Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kristal

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rasa benci, kata seorang penulis, adalah rasa takut yang mengkristal. Kata "kristal" di sini tak mengacu ke sebuah benda yang mempesona dan gemerlap, melainkan sesuatu yang padat dan tajam. "Kristal" ini sesuatu yang padu, jelas, mengeras, dan bisa menusuk, seperti cakra beling yang terhunus. Cakra yang sangar itulah yang bertebaran dan terhimpun berlapis-lapis di Maluku kini. Iblis menebarkannya dari kampung ke kampung. Dan orang pun saling membunuh. Dengan kristal itu, tiap pihak merasa menemukan sasaran dan alasan yang pasti: di seberang sana ada label "Kristen" dan "Islam" yang dipasang di jidat. Dengan kristal itu segera orang lupa akan asal mula dari semua horor itu, yakni ketakutan. Khususnya, takut sebab "kami" akan digusur oleh "mereka"—meskipun, seperti umumnya rasa takut, tak persis benar oleh siapa sebenarnya, oleh apa, dan kenapa, dan bila, dan bagaimana. Desas-desus dan takhayul baru ("Ssstt… ada provokator") pun bersliweran. Kisah kekejaman ditiup dan dikembangkan. Dalam gentar dan ketidak-persisan itu, manusia—untuk menguasai waswas dan haru-biru dunianya—membutuhkan sesuatu yang padu, jelas, mengeras, dan bisa menusuk. Rasa benci bisa menyederhanakan soal. Tetapi hidup tak pernah sederhana. "Apa yang harus saya katakan tentang hidup?" kata Penyair Josef Brodsky. "Bahwa ia panjang, dan menampik tranparansi." Itulah sebabnya jika kita masuk kembali ke dalam kehidupan (dan bukan ke dalam kebencian dan dorongan untuk menguasai), kita sebenarnya tak mampu menjawab apakah persisnya "Si Kristen" dan "Si Muslim" itu, apa sebetulnya "mereka" dan "kita". Mengapa "kita" berubah jadi "kami" dan "mereka"? Bisakah kita bicara tentang satu sikap, satu keunggulan, atau satu kesalahan "kami" dan "mereka"? Begitukah selamanya? Tentu tidak. Ada seorang teman yang berteori bahwa kebuasan di Maluku adalah bagian dari "Perang Salib". Seorang yang percaya bahwa orang Islam dan Kristen di Maluku pada tahun 2000 sama dengan orang Islam dan Kristen di Yerusalem pada abad ke-11 sama halnya dengan seorang yang percaya bahwa hidup adalah seperti dalam versi lain film The Sleeping Beauty: sejumlah besar manusia tertidur selama 900 tahun dalam kota tanpa sejarah. Seorang yang percaya bahwa orang Islam di Ambon sama dengan orang Islam di Afghanistan ("semuanya Taliban!") adalah seorang yang percaya bahwa orang Kristen di ibu kota Maluku itu sama dengan orang Kristen di Lebanon Selatan ("semuanya Falangis!"). Tapi bukankah bahkan problem orang Islam di Aceh hari ini tak sama dengan problem orang Islam di Halmahera, dan perkara Kristen di Toraja lain dari perkara pengikut HKBP di Tapanuli? Tak pernah ada sebenarnya esensi Si Muslim atau Si Kristen yang tunggal dan tak berubah. "Esensialisme" itulah yang dikecam Edward Said sebagai dosa Orientalisme dalam membahas Islam. Tentu, teks utama yang dipakai baik oleh yang Muslim maupun yang Kristen adalah teks yang tetap. Tapi teks itu hadir dengan manusia-dalam-dunia, yang membentuk sejarah dan mempunyai pelbagai khazanah. Semuanya merupakan teks tersendiri. Sebab itu sang teks utama bertaut dan ditopang oleh bahasa dan budaya komunikasi sebuah tempat, suatu waktu. Ia berkaitan dengan mulut, kerongkong dan perut manusia—setidaknya dari mana bunyi kata-kata diproses—yang tak kekal, kadang kala tak suci. Ia berjalin dengan pelbagai tafsir. Sebab itu ia hidup. Ia adalah sebuah "intertekstualitas". Dan kehidupan, seperti kata Brodksy, menampik transparansi. Memang kita tak bisa mengelak untuk tak memberi nama dan sebutan "Kristen" dan "Islam" (atau, di tempat lain, "Dayak" dan "Madura") dalam kita berbicara dan berbuat. Memberi identitas pada sesuatu yang sebetulnya beraneka, berubah terus dan kait berkait dengan yang lain, adalah cara mengatasi sebuah keterbatasan bahasa dan pikiran: sebuah ekonomi dalam wacana. Tapi sering kita lupa bahwa ekonomi dalam wacana itu hanya mem- pertukarkan benda pengganti. Dan ketika suasana mendesak dan mencekam, dan akal diimpit ketegangan, benda pengganti itu ("identitas") jadi begitu berharga—dan ketakutan membuatnya jadi kristal. Mungkin akhirnya kita harus kembali mendengarkan rasa takut. Dengan kata lain, mengakui sesuatu yang tidak sepenuhnya jelas dan pasti, mungkin di lubuk hati kita sendiri yang berliku. Di sana akan hadir kembali sosok remang-remang yang tak menjawab apa sebetulnya yang mengancam, siapa pula, bila, bagaimana. Jangan-jangan yang kita dapatkan adalah rasa takut kita karena ada yang berubah, yang lain, yang tak kita kuasai. Sebab, sering kita lupa: rasa takut jadi kebencian karena Iblis adalah Si Tinggi Hati. Ia makhluk pertama yang menampik sesuatu yang beda. Ia tak suka manusia. Yang menarik, ia menampik untuk menghormatinya karena manusia terbuat dari materi, dan materi yang dianggap rendah. Benar, materi itu yang jadi tubuh, yang kemudian berkembang beraneka ragam, fana, lemah, berubah. Tapi justru sebab itu tubuh (bukan sekadar jasad) tak pernah berhenti sebagai misteri, tak pernah berhenti dalam kristal, tak pernah jadi tunggal, tak pernah bisa dimengerti dengan rasa benci. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus