Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Eddy mencencang, Bapindo memikul

Sjahrizal dan bambang kuntjoro dibebastugaskan. ternyata eddy tansil tidak hanya membobol Bapindo, tapi juga bni, bank Exim, dan Bank Dagang Negara. konon us$ 125 juta dibagikan eddy untuk pejabat tinggi dan para direksi bapindo.

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG Eddy Tansil dituntut ke pengadilan, Kejaksaan Agung tampaknya masih harus bekerja lebih keras. Belum lagi tuntas pemeriksaan terhadap 4 tersangka kasus pembobolan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), para jaksa sudah harus siap menerima dua mantan direksi Bapindo yang lain, yaitu Sjahrizal dan Bambang Kuntjoro. Kedua bankir ini, Sabtu pekan lalu, dibebastugaskan sementara dari jabatannya. Sebenarnya, sampai Jumat lalu tak seorang pun di Kejaksaan Agung yang berani memastikan apakah Sjahrizal akan dibawa juga ke Gedung Bundar atau tidak. Sedangkan Bambang Kuntjoro rupanya sudah punya firasat. Beberapa hari sebelumnya, Bambang telah menghubungi Pengacara Denny Kailimang. Sementara itu, Kejaksaan telah menambah masa penahanan 20 hari lagi terhadap tiga mantan pejabat Bapindo (Subekti Ismaun, Towil Herjoto, Maman Suparman) yang disangka terlibat kasus pembobolan Bapindo oleh Eddy Tansil. Alasan perpanjangan masa tahanan itu ialah: Kejaksaan Agung belum puas akan hasil penyidikannya. Ini diungkapkan oleh juru bicara Kejaksaan Agung, Soeparman. Lembaga ini masih mencari bukti-bukti tambahan mengenai pembobolan uang Bapindo sebesar Rp 1,7 triliun. Selasa dan Rabu pekan lalu, misalnya, dua jaksa menggeledah rumah dinas mantan Dirut Bapindo Towil Herjoto di Jalan Widya Chandra VII, Jakarta. Yang dicari adalah bukti penyerahan uang Rp 500 juta dari Eddy Tansil kepada Towil. Sayang, tanda terima itu tidak ditemukan. Lalu yang disita adalah surat-surat kendaraan keluaran tahun 1990 (Honda Civic dan Fiat Uno). Menurut sumber TEMPO, sebuah peternakan kuda milik Towil di Pati (Jawa Tengah) serta sebuah rumah di Puri Cinere (Jakarta Selatan) juga akan disita. Memang, kabarnya, ada sekitar US$ 125 juta yang telah dibagi- bagikan Eddy Tansil. Sebuah kopi surat kepada Jaksa Agung Singgih bertanggal 20 Maret 1994 menyebutkan bahwa Eddy telah membagi sekitar US$ 125 juta kepada sejumlah pejabat, US$ 40 juta di antaranya khusus untuk para direktur Bapindo. Sahih atau tidaknya laporan ini tentu masih harus dibuktikan. Menurut penyidikan Kejaksaan, dana Bapindo yang digondol Eddy berjumlah US$ 436.515.000 atau sekitar Rp 940 miliar, belum termasuk bunga dan provisi. Dari hasil penyidikan itu juga diketahui bahwa perusahaan Golden Key Group (GKG) milik Eddy ternyata telah menerima pinjaman dari BNI (US$ 136 juta dan Rp 101 miliar), Bank Exim (US$ 87 juta dan Rp 8,9 miliar), serta dari BDN (Rp 155 miliar). Kalau dijumlahkan, maka dana dari empat bank pemerintah yang masuk ke kocek Eddy Tansil, seluruhnya hampir mencapai Rp 1,7 triliun. Kredit-kredit itu dikucurkan untuk empat perusahaan milik Eddy, yakni PT Graha Swakarsa Prima, PT Pusaka Warna Polypropylene, PT Hamparan Redjeki, dan PT Dinamika Erajaya. Dewasa ini penyidikan Kejaksaan dipusatkan pada pembobolan Bapindo saja. Bila dikaji lagi, maka semakin jelaslah bahwa bencana itu terjadi selain karena kolusi, juga karena kebobrokan Bapindo sendiri. Adapun pengucuran dana Bapindo terjadi secara bertahap, dan dalam garis besar, urut-urutan kejadiannya adalah sebagai berikut. Setelah tidak berhasil mendapatkan kredit Bapindo sejak tahun 1987, maka pada bulan Juni 1989 Eddy menemui Subekti Ismaun (Dirut Bapindo) dan Towil Herjoto (Direktur Kredit Bapindo). Saat itu ia membawa memo dari Menko Polkam Sudomo, untuk permohonan kredit bagi proyek Golden Key Petrokimia. Permohonan itu rupanya langsung ditanggapi positif. 16 Juni 1989 Eddy sudah mengajukan permohonan usance L/C sejumlah US$ 125,5 juta untuk PT Graha Swakarsa Prima (GSP). Namun, Bapindo belum bergerak sehingga Eddy membuat surat lagi tanggal 25 September 1989. Sehari kemudian, Direksi Bapindo setuju membuka usance L/C tanpa lebih dulu membahas kelayakan proyek. Keputusan yang ceroboh ini bisa disebutkan sebagai pelanggaran pertama atas prosedur kerja bank yang baku dan lazim berlaku. Hanya, tak terungkap siapa saja direksi yang hadir dan memutuskan saat itu. 26 Desember 1989. Direksi Bapindo me nyetujui pembukaan usance L/C sebesar US$ 40 juta di kantor cabang Jakarta. Syaratnya: Eddy harus menyerahkan kontrak asli dengan Lucky Eng. Division Hongkong membuka deposito wajib Rp 3,6 miliar di Bapindo dan membayar provisi 1/8%. Di sini terjadi pelanggaran kedua. Kendati syarat-syarat tadi belum dipenuhi, Kepala Bapindo Kantor Cabang Jakarta, Maman Suparman, sudah membuka usance L/C. Alasan Maman, karena ia ditegur Towil dan dinilai lambat melakukan tugasnya. Mungkin karena pengalaman tak sedap itu, maka pada 5 Februari 1990 Maman kembali mengubah usance L/C menjadi red clause L/C senilai US$ 12,4 juta untuk PT GSP tanpa persetujuan kantor pusat Bapindo. Entah mengapa, pada 22 Februari 1990 direksi Bapindo menyetujui tindakan Maman. Pagu kredit red clause L/C ditentukan Rp 249,4 miliar, bahkan lebih gila lagi, plafon kredit diperbesar hingga US$ 474,6 juta. Itu untuk biaya proyek-proyek PT GSP, Pusaka Warna Propelene, dan Pusaka Warna Polyetelene. Sejak itu lapanglah jalan bagi Eddy Tansil untuk membobol Bapindo. Kebetulan, Maman Suparman mudah diajak bekerja sama. Kepala Cabang Jakarta ini lancang mengambil keputusan sendiri karena sekitar April 1990 kantor Bapindo cabang Jakarta sedang mengalami transisi akibat dipecah menjadi dua kantor cabang. Sambil menunggu penggantinya, Indra Rastiko, serta Wakilnya, Otto Sampo, Maman tampil sebagai penguasa tunggal di kantor cabang baru Jalan Rasuna Said, Jakarta. Setelah sukses memperalat Maman dengan mengubah usance L/C menjadi red clause L/C, Eddy kemudian memperalat Maman lagi dengan menyuruhnya mengubah nama beneficiary alias penerima kredit Bapindo. Lalu, jatah L/C untuk Lucky Engeneering diperkecil dari US$ 75 juta menjadi US$ 28 juta. Sementara itu, jatah L/C untuk pemasok lokal, yang semula US$ 50 juta, diperbesar menjadi US$ 97 juta. Dengan demikian, pencairan kredit lebih banyak dinikmati oleh kontraktor lokal, yakni PT Metarindo yang ternyata milik Eddy Tansil sendiri. Karena tak mau tanggung-tanggung, rupanya Eddy juga berhasil membelokkan jatah L/C untuk Lucky Engineering (Korea Selatan) ke beneficiary yang bernama Golden Step Development di Hong Kong. Seperti sudah sering diberitakan, perusahaan ini adalah milik Eddy Tansil, yang ketika dicek oleh Bapindo cabang Hong Kong ternyata sudah lenyap tak berbekas. Selama periode dari 5 Februari 1990 hingga 26 Mei 1993 Eddy telah menjual bank acceptance atas nama Bapindo sebanyak US$ 436,516 juta atau 92% dari plafon kredit untuk Golden Key Group. Barulah dua tahun kemudian, persisnya 28 April 1992, praktek kongkalikong tadi ketahuan. Kepala Urusan Pengawasan kantor pusat Bapindo, Johanes Djijo, menemukan bahwa minimal ada 6 kesalahan dalam penyaluran kredit untuk Golden Key. "Prosedur kredit tidak sesuai dengan ketentuan. Perubahan usance menjadi red clause L/C tanpa persetujuan tertulis dari kantor pusat. Tidak ada cash colateral. Rekening administrasi tidak memuat jumlah akseptasi yang diberikan kepada GKG. Bukti asli pesanan barang tidak diserahkan," begitu laporan Djijo kepada Dirut Bapindo, Subekti Ismaun. Subekti lalu memerintahkan Direktur Bambang Kuntjoro mengecek laporan Djijo. Bambang menugasi asistennya, Machwi. Hasil laporan Machwi ternyata sama dengan penemuan Djijo dan disampaikan ke Subekti, 22 Mei 1992. 2 Juni 1992. Rapat direksi (Bambang Kuntjoro, Sjahrizal, Adhi Sugondo) memutuskan tidak akan menerbitkan bank acceptance tambahan untuk GKG. Anehnya, malam 2 Juni juga, keputusan itu dibatalkan. Langkah ini konon ditempuh setelah Sjahrizal dimarahi Dirjen Moneter dan disuruh menghadap Menteri Keuangan. Lalu Eddy boleh menjual bank acceptance sebatas plafon usance L/C yang telah dibuka. 16 Juni 1992. Direksi kembali mengadakan rapat untuk membicarakan keputusan 2 Juni malam. Direktur Utama Subekti Ismaun memimpin rapat, dihadiri Bambang Kuntjoro, Sjahrizal, dan Towil Herjoto. Rapat mengesahkan keputusan 2 Juni malam (Eddy boleh mencairkan seluruh kredit). Hampir setahun kemudian, Mei 1993, Eddy berhasil menarik 92% dari pagu kreditnya (US$ 474,6 juta). Ke mana saja Eddy menyalurkan uang sebanyak itu belum bisa sepenuhnya dilacak. Dari pengusutan tim khusus kejaksaan diketahui bahwa dana itu antara lain dipergunakan untuk menutup utang Eddy Tansil di BBD (US$ 19 juta), dan membuka deposito di beberapa bank, antara lain Bank Namura (Rp 17 miliar). Bagaimana dengan proyek? Ternyata PT GSP baru siap 30%, sedangkan dua proyek (propylene dan ethylene) di PT Pusaka Warna masih belum apa-apa. Sejak pertengahan 1993 Bapindo berkali-kali memanggil Eddy Tansil untuk dimintai pertanggungjawaban, tapi buaya Pecenongan ini selalu menghindar. Barulah pada 28 September 1993 Eddy membuat laporan lisan di Bapindo bahwa uang muka (bank acceptance) telah digunakan untuk proyek dan deposito di Bank Danamon sebesar Rp 11 miliar. Toh, ketika diminta menandatangani perjanjian akad kredit, Eddy menolak. Ia justru minta kredit baru sebesar US$ 500 juta. Dua minggu kemudian, 12 Oktober 1993, Bapindo mengancam akan mempidanakan Eddy pada Kejaksaan Agung. Lalu, 13 Oktober 1993, Bambang Kuntjoro dan asistennya, A.R. Boute Usman, melapor kepada Sudomo di Kantor Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Dilaporkan bahwa Bapindo bersedia membantu Eddy merampungkan proyek, tapi Eddy kelihatannya tidak terbuka, dalam arti tidak bersedia memberi pertanggungjawaban. Tanggapan Sudomo cukup positif. Kata Sudomo, Eddy sudah dibinanya sejak muda. Eddy pernah kembali ke RRC sehingga mendapat banyak koneksi dan berhasil mengumpulkan banyak uang. Sudomo lalu mengajak Eddy menanamkan uang di Indonesia. Untuk membantu realisasi proyek Eddy, Sudomo kabarnya mengatakan bahwa Eddy mendapat dukungan Sumarlin (Menteri Keuangan) dan Nasrudin Sumintapura (Menteri Muda Keuangan). Sehari kemudian, 14 Oktober 1993, Sudomo memanggil Eddy dan disuruh membuat pertanggungjawaban. 21 Oktober 1993. Bambang Kuntjoro dan A.R.B. Usman kembali menghadap Sudomo, melaporkan perihal GKG dan berterima kasih karena Sudomo telah meminta pertanggungjawaban Eddy. Dilaporkan juga bahwa tim Bapindo telah mengecek ke lokasi proyek, dan ternyata realisasi pembangunan masih jauh dari memuaskan. Administrasi pembukuan Eddy semrawut, tapi tawaran Bapindo -- untuk menata -- ditolaknya. Bapindo sekali lagi mengemis agar Sudomo membujuk Eddy, untuk diperiksa pembukuannya. Bapindo juga menawarkan pihak ketiga untuk mengambil alih manajemen perusahaan Eddy. Sudomo menyambut baik semua usul tersebut. Tapi hingga 26 Oktober 1993 Eddy tetap menolak semua usul Bapindo. 8 Desember 1993. Bambang Kuntjoro, Achmad Marzuki, A.R.B. Usman kembali mengadakan rapat dengan Sudomo di DPA. Di situ lagi-lagi Bapindo minta bantuan Sudomo agar Eddy membuat laporan tertulis, dan mesti menyiapkan dana sendiri minimal 35%. Sudomo setuju atas syarat-syarat itu, tapi tampaknya tak banyak lagi yang bisa diselamatkan dari uang Rp 1,7 triliun yang terlanjur menguap itu. Lalu, entah bagaimana, skandal Eddy-Bapindo pun menyusup ke gedung DPR. Dan pada awal Februari 1994 Arnold Baramuli membuka kasus itu di DPR yang bermuara pada 16 Februari 1994, ketika Eddy Tansil diciduk oleh pihak Kejaksaan.Max Wangkar dan Andi Reza Rohadian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum