Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Duit Susah, kok, Malas Kerja

Posisi keuangan negara kepepet. Tapi pemerintah ogah bekerja keras.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI biasa, setiap awal tahun, nota keuangan dibacakan. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) diumumkan. Apa yang istimewa? Tidak ada, selain kenyataan bahwa posisi keuangan negara benar-benar kepepet. Untuk pertama kalinya dalam sejarah perekonomian Indonesia sejak Orde Baru, pemerintah kini berutang kepada rakyat. Menteri Keuangan Bambang Sudibyo mengatakan, beban cicilan utang dolar kepada para pemberi pinjaman luar negeri telah begitu berat. Karena itu, harus dicari alternatif agar posisi keuangan negara tidak terancam. Jawabannya adalah: utang rupiah kepada rakyat sendiri di dalam negeri. ''Pelan-pelan," katanya, ''ketergantungan utang pada luar negeri harus dialihkan menjadi utang dalam negeri." Apakah itu berarti beban keuangan negara bakal makin ringan? Tidak juga. RAPBN tahun 2000, yang akan berlaku dari awal April sampai akhir Desember (sembilan bulan), menunjukkan hal itu: cicilan bunga utang dalam negeri mencapai Rp 42 triliun—hampir seperempat total pengeluaran pemerintah. Gara-gara cicilan bunga yang begitu besar, pos-pos pengeluaran yang lain harus disesuaikan, harus dipas-paskan agar tidak kedodoran. Pengeluaran pembangunan, misalnya, merosot hingga tinggal 60 persen dari [sembilan bulan] APBN tahun lalu. Dengan dana belanja secupet itu, pemerintah paling banter cuma bisa menambal jalan yang sudah pada bolong atau dinding sekolah inpres yang sudah reot termakan usia. Jalan raya dan saluran irigasi baru? Jangan bermimpi. Bahkan sekadar untuk memelihara gedung sekolah dan puskesmas serta melanjutkan program listrik masuk desa saja, pemerintah masih harus menunggu dana pinjaman dari luar negeri. Gaji pegawai negeri, yang sudah tak memadai lagi itu, memang naik, tapi cuma 20 persen. Ini jauh dari angka yang pantas untuk mengejar hantu inflasi yang sudah merampas daya beli mereka. Begitu pula dana jaring pengaman sosial (JPS), instrumen subsidi untuk membantu masyarakat mengatasi krisis ekonomi, juga naik—tapi tak lebih dari 12 persen. Pemerintah cuma berjanji, dana JPS kali ini akan lebih terarah, lebih mengena pada target-target yang membutuhkan. Mudah-mudahanlah. Tapi, pertanyaannya, apakah negara memang sudah semestinya berhemat-hemat seperti itu? Barangkali ya, jika penerimaan cuma sebesar yang digambarkan. Persoalannya, apakah pos penerimaan negara itu sudah mencerminkan suatu upaya yang optimal? Sayangnya tidak. Sejumlah ekonom bahkan menuding pemerintah sengaja memasang ''target" penerimaan begitu kecil karena tak mau bekerja keras. ''Mereka maunya berleha-leha, mau santai-santai saja," kata seorang ekonom muda, jengkel. Kendati tak sekeras ekonom muda itu, ekonom senior Nomura Securities Singapura, Adrian Panggabean, juga berpendapat senada. Ia menunjuk pos penerimaan pajak yang cuma merambat naik dari Rp 71 triliun menjadi Rp 98 triliun (24 persen). Bagi Adrian, ini petunjuk pemerintah tak mau bekerja keras menggenjot institusi fiskal. ''Mana bukti pemerintah mereformasi pajak?" katanya. Target penjualan aset-aset negara yang kini dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga dinilai kelewat kecil alias underestimate. RAPBN 2000 cuma meminta pemasukan penjualan aset sebesar Rp 16 triliun, tak sampai separuh dari target yang dipatok bekas kepala BPPN Glenn Yusuf. Memang betul, turunnya target penjualan aset ini bisa saja merupakan siasat ''tahan harga". Dengan mengumumkan target yang rendah, para investor akan menerima pesan bahwa pemerintah tidak kepepet kebutuhan sehingga harus mengobral aset. Pendek kata, bisa jual mahallah. Tapi, kecilnya target penjualan aset ini bisa juga menjadi petunjuk bahwa pemerintah kurang pe-de alias percaya diri. Direktur Pelaksana Indef, Didik J. Rachbini, menyimpulkan hal ini sebagai cermin keragu-raguan pemerintah menghadapi para debitur penanggung beban kredit macet. Bagi Didik, ini berarti proses peradilan bagi para pengemplang utang itu cuma gertak sambal. ''Tak akan ada langkah yang konkret," katanya. Bukan mustahil, target yang kelewat rendah ini sengaja dipasang untuk menghindari tanggung jawab. Gejala ini juga dikatakan Didik setelah mencermati sejumlah asumsi yang dipakai pemerintah dalam menyusun RAPBN 2000. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, diasumsikan cuma 3,8 persen. Padahal, menurut Didik, bank sudah mulai menerima bunga obligasi pada tahun ini. Artinya, sektor riil akan bergerak karena bank mulai menyalurkan kelebihan likuiditasnya. Jadi, target pertumbuhan sekecil itu terlalu gampang tercapai. ''Enggak perlu kerja keraslah," katanya. Sebagai catatan, target pertumbuhan ekonomi RAPBN ini memang di bawah ekspektasi pasar. Proyeksi sejumlah lembaga riset dan keuangan rata-rata memperkirakan pertumbuhan 3,9 persen. Nomura Securities bahkan menaksir perekonomian Indonesia akan tumbuh 4,3 persen tahun ini. Patokan harga minyak yang cuma US$ 18 miliar juga dinilai terlalu aman. Dengan reputasi kepatuhan anggota OPEC menjaga jatah produksi, sejumlah pengamat yakin harga minyak bakal bertahan di atas US$ 20 per barel. Bagi Sri Mulyani, ekonom UI yang juga sekretaris DEN, asumsi yang kelewat rendah ini bisa menjadi tabungan. Sewaktu-waktu, katanya, ''Kelebihan pemasukan minyak bisa dimanfaatkan." Tapi, dengan kata lain, pemerintah belum-belum sudah memasang bumper: kalau-kalau harga minyak nanti turun, anggaran tidak terlalu guncang. Seorang ekonom yang lain malah menunjuk satu agenda khusus di balik patokan yang terlalu kecil ini. Dengan menyamarkan asumsi harga minyak, katanya, rakyat tak bisa memantau pergerakan uang yang masuk ke pundi-pundi negara dengan akurat. Akibatnya, ''Gampang diselewengkan." Benar atau tidak, tuduhan itu masih terlalu dini untuk dibuktikan sekarang. Tapi, tanpa penyelewengan sekalipun, kecilnya target-target penerimaan itu memberi petunjuk pemerintah mau amannya saja. Tak mau disalahkan kalau targetnya meleset. Tapi, akibatnya, belanja negara lembek dan gagal memberi pelumas kepada perekonomian. Kerja keras dong, Bung. Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus