RINI Mariani Sumarno Soewandhi menyerah. Dalam undangan rapat umum pemegang saham Astra International yang diumumkan akhir pekan lalu, Rini meluluskan seluruh agenda yang diminta BPPN—termasuk penggantian direksi pabrik mobil itu. Itu artinya, posisi Rini sebagai Presiden Direktur Astra International akan terancam.
Bendera putih Rini agaknya bakal melempangkan jalan BPPN menjual 40 persen saham milik pemerintah di Astra. Selama ini, manajemen Astra menentang rencana penjualan saham kepada konsorsium Amerika Serikat (AS), Gilbert Global Equity Partners-Newbridge Asia.
Semula, manajemen Astra menolak permintaan BPPN dan konsorsium untuk melakukan uji tuntas (due diligence). Alasannya, saham BPPN yang tercatat di Bapepam cuma 0,21 persen. Selain itu, direksi Astra juga cenderung kurang setuju jika investor kakap itu menjadi pemegang saham pengendali. Selama ini, manajemen Astra berjalan tanpa campur tangan pemilik mayoritas karena sahamnya tersebar merata ke banyak tangan.
Tapi, penolakan itu tak bisa dipertahankan. BPPN sudah mencatatkan 28,6 persen kepemilikan ke Bapepam. Bukan cuma itu. Sebagai pemegang saham mayoritas, BPPN maju selangkah lagi dengan menggunakan haknya mengusulkan rapat umum luar biasa pemegang saham, sekaligus mengagendakan acaranya. Dalam kesempatan itu, BPPN tak mau mengambil risiko: mereka mengusulkan penggantian direksi.
Dengan jurus babat alas seperti itu, harus diakui, jalan BPPN memang semakin lempang—tapi bukan berarti 100 persen bersih. Ganjalan rupanya belum juga habis. Kali ini bukan dari manajemen Astra, melainkan dari bos besar: pemerintah sendiri.
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie meminta BPPN agar membuka lelang terbuka untuk menjual saham Astra. Pilihan itu harus ditempuh karena banyak yang menilai sistem penawar unggulan (preferred bidder) yang dipakai BPPN tidak transparan. ''Kalau dimungkinkan, kita pilih sistem lelang saja," kata Kwik, akhir bulan lalu.
Komando Kwik ini diperkuat Ketua Bapepam, Herwidayatmo, sebagai pemegang otoritas pasar modal di Indonesia. Menurut Herwid, penjualan saham di atas 20 persen harus dilakukan melalui penawaran terbuka alias tender offer. ''Saya harus memberlakukan aturan yang seragam," katanya.
Pendapat ini bukan hal baru. Ketua Bapepam sebelumnya, Yusuf Anwar, juga berkali-kali menegaskan, penjualan saham Astra harus dilakukan melalui tender. ''Tak boleh ada yang mem-by pass," katanya.
Tapi, BPPN tetap yakin dengan jalan yang ditempuh. Bagi Kepala BPPN, Cacuk Sudaryanto, persoalannya nasi sudah menjadi bubur: perjanjian investasi dengan investor sudah diteken. ''Sekali diteken, kesepakatan itu harus dihormati," katanya.
Cacuk tidak membantah ada investor baru yang mau masuk melalui sebuah perusahaan finansial—ia tetap tak mau menyebut nama broker yang sekarang diketahui publik sebagai Credit Lyonnais Capital Indonesia. Tapi, bekas Direktur Utama PT Telkom itu tak hendak merevisi perjanjiannya dengan konsorisum AS tadi. ''Apakah etis saya memutus kontrak dengan perusahaan yang jelas ada dan menyerahkannya kepada perusahaan yang saya belum tahu?" katanya.
Cacuk juga mengungkapkan, broker tadi belum menyebut angka penawaran. ''Jadi, kita belum tahu, berapa harga yang mereka sanggupi," katanya. Dalam surat kepada BPPN tanggal 17 Januari 2000, yang kini bocor ke mana-mana, Credit Lyonnais memberikan harga tawaran pertama Rp 3.750, persis sama dengan yang diajukan duet Newbridge-Gilbert.
Yang agak berbeda hanyalah proses pembelian saham. Pada Credit Lyonnais, transaksinya bisa berlangsung dua tahap. ''Dengan cara itu, BPPN berpeluang mendapatkan harga yang lebih baik di periode penjualan kedua karena ada sentimen positif," demikian Richard Taylor, Direktur Pelaksana Credit Lyonnais Capital Indonesia, dalam suratnya kepada BPPN.
Tapi, konsorsium Newbridge-Gilbert juga tak kalah sigap. Gabungan dua perusahaan investasi yang malang melintang di berbagai negara ini segera menyatakan kesediaannya menaruh dana di escrow account sebagai tanda keseriusannya membeli Astra. Menurut Cacuk, nilai dana itu sekitar Rp 1 triliun, atau 30 persen dari total pembelian saham Astra.
BPPN, yang diberi target untuk menyetor Rp 17 triliun ke kas negara sampai akhir Maret nanti, memang sangat berkepentingan dalam penjualan Astra. Sampai saat ini, BPPN baru berhasil mendapatkan Rp 10 triliun. Tak aneh jika lembaga keuangan itu terkesan ngebut. Salah satu perusahaan yang diandalkan BPPN untuk mengumpulkan duit adalah Astra. Jika transaksi dengan konsorsium Newbridge-Gilbert berhasil, sedikitnya pemerintah akan mendapatkan Rp 3,6 triliun.
Para analis keuangan juga mendukung BPPN. Menurut mereka, kontrak yang sudah diteken pantang dilanggar. Jika dibatalkan, konsekuensinya panjang. Bukan cuma kerugian finansial, investor asing juga enggan ke Indonesia. Apalagi, kasus Astra bukanlah yang pertama. Sebelumnya ada kasus Standard Chartered Bank-Bank Bali, dan Cemex-Semen Gresik. ''Kalau penjualan Astra gagal, sebaiknya kita tak perlu bicara soal investasi asing," kata analis Nomura Securities, Goei Siauw Hong.
Ekonom Nomura yang berbasis di Singapura, Adrian Panggabean, melihat bahwa penjualan Astra merupakan ujian yang berat bagi BPPN. Ini akan menentukan sukses-tidaknya penjualan aset berikutnya, termasuk Bank BCA, yang akan dilepas ke bursa bulan depan. ''Jika gagal, saya tidak yakin BCA sukses," katanya.
Meskipun demikian, BPPN bukan tanpa kritik. Penunjukan Newbridge-Gilbert Global sebagai penawar unggulan otomatis menghapus kemungkinan munculnya penawaran yang lebih baik. Siapa pun yang mengajukan penawaran pada proses tender kedua tetap akan sulit menang karena konsorsium itu punya hak untuk menyamainya.
Selain itu, perjanjian antara BPPN dan konsorsium itu juga terkesan berat sebelah. Misalnya dalam soal harga. Newbridge-Gilbert Global memberikan penawaran Rp 3.750 per saham hanya jika mereka membeli sedikitnya 30 persen saham. Jika tidak, konsorsium itu cuma membayar Rp 3.000. Patokan ini dianggap terlalu rendah. Soalnya, menurut hitungan Hong, harga riil saham Astra sekarang bisa mencapai Rp 5.000.
Kepala Biro Hukum BPPN, Pandu Djajanto, mengakui harga jual Astra di bawah target. Namun, BPPN dihadapkan pada pilihan sulit untuk segera menjual saham agar memenuhi target waktu atau menjual pada harga setinggi-tingginya dengan risiko terlambat. ''Kalau kita menunggu tawaran harga baik, taruhlah Rp 4.000, bisa-bisa kita baru mendapat investor pada Juli atau Agustus," katanya. Karena itu, BPPN kemudian mengambil jalan tengah, yang cukup menguntungkan.
Sebaliknya, dalam posisi yang ''terjepit" saat ini, manajemen Astra tak banyak punya pilihan. Jalan diam agaknya lebih pas. Apalagi, banyak kabar angin yang membisikkan ada ''sesuatu" di balik penolakan manajemen Astra. Sumber TEMPO menyebut-nyebut bahwa Rini berada di belakang pengambilalihan saham Astra dari keluarga Soeryadjaya kepada sejumlah konglomerat papan atas yang dikomandani Liem Sioe Liong, tujuh tahun lalu.
Namun, kabar ini dibantah pejabat Astra. ''Lihat hasil uji tuntasnya kelak, semua akan terungkap di sana," katanya. Kita tunggulah.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Agus Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini