BAGAIKAN maraknya rokok kretek dengan bunyinya yang khas, ... kretek ... kretek, begitulah letupan persaingan antara dua raksasa: Sampoerna dan Gudang Garam (GG). Ironisnya, letupan itu tidak terjadi dalam tata niaga kretek, tapi malah di lantai Bursa Efek Jakarta. Lebih ironis lagi, pergesekan sudah terjadi, padahal yang baru terjun di bursa adalah saham Sampoerna. Akan halnya saham GG, baru akan diperdanakan akhir bulan ini. Tak jelas bagaimana latar kisahnya, namun dua raksasa kretek, GG dan Sampoerna, sudah diberitakan akan menjual saham dalam waktu berdekatan. Khalayak pun tahu, Sampoerna akan maju lebih dulu, disusul GG. Jumlah saham yang dijual terhitung ukuran gajah. GG akan menjual 57,8 juta lebih saham, sedangkan Sampoerna melepas 27 juta saham. Menjual saham sebanyak itu, jelas, bukan perkara mudah. Terlebih lagi, saat ini bursa sedang luber oleh pasokan saham yang terus mengalir. Bayangkan, nilai saham yang sudah tercatat di lantai bursa, seluruhnya mencapai Rp 12,829 trilyun -- hampir 30 persen dari APBN 1990/1991. Yakin akan keunggulan masing-masing, maka biarpun saham tengah melimpah, kedua pabrik kretek itu berani mematok harga tinggi. Sampoerna menawarkan Rp 12.600 per saham, GG sedikit lebih rendah: Rp 10.250. Wajar sekali bila para penjamin saham Sampoerna dan GG harus bekerja keras agar saham yang mereka jamin itu habis laris diserap pasar. Nah, beberapa perusahaan penjamin alias underwriter saham Sampoerna ternyata sudah "kecolongan" sebelum mereka sempat memasang perisai. PT Pentasena Arthasentosa, misalnya. "Yang terjual cuma 70 persennya saja," kata Tito Sulistio, Direktur Pelaksananya. Sebuah perusahaan sekuritas patungan juga hanya mampu melempar 60 persen dari jatahnya. Padahal, "Sebelumnya, pesanan yang mengalir cukup banyak, bahkan jatah saya sudah lewat," tutur direktur utama perusahaan itu. "Susah menjual, terutama untuk jatah dalam negeri," kata seorang eksekutif dari penjamin lain. Apa pasal? Rupanya, tiba-tiba banyak calon pemodal yang membatalkan pesanan terhadap saham Sampoerna. Biang keladinya -- ini menurut informasi dari kalangan underwriter -- tak lain tak bukan adalah promosi GG. Tepat pada hari pertama masa penawaran Sampoerna, 2 Juli lalu, muncul berita bahwa harga saham GG "cuma" Rp 10.250 per saham. "Banyak investor lalu membatalkan pesanannya. Mereka bilang mau menunggu GG saja," tutur Tito. Sesudah itu, terjadilah gerakan "domino runtuh" yang tak mungkin lagi dicegah. Dari sekitar 1.600 lembar formulir pesanan Sampoerna yang sudah disebar, cuma 10 persennya yang masuk. Tak cuma harga pesaing yang lebih murah yang menyebabkan Sampoerna terjerembab. Pada masa penawaran yang berlangsung sampai 12 Juli lalu, juga muncul fotokopi hasil riset Merrill Lynch tentang profil GG. Di situ tercantum enam alasan, mengapa investor sebaiknya memilih GG ketimbang Sampoerna. Keenam alasan itu ialah: GG adalah pemegang pangsa pasar terbesar produk GG beragam dibandingkan dengan Sampoerna yang 80 persen tergantung pada satu jenis produk utama proyeksi 1994 nanti GG akan menguasai 37 persen pasar, sedangkan Sampoerna cuma 18 persen GG sudah melakukan perluasan, tapi Sampoerna baru berencana dan tertinggal 18 bulan GG murni perusahaan rokok kretek, sedangkan Sampoerna masuk ke bidang lain. Terakhir, kretek A mild andalan Sampoerna tak akan berkembang cepat karena penggemar kretek -- yang kebanyakan orang desa dan berpendidikan rendah -- lebih suka rokok yang berkadar nikotin tinggi dan bukan rendah seperti Sampoerna A mild. Merrill Lynch, yang menjadi agen penjualan saham GG di luar negeri, juga menyebutkan bahwa masa penawaran GG akan dimulai 6 Juli 1990. Padahal, sampai pekan silam, izin penjualan saham GG belum dikeluarkan Bapepam. Buat Putera Sampoerna, Presiden Direktur Sampoerna, kiat berpromosi dengan membandingkan langsung seperti itu dinilainya kurang etis. Demikian juga soal penetapan harga "bantingan" itu. "Ini dilakukan pada saat Sampoerna sedang ditawarkan," tuturnya gemas. Beberapa alasan yang disebut Merril Lynch juga dibantahnya. Misalnya saja, soal diversifikasi usaha. "GG kan juga melebarkan usaha ke bidang nonkretek," kata Putera, sekadar menyebut contoh. Tetapi, menurut sebuah sumber sebenarnya 6 alasan yang disebui Merril Lynch itu bukan merupakan bagian dari profil perusahaan yang dibuat untuk konsumsi calon investor. "Enam alasan yang membandingkan GG dengan Sampoerna itu adalah memo intern yang bocor ke luar," kata sumber tadi. Membanding-bandingkan perusahaan sejenis yang sama-sama akan go public -- waktunya juga berdekatan -- ternyata bukan yang pertama kalinya terjadi. Dulu, hal yang sama pernah dilakukan oleh PT Inter Pacific Financial Corp. -- yang sekarang menjadi Penjamin Pelaksana penjualan saham Sampoerna -- ketika ia membandingkan Bank Bali dengan Bank Niaga. Apa pun sebabnya, banyak pihak menyesalkan peristiwa itu. Apalagi banyak penjamin emisi yang dirugikan. "Akan lebih bagus kalau mereka mengatur jadwal," kata seorang direktur, yang jatahnya tak terjual habis. Supari Dh., Presiden Direktur Inter Pacific, lebih suka diam. "Saya tak mau berkomentar," katanya lewat sekretarisnya. Demikian pula PT Danareksa dan Merincorp, yang menjadi penjamin utama GG. Keduanya lagi sibuk mengurus proses penjualan saham GG, yang dijadwalkan 21 Juli ini. Melihat "perang Sampoerna versus GG" itu, Ketua Bapepam Marzuki Usman juga tak dapat menahan gusar. "Mereka mestinya kan bisa bicara dulu," katanya. Ia memang tak bisa "mengadili" kasus ini terlebih lagi karena aturan mainnya memang belum ada. Dari pihak GG juga tak banyak penjelasan. "Tak ada itikad saling menjatuhkan," kata Yudiono Muktiwijoyo, salah seorang direkturnya. Soal harga yang dibanting? "Penetapan harga itu bukan mau-maunya GG sendiri," ia menjelaskan. Lalu kebocoran nota Merril Lynch itu, maunya siapa? Jalil Hakim dan Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini