Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam peringatan Hari Pers Nasional pada 9 Februari lalu Presiden Joko Widodo mengatakan profesi wartawan sangat diperlukan di era melimpahnya informasi saat ini. "Tugasnya untuk menyampaikan kebenaran, sebagai penegak fakta-fakta, dan pilar penegak aspirasi masyarakat," ujarnya pada peringatan itu di Padang, Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi kemudahan gawai yang dirasakan para wartawan saat ini sangat jauh berbeda dengan wartawan dulu. Wartawan Senior, Sabam Leo Batura mengakui bahwa kemajuan teknologi mempermudah para wartawan untuk menjalankan profesinya. Kini, permasalahan yang ada adalah bagaimana mereka menggunakan internet secara bijak agar bisa menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya. Baca: Ketika Presiden Emoh Pakai Rompi Anti Peluru, Tugas Paspampres...
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Leo adalah wartawan yang aktif memperjuangkan kemerdekaan pers Indonesia. Wakil Ketua Dewan Pers tahun 2006–2010 ini ikut dalam perancangan Undang-undang Pers No.40 tahun 1990, yaitu undang-undang yang isinya melindungi kemerdekaan pers. “Itu adalah pengalaman saya yang paling menonjol,” ujarnya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 11 Februari 2018.
Leo Sabam Batubara anggota Dewan Pers saat menjadi saksi sidang lanjutan kasus pemuatan foto Munarman tengah mencekik seseorang pada Koran Tempo tertanggal 3 Juni 2008 di pengadilan Jakarta Selatan, Kamis (11/6). TEMPO/Adri Irianto
Leo membagikan kisahnya sebagai seorang wartawan yang bekerja tanpa internet. “Contohnya, dulu kalau ada pertandingan olahraga di Malang, wartawan dikirim ke Malang. Lalu, naskah (hasil liputan) dikirim ke Surabaya, dititipkan ke pilot, lalu pilot antarkan ke lapangan terbang (tujuan),” katanya. Baca: 10 Hal Sepele Ini Bisa Buat Rencana Pernikahan Batal
Ada alasan tertentu mengapa Leo tidak menggunakan kurir untuk mengirim naskahnya. Sebab, redaksi surat kabarnya butuh kepastian agar naskah beritanya tiba di Jakarta dengan aman dan tepat waktu. “Copy boy surat kabar saya sudah siap menunggu berita di bandara,” ujarnya.
Menurut Leo, keberadaan internet, termasuk surel, memudahkan wartawan untuk segera mengirimkan berita ke tim redaksi sehingga berita bisa langsung diproses untuk kemudian diunggah atau naik cetak. “Wartawan sekarang bisa langsung kirim berita untuk langsung ke percetakan. Kontribusi internet luar biasa. Internet jadi primadona sekarang.” Baca: Bila Lelah, Kartika Putri Senang Dihibur Kucing
Akan tetapi, keberadaan teknologi nampaknya tidak dapat mengubah kebiasaan Leo saat menulis buah pikirnya. Ia menceritakan kebiasaannya menulis berita dengan pensil masih terjadi hingga sekarang. “Tiap kali di pesawat, (saat) rekan lain tidur, saya menulis. Sabtu, 10 Februari kemarin dari Padang, di dalam pesawat, saya menulis artikel ‘Papua: sebuah peringatan dini yang gagal’,” katanya.
Hal tersebut bukan berarti Leo tidak memanfaatkan teknologi yang ada. Ia kadang juga menggunakan gawai seperti laptop. Akan tetapi, ia merasa ada yang janggal saat tidak menulis dengan pensil sehingga dapat mempengaruhi hasil tulisannya. “Saya mulai ( mengetik dengan laptop), tapi inspirasi saya untuk menulis lebih terganggu. Berlainan kalau saya menulis dengan pensil. Sepertinya di otak saya, berbagai gagasan mengalir jika saya memegang pensil,” ujar Leo. Baca: Mengapa Orang Tua Berkompetisi Dalam Asuh Anak?
Kecintaannya pada pensil sudah diketahui oleh banyak orang. Tidak sedikit stafnya yang sering bergurau saat tempat pensil Leo tertinggal di kantor. “Waah, 'laptopnya' Leo Batubara tertinggal. Pasti dia tidak bisa bekerja,” tirunya. Lalu, 9,5 tahun silam, ia juga pernah menerima hadiah berupa 2 lusin pensil dari sekretaris Dewan Pers, Lumongga. Ia mengaku, hadiah tersebut merupakan sesuatu yang persis dia butuhkan agar terus bergairah menulis.
Beberapa bulan lagi, Leo akan meluncurkan buku berjudul “Paradoks Indonesia” setebal kurang lebih 600 halaman. Ia menulis naskah buku itu menggunakan pensil. “Semuanya saya tulis dengan pensil,” kata wartawan yang sudah bergelut di bidang pers sejak tahun 1971 tersebut.
MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA