi perusahaan Belanda. Maka, pembangunan ekonomi dilakukan Indonesia waktu itu, kata Sadli, tak banyak. Dana ganti rugi perang Jepang digunakan untuk rehabilitasi ekonomi dan pembangunan hotel-hotel modern pertama di Jakarta dan Bali. Baru di masa Orde Baru, perbaikan dan pembangunan ekonomi mulai mendapatkan perhatian utama. Sejak 1967, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 7% per tahun. Tapi roda pembangunan ekonomi tetap lebih banyak bergerak di IBB, termasuk Kalimantan dan Bali. Baru belakangan ada kesadaran politis bahwa IBT perlu juga dikembangkan. Kesadaran politis ini ternyata menghadapi dilema: jumlah penduduk di wilayah IBT masih jarang dan infrastrukturnya masih langka. "Jika infrastruktur dibangun di sana, masih harus menunggu masyarakat bergerak ke situ (melakukan investasi) hingga berproduksi," kata Sadli. "Karena itu, ada spekulasi bahwa konsentrasi industri (di IBB) masih akan meningkat jadi lebih buruk." Ia minta forum mencari jawaban bagaimana seharusnya kebijaksanaan pemerintah, bagaimana seharusnya kerangka insentif serta investasi pemerintah untuk mendapatkan distribusi yang luas dari pembangunan. Permasalahan yang dilontarkan Saleh Afiff maupun Sadli belum menemukan jawaban dalam konperensi itu. Konperensi ini, menurut Ketua Jurusan Teknik Planologi ITB, Tommy Firman, tidak menghasilkan sesuatu yang spesifik. Untuk mendapatkan rumusan spesifik, ucap Kusbiantoro, perlu ada lanjutan konperensi. MW dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini