Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denni P. Purbasari*
Drama harga bahan bakar minyak bersubsidi ini sejatinya belum berakhir meskipun Presiden Joko Widodo sudah menaikkannya pekan lalu. Masih ada sejumlah hal yang harus dibenahi. Ke depan, pemerintah Jokowi harus memikirkan pola penyesuaian harga BBM bersubsidi yang lebih baik. Idealnya, subsidi bukan diberikan kepada barang, namun orang—berdasarkan status kesejahteraannya. Mereka yang "berhak" bisa menebus BBM dengan harga yang lebih rendah sampai kuantitas tertentu per bulan.
Masalahnya adalah memutuskan garis pembeda tentang siapa yang berhak dan tidak ini pasti akan menimbulkan "keributan". Kalau sudah soal uang, sebagian orang tidak sungkan mengaku sebagai kaum tak mampu. Selain itu, kondisi kesejahteraan seseorang bisa berubah sewaktu-waktu. Situasi ini bisa menyebabkan adanya friksi di masyarakat dan memicu kegaduhan politik. Jadi lupakan opsi ini, setidaknya dalam lima tahun ini.
Yang bisa dilakukan adalah menetapkan besaran subsidi BBM jenis tertentu per liter, misalnya Rp 500-800 per liter, atau menetapkan besaran persentase subsidi BBM per liter, misalnya lima persen dari harga nonsubsidi. Dua cara ini lebih baik karena, selain membuat beban fiskal lebih dapat diprediksi, dapat membuat harga BBM bersubsidi bergerak lebih fleksibel sedikit demi sedikit—bukan melonjak tajam seperti yang sudah-sudah. Konsekuensinya, tidak perlu lagi ada kompensasi, pembentukan harga BBM bersubsidi menjadi lebih transparan, dan penurunan lebih lanjut dari harga minyak dunia dapat diakomodasi.
Dengan harga minyak dunia US$ 83 per barel dan kurs Rp 12.300 per dolar, misalnya, harga keekonomian per liter untuk Premium sekitar Rp 8.700 dan solar Rp 9.400. Artinya, dengan harga setelah kenaikan, subsidi untuk Premium hanya Rp 200 per liter atau 2,3 persen dan solar Rp 1.900 per liter atau 20,2 persen.
Jika harga minyak dunia terus turun, subsidi Premium bisa nol, bahkan negatif (tapi tidak negatif untuk tahun 2014 ini karena penurunan harga minyak dunia baru terjadi tiga bulan terakhir). Secara ekonomi, tak ada masalah dengan ini karena konsumsi BBM sesungguhnya menciptakan eksternalitas negatif seperti polusi, kemacetan, kerusakan jalan, serta pengurasan sumber daya yang tidak dapat diperbarui, dan karenanya perlu dipajaki—bukan justru disubsidi. Namun, secara politis, praktek ini barangkali masih sulit diterima.
Pemerintah Jokowi juga harus mengoreksi harga minyak tanah dan liquefied petroleum gas (LPG) tiga kilogram. Saat ini harga keekonomian minyak tanah Rp 8.800, sehingga dengan harga eceran Rp 2.500 per liter, subsidi minyak tanah mencapai Rp 6.300 per liter atau 71,6 persen dari harga penyediaannya. Bila konsumsi minyak tanah yang disubsidi tahun depan 0,85 juta kiloliter, ini berarti pemerintah harus merogoh setidaknya Rp 5,3 triliun untuk subsidi minyak tanah saja.
Bila subsidi ini dapat diturunkan menjadi Rp 2 triliun saja, sisanya bisa dipakai untuk menurunkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (utang) atau untuk kegiatan produktif. Uang Rp 3,3 triliun bisa digunakan untuk merehabilitasi 40 ribu lebih ruang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, membangun 33 pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang energinya renewable, membangun 2.000 kilometer jalan di kawasan pegunungan tengah Papua, atau membangun interkoneksi listrik bawah laut Jawa-Sumatera, yang sejauh ini dibiayai dengan utang luar negeri.
Sedangkan untuk LPG, meskipun harga keekonomiannya hampir sama dengan minyak tanah, karena dijual Rp 4.250 per kilogram, subsidi per unitnya lebih kecil dibanding minyak tanah. Karena itu, program konversi dari minyak tanah ke LPG perlu diteruskan, dan secara simultan pemerintah menaikkan harga LPG 3 kilogram secara bertahap dengan kenaikan Rp 500 per kilogram atau Rp 1.500 per tabung, misalnya. Penyesuaian harga ini penting untuk mengimbangi penyesuaian harga LPG 12 kilogram yang tak disubsidi sekaligus mengurangi subsidi secara bertahap.
Bila gap antara harga keekonomian dan harga bersubsidi sudah berkurang, rule mengenai harga LPG bersubsidi dapat ditentukan apakah rupiah per unit atau persentase, sama seperti halnya Premium dan solar. Momentum turunnya harga minyak dunia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menciptakan rule atau formula penentuan harga BBM bersubsidi yang lebih baik—bukan justru dijadikan alasan untuk menurunkan harga BBM bersubsidi atau malah menunda melakukan reformasi subsidi energi.
*) Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo