DI hari-hari awal bulan Ramadan ini, hujan masih enggan berhenti. Tapi cuaca mendung tampaknya tidak menghalangi umat muslimin untuk mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan. Semakin sore, semakin rancak suasananya. Kawasan Jalan Melawai di Jakarta Selatan, yang terkenal sebagai pusat ngeceng orang muda itu, kini menampung tumpah-ruah warga Jakarta yang siap membelanjakan uangnya. Di Melawai, di sekeliling pedagang kaki lima yang mangkal di tepi jalan, berdiri menjulang tujuh department store yang dalam bahasa Indonesianya disebut toko serba ada. Sebagian besar orang menuju ke sana. Mereka melangkah ke gerbang Pasaraya yang terbentang lebar, atau menyelinap ke pintu Matahari Department Store yang hampir selalu dijejali orang (ada dua Matahari yang letaknya berhadap-hadapan). Kalau tidak, mereka masih bisa memilih: Ramayana, Ginza, Borobudur, atau Central Department Store. Dengan tujuh toko serba ada itu, tampaknya kejayaan Senen tempo dulu -- sebagai pusat perdagangan eceran -- sudah dikalahkan oleh Melawai. Itu di Jakarta. Hal yang sama nampak pula di pusat-pusat perbelanjaan di kotakota besar lainnya, seperti Bandung, Surabaya, Medan, dan Semarang. Department .sore tak ubahnya gula yang dirubung semut, riuh oleh pengunjung. Kawasan alun-alun Bandung semarak dengan Matahari dan MM. Malioboro dan Urip Sumohardjo di Yogya dengan Gardena Department Store dan Matahari (lagi-lagi). Lalu Delta Plaza di Surabaya Thamrin Plaza. Yuki, dan Matahari di Medan. Menjamurnya toko-toko serba ada itu telah menjangkitkan demam department store. Terjadinya dalam waktu yang relatif cepat, sekitar dua atau tiga tahun terakhir ini. Demam itu mungkin tidak sepenuhnya disadari oleh para pedagang kaki lima, yang juga berdagang eceran di sekitar department store. Mereka hanya merasa aneh, mengapa lebaran kali ini belum mendatangkan banyak rezeki. " Saya heran. Apa Lebaran kali ini orang pada nggak ganti baju? Padahal, kan katanya gaji naik," kata seorang pedagang kaki lima di Melawai. Memang, jumlah pembeli lebih banyak jika dibandingkan hari-hari sebelum Puasa, tapi tak pula seramai tahun-tahun sebelumnya. Maka,timbullah berbagai dugaan. Ada yang mengira, kenaikan gaji pegawai negeri yang l5o tidak mampu mengejar kenaikan harga kebutuhan Lebaran. Tapi sebagian lagi menghitung, mereka telah salah mengambil lokasi. Maksudnya, tempat mereka menjajakan dagangannya, yang terlalu dekat dengan pusat perbelanjaan kalangan menengah. Kini lokasi itu tidaklah tepat. Mengapa? Bicara soal harga, bukan hanya pedagang kaki lima saja yang berani menawarkan harga miring. Semua department store, tanpa kecuali, juga menyediakan barang obral. Akibatnya, dagangan para pedagang kaki lima - oleh sebagian konsumen cuma dijadikan tempat numpang lewat semata. Seorang ibu, yang sedang memilih T-shirt di stand obral milik Matahari Department Store, berkata, "Di sini harganya sudah pasti. Tak perlu repot lagi dengan acara tawar-menawar." Memang, zaman tawar-menawar harga - seperti yang selalu dilakukan oleh sebagian besar konsumen - sudah jauh tertinggal di belakang. Kini mereka tak lagi terlalu peduli, apakah harga barang bisa ditawar atau tidak. Lagipula, para pembeli/umumnya menyadari bahwa harga-harga di department store sudah lumayan alias pantas. Dan jadi lebih pantas lagi karena ada kenyamanan yang ditunjang beberapa faktor plus, seperti tempatnya terasa mewah, selalu bersih dan ber-AC, pilihannya banyak, keamanannya lebih terjamin. Semua kelebihan itu tidak bisa ditemukan di toko-toko kecil atau pedagang kaki lima. Kendati di dua tempat itu harga bisa ditawar, toh pilihannya tak sebanyak di department store. Selain itu, di department store konsumen bebas memegang dan memilih-milih barang yang diminatinya. Tidak seperti di toko eceran biasa, yang bila konsumen memilih, langsung akan diawasi oleh seorang pelayan. Sehingga kebebasan terasa dibatasi. Yang juga penting ialah, "Barang-barang di sini tidak pernah ketinggalan mode," kata Edi, seorang pelajar SLTA. Ia sedang memilih celana jeans belel bertambal-tambal, yang kini sedang nge-trend, di Ramayana Department Store, Pusat Perdagangan Senen. Kawula muda seperti Edi juga memburu garmen yang lain. Misalnya celana jeans yang tanpa tambalan, tapi sudah mengalami prubahan desain. Dibikin sedikit longgar, atau digunting sedikit nyentrik. Ini sungguh digemari, di samping baju kaus alias T-shirt berkerah silinder, yang menutupi sebagian leher pemakainya. Di sektor persepatuan, model kets (sepatu olahraga) tetap merupakan pilihan utama bagi anak muda. Sementara itu, konsumen dewasa - dari kalangan menengah ke atas, tentunya--cenderung memakai sepatu kulit bermerk impor, seperti Bally,Lloyd, atau Puccini. Yang gemar memakai produk dalam negeri akan memilih produk Cibaduyut atau Sin Lie Seng. Berbagai ragam merk, ditambah kenyamanan berbelanja, jelas membuat tua muda gandrung ke department store. Di samping itu ada daya tarik lain, yakni diskon alias potongan harga. Ramayana dan Matahari, misalnya, selalu mengadakan diskon -- 10-20% -- pada jam-jam tertentu. Dan jurus ini tampaknya sangat diandalkan. Kabarnya, penjualan pada saat-saat happy hour seperti itu bisa melonjak sampai 30%. Selain itu di beberapa department store,untuk setiap pembelian dengan jumlah rupiah tertentu, disediakan kupon berhadiah. Yang ditawarkan macam-macam, m mulai dari tas kain, radio kaset, TV warna, kulkas, sepeda motor, mobil, hingga rumah. Nah, dengan segudang kemudahan, kenyamanan, dan hadiah, tak mengherankan kalau tempat penjualan seperti itu dibanjiri pembeli. Dan ujung-ujungnya tentu saja menjadi incaran para investor. Seperti dikemukakan Menteri Perdaanan Arifin Siregar, ketika membuka Grand Duta Department Store pekan lalu. Dengan penduduknya yang 175 juta, plus daya beli yang ikut pula merangkak, "Indonesia merupakan lahan pemasaran yang cukup besar," ujarnya. Padahal, kata Menteri Arifin lagi, sektor perdagangan eceran modern di Indonesia boleh dibilang baru mulai. Itu seiring dengan terus meningkatnya pendapatan masyarakat dalam 10 tahun terakhir. Jadi, tidak benar kalau dibilang terjadi penurunan daya beli. "Pada dasarnya daya beli kita menaik, tapi mungkin pertumbuhannya tidak setinggi dulu," tuturnya. Arifin lalu berpendapat, 80 unit perdagangan eceran modern yang tersebar di Jakarta -- 43 di antaranya department store -- misalnya, belum bisa dikatakan banyak. "Untuk masa 10 sampai 20 tahun mendatang, masih cukup peluang untuk mengembangkan sektor perdagangan eceran," tuturnya. Tak heran bila yang melirik ke arah department store bukan hanya investor lokal, tapi juga asing. Contoh paling aktual adalah Plaza Indonesia, yang berdampingan dengan Hotel Indonesia, dan kini masih dalam proses pembangunan. Di tempat itu, direncanakan akan berdiri sebuah.'department store dengan modal dari investor asal Singapura. Kelak, harapan pemerintah, sektor eceran modern ini masih harus disempurnakan. Tujuannya, kata Arifin, agar department store menjadi ajang promosi, sekaligus memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh pengusaha menengah dan kecil dari golongan ekonomi lemah. Tapi bukan hanya itu. Perdagangan eceran diharapkan akan menjadi penyerap tenaga kerja yang terbesar. Ini dikemukakan oleh Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara. Pada Repelita V -- diperkirakan akan terjadi penambahan tenaga kerja 11,9 juta orang -- sektor perdagangan diproyeksikan akan mampu menyediakan lapangan untuk 2,67 juta tenaga. Nah, dari jumlah itu, 2,5 juta (97%) di antaranya diharapkan bisa diserap oleh subsektor perdagangan besar dan eceran. Kalau saja pembangunan subsektor eceran modern ini terus digenjot, lantas bagaimana dengan nasib subsektor eceran lainnya? Seperti halnya Menteri Arifin, Cosmas begitu yakin takkan terjadi "pembunuhan" atas toko-toko kecil (konvensional), maupun pedagang kaki lima dan warung-warung (informal). "Sektor informal kita masih longgar menyerap tenaga kerja. Belum jenuh," kata Cosmas. Bahkan, seperti yang diharapkan Arifin Siregar, bisnis eceran formal malah akan membantu kalangan informal. Seperti yang diresmikan di Lampung, belum lama ini. Di sana, ada sebuah toko swalayan bukan department store -- yang merangkul ratusan pedagang kaki lima. Caranya, swalayan itu memberikan tempat pada para pedagang kaki lima, tanpa ditarik sewa tetap. Tapi, mereka (pedagang kaki lima) membayar sewa berdasarkan omset penjualan yang diperolehnya. Entah berapa persen. Namun, dengan cara seperti itu, "Diharapkan pengusaha ekonomi lemah pun dapat memberikan pelayanan yang baik pada konsumen," kata Arifin Siregar. Bahkan, Presiden telah menginstruksikan agar pola seperti itu diterapkan juga di provinsi-provinsi lainnya. Kalau, konsep model Lampung itu juga bisa diterapkan antara department store dan pedagang kaki lima, mungkin kelak bisa jadi pola yang ideal. Namun, kenyataan agak melenceng dari harapan. Kendati bertempat di gedung yang sama, tetap saja toko-toko konvensional itu -- apalagi pedagang kaki lima -- kalah bersaing. Di Pusat Pasar Blok M, misalnya. Di sana Matahari menempati lantai III, sementara lantai I dan II ditempati oleh banyak kios, yang juga menjual pakaian jadi dan sepatu. Tapi kenyataannya, "Sepi, Mas," kata Atmel, 29 tahun, yang menjual pakaian jadi. Suara yang sama terdengar juga dari Pasar Inpres di Pusat Perdagangan Senen. "Dari tahun ke tahun omset saya merosot terus," kata John Sirait. Menjelang Lebaran tahun lalu, John bisa menjual 10 - 15 potong pakaian jadi sehari, tapi Lebaran kali ini ia hanya mampu menjual rata-rata lima potong saja. Dan hampir setiap pemilik toko maupun pedagang kaki lima yang dihubungi TEMPO menunjuk department store sebagai penyebabnya. Di Senen, misalnya, mereka menuduh Ramayana department store dan MM Fashion, sebagai penyedot konsumen yang semula berbelanja di kios mereka. Begitu pula pedagang-pedagang di Blok M. Mereka menunjuk pesaing besar mereka yang berjejer. Maklum, di Pasar Blok M selain ada tujuh department store, masih ada berderet-deret toko lainnya yang tak kalah mentereng, seperti di Aldiron Plaza dan Melawai Plaza. Padahal, kalau dilihat dari sudut harga, barang yang ditawarkan department store tidaklah lebih murah ketimbang yang dijual toko-toko kecil. Contohnya celana panjang merek Alegend In dan Cardinal. Di Novic's Fashion, di lantai II, bisa diperoleh dengan harga di bawah Rp 28 ribu (tentunya, melalui proses tawar-menawar). Tapi naik satu lantai lagi, di Matahari, barang yang sama dihargai Rp 29 ribu. "Pembeli lebih suka naik ke atas, sebab di sana kan nyaman," kata pengelola Novic's. Matanya memandang kecewa pada seorang calon pembeli yang baru saja meninggalkan tokonya, tanpa membeli. Pengalaman serupa diungkapkan juga oleh para pedagang di Pasar Inpres, Pusat Perdagangan Senen. Masih mujur, tidak semua pasar model lama (yang pernah populer) mengalami nasib seperti Pasar Inpres. Tanah Abang, buktinya, tetap semarak dan berdesak. "Harganya hanya beda sedikit jika dibandingkan dengan department store. Tapi kan lumayan, ngirit," kata seorang istri dokter. Cuma, ya itu tadi, konsumen harus mau herdesakan. Tentu tidak nyaman. Ditambah lagi, keamanan pun lebih tidak terjamin. Tapi itu bukti bahwa kenyamanan dan keamanan berbelanja tidak bisa dijadikan ukuran laku tidaknya sebuah pusat perbelanjaan. Lihat saja beberapa beberapa plaza, yang sebelum era department store melanda, cukup punya nama besar. Melawai Plaza dan Aldiron Plaza, misalnya. Pedagangnya tampak kurang bergairah. Mereka lebih banyak duduk-duduk di depan kiosnya, sembari memanggil-manggil calon pembeli. Suasana serupa juga meliputi Gajah Mada Plaza. Di sini, pengunjung yang hilir mudik, namun tidak membuat ratusan toko di empat lantai jadi penuh sesak. Apalagi tokotoko yang khusus menjual barang-barang impor, seperti pakaian, sepatu, maupun aksesori yang khusus didatangkan dari Jepang. Nyaris sepi. Bagaimana tidak, kalau barang-barang impor itu dijual dengan harga yang hampir tak masuk akal bagi masyarakat Indonesia. Contohnya, ada sepasang sepatu wanita dengan harga Rp 2,1 juta. Ada pula, seperangkat pakaian (juga untuk wanita), yang terdiri dari celana panjang plus kemejanya, ditambah aksesori di sana-sini. Harganya, kalau mau tahu, Rp 3.9 juta. Wajarlah kalau toko-toko seperti itu sangat jarang dikunjungi. Yang juga kurang mujur adalah Pasaraya Sarinah Jaya -- sekarang Pasaraya -- khususnya yang di Manggarai. Salah satu perintis department store, setelah BUMN Sarinah yang di Jalan Thamrin itu, kini tampak agak sepi. Padahal, pada tahun-tahun awal berdirinya -- dengan omset puluhan milyar rupiah setahun -- Pasaraya menjadi leader market. Bahkan Abdul Latief, pemilik yang menjadi dirut di sana, sempat pula mendapat julukan sebagai raja eceran. Pamornya mulai memudar ketika Pasaraya di Blok M terbakar pada akhir 1984. Ketika itu, department store ini merugi sampai Rp 17 milyar, sementara tanggungan asuransi yang diperolehnya cuma Rp 11 milyar. Kerugiannya ditaksir tak kurang dari Rp 6 milyar. Tak jelas apakah itu sudah termasuk pembayaran gaji 1.200 karyawannya, yang terpaksa menganggur selama enam bulan. Sebagaimana kebanyakan pengusaha, Latief pantang menyerah. Enam bulan setelah musibah, Pasaraya Blok M mulai gemerlap kembali. Bahkan pada penampilannya yang baru itu, toserba ini dilengkapi dengan selantai pedagang makanan, mulai dari soto mi, pempek, hingga sop kaki ala Betawi. Pertimbangan bisnis pula yang menarik minat Latief untuk menyediakan tempat cukur rambut, panti pijat mandi sauna, sampai ke fitness center. Pendek kata, sekali jalan ke Pasaraya, segala yang dibutuhkan akan terpenuhi. Tak lama setelah itu, Latief membuka Pasaraya lainnya di kawasan Manggarai. Mungkin ia bermaksud menjaring konsumen berduit dari kawasan Menteng. Agaknya, ia lupa memperhitungkan lokasi, yang terjepit oleh kemacetan lalu lintas dan dijauhi orang. Tak heran bila orang enggan belanja ke sana. Sejak itulah Pasaraya didera rugi. Adakah ini isyarat bahwa cita-cita Latief dan rekan seprofesinya di sektor eceran untuk menciptakan one stop shop (tempat perbelanjaan sekali singgah) takkan terlaksana? Belum tentu, memang. Sebab, terbukti, masih ada juga tempat-tempat seperti itu yang tetap panen pengunjung. Salah satunya adalah Ratu Plaza yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman. Ini satu bukti lagi bahwa lokasi yang strategis, sangat menentukan maju mundurnya sebuah pusat perbelanjaan. Lain halnya nasib berbagai plaza di luar Jakarta. Pusat-pusat perbelanjaan seperti Delta Plaza, Wijaya Shopping Center, dan Apollo Plaza (ketiganya di Surabaya) boleh dibilang sepi. "Setiap hari juga begini, kami hanya ramai di hari Sabtu. Tapi ramai itu belum tentu menjual, lho," kata seorang pelayan toko di Apolo Plaza. Lain halnya Tunjungan Plaza, di jantung Surabaya. Di sana ramai selalu. Apakah karena ada department store Matahari dan Hero Supermarket? Sepintas, Matahari dan Herolah yang dijubeli orang, sementara toko lain hanya dipandang untuk dilewatkan. Tapi Tunjungan Plaza, yang dilingkari jalan mendaki pada tiap lantai itu, mungkin punya atmosfer yang istimewa. Orang betah di sana beberapa jam kendati tak berniat membeli barang. Atmosfer itu juga agaknya yang bisa ditemukan di Ratu Plaza, Jakarta. Tak heran bila R.S. Sandono Brodjolukito, direktur Ratu Sayang yang mengelola Ratu Plaza -- merasa begitu yakin pedagang yang menyewa di sana takkan merana di bulan Ramadan. Alasannya: arsitektur yang dibuat khusus telah mendatangkan daya tarik tersendiri bagi para pengunjung Ratu Plaza. Lihat saja air mancur yang membuat semarak suasana lantai dasar. Dengan pelataran yang luas, di antara pilar-pilar yang tinggi, pengunjung bisa melepas lelah di sana. Agaknya, tak banyak pengelola plaza yang optimistis seperti Sandono. Tapi pemerintah tetap beranggapan bahwa sektor eceran modern belum jenuh, bahkan masih berpeluang besar. Nyatanya, "Angka department store masih terlalu kecil, jika dibanding dengan yang non-department store," kata Herbowo, Wagub DKI Jaya Bidang Ekonomi Pembangunan. Dengan demikian, pembangunan pusat perbelanjaan eceran modern akan terus berlangsung. Lantas bagaimana nasib subsektor konvensional dan informal, yang jumlahnya tidak sedikit itu? Pindah ke daerah pinggiran Jakarta? Mungkin, sama saja. Di kawasan industri Tangerang dan Bekasi misalnya, telah pula berdiri department store cabang Jakarta, seperti Kumbo dan Hembo. Ada memang, usaha Pemda untuk melindungi golongan ekonomi lemah ini. Misalnya dengan memberikan tempat, seluas 20% dari luas total pusat perbelanjaan modern yang ada. Tapi apa yang terjadi? Mereka, pedagang ekonomi lemah itu, akhirnya mati sendiri. Terlindas oleh gemerlap etalase dan kuatnya modal pedagang besar. Kemudian, pada tahun 1985, jatah yang 20% itu dianjurkan Pemda diganti dengan rupiah. Dana tersebut digunakan untuk membangun pasar khusus. Contohnya Pasar Baru Indah, Pasar Rumput, dan Pasar Lontar. Namun, cara ini pun tidak juga menolong si kecil. Kabarnya, masih ada satu cara lain untuk membiarkan pedagang kecil hidup yakni dengan membatasi gerak sejumlah department store baru. Alternatif ini memang ada dalam rancangan Pemda, dan akan dilaksanakan kelak. Luas area efektif yang digunakan untuk department store, misalnya, akan dibatasi hanya 2.000 m2 saja. Sedang luas yang ada sekarang, rata-rata di atas 5.000 m. Hanya tak jelas, kapan department store akan benar-benar dibatasi. Sementara pengusaha lemah megap-megap mencari jalan keluar, pemerintah daerah tetap menganggap department store sebagai gengsi tersendiri bagi kotanya. Ini tercermin dari sikap Wagub DKI, Herbowo, yang mengatakan, "Semakin banyak pusat perbelanjaan, kan semakin menunjukkan kemajuan kota." Budi Kusumah, Bachiar Abdullah, Muchsin Lubis, Priyono B.S., Linda Djalil, Zed Abidien, Aji, Sarluhut Napitupulu, Bandelan Amarudin, Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini