DEDE (Elegi Kota Besar) | Buku karya | : | Agus Dermawan T. | Tebal | : | 179 halaman berwarna | Penerbit | : | Yayasan Seni Rupa AiA, 1999 |
|
SETELAH menerbitkan 15 buah buku seni rupa, di antaranya tentang pelukis Widayat, Dullah, Arie Smit, Nyoman Gunarsa, Basuki Abdullah, lukisan koleksi Jusuf Wanandi, dan lukisan koleksi istana presiden, kali ini Agus Dermawan, 47 tahun, menulis tentang Dede Eri Supria, yang dikagumi banyak kalangan. Dari para menteri, pencinta seni, kolektor, mahasiswa, sampai abang becak, kuli dan pemulung menikmati lukisannya dengan penuh kekaguman. Di dalam buku yang ditulis dalam dua bahasa—Indonesia dan Inggris—dan dibagi menjadi lima bagian, Agus mencoba sedetail mungkin mengupas Dede. Bagian pertama adalah tentang diri sang pelukis, bagian kedua tentang lukisan-lukisan karya Dede, bagian ketiga melukiskan kegemaran Dede naik kereta api sampai menemukan jati diri, dan bagian keempat tentang karya-karya Dede. Sedangkan bagian kelima dari buku ini berisi riwayat hidup Dede.
Agus sekeluarga adalah sahabat dekat Dede sekeluarga. Kedua keluarga itu biasa menonton bersama pameran seni rupa di dalam dan di luar negeri. Dengan demikian, Agus mengenal betul lukisan Dede dan perjalanan karirnya.
Dede adalah mukjizat, begitu ditulis Agus. Dalam usia 20 tahun, seperti saat Rendra menggebrak dalam usia 22 tahun, Dede pada pertengahan 1970-an menggelar pamerannya di TIM, Jakarta Pusat. Potret-potret orang "segede-gede gajah" dipajang. Padahal, dalam kurun sebelumnya, melukis orang melebihi ukuran orang adalah tabu. Jika seorang seniman melukis lukisan potret melebihi ukuran orang, lukisan itu dianggap poster. Jago-jago lukisan potret kala itu, Soenarto Pr., Wardoyo, Kusnadi, Syahwil, juga Basuki Abdullah, belum pernah melukis potret segede itu. Dengan demikian, Dede memulai babak baru seni lukis kita.
Namun, sesungguhnya karya-karya Dede tidak sesederhana itu. Dede melingkup ruang yang jauh lebih luas. Bahkan, Dede telah mengglobal. Agus lalu menyertakan pendapat para budayawan. Sebagian besar lukisan Dede—begitu ditulis Fuad Hasan—memantulkan kepekaan yang luar biasa terhadap realitas sosial yang sarat dengan adegan-adegan kerja keras. Sedangkan Wimar Witoelar menanggapi: ia membangunkan orang. Lalu, ia menyumbangkan sesuatu yang lebih penting lagi, yaitu harapan. Sementara itu, Goenawan Mohamad menulis untuk pameran Dede pada 1992: "...Di antara kita telah hadir apa yang ingin saya sebut sebagai 'etos kemasan', ketika pelbagai gejala 'masyarakat konsumen' dan dinamika ekonomi pasar telah menjadi bagian hidup kita. Dalam etos kemasan, benda bukan saja menjadi komoditi, tetapi juga komoditi itu mengerumuni kita dengan daya uang lebih kuat...." Kemudian, Goenawan menyebut bahwa Dede seperti Raden Saleh, yang mempunyai nilainya sendiri, juga sebagai indikator sebuah periode.
Sesungguhnya Dede adalah tanda-tanda zaman. Karya-karyanya memberikan sinyal akan gawatnya situasi politik, ekonomi, dan sosial. Rakyat miskin yang berduyun-duyun ke Ibu Kota, sementara Ibu Kota tidak siap menampung mereka, adalah gambaran menyeluruh lukisan-lukisan Dede. Akhirnya kebenaran terbuka, dan kekuasaan Orde Baru, yang kokoh mengangkangi selama tiga dasawarsa lebih, tumbang pada 1998. Kemenangan Dede dan juga Djoko Pekik adalah bahwa lukisan konvensional tetap mampu mendominasi persoalan seni rupa dan menyuarakan gejolak bangsa. Buku karya Agus ini luar biasa karena mampu mereproduksi lukisan Dede, yang mencapai jumlah lebih dari 100 buah.
Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini