Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 8 April 2020, pemerintah Cina mengkarantina kota Suifenhe di provinsi Heilongjiang. Ini kedua kalinya kebijakan karantina wilayah diberlakukan dalam jangka waktu tiga bulan terakhir untuk sebuah kota kecil yang berbatasan langsung dengan Rusia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembatasan mobilitas masyarakat di Suifenhe ini terjadi di hari yang sama dengan pelonggaran karantina 77 hari di Wuhan, sebuah kota yang sekarang dikenal sebagai titik nol penyebaran virus corona di Cina, yang pada akhirnya menjalar ke seluruh penjuru dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karantina kedua di Suifenhe mengharuskan warga setempat untuk tetap di rumah. Mereka hanya diperbolehkan keluar untuk membeli kebutuhan dasar selama tiga hari dalam seminggu.
Pemerintah Tiongkok juga menghentikan operasional kereta menuju Harbin, sebuah kota industri berpenduduk 11 juta orang di provinsi Heilongjiang. Yang menarik, Suifenhe termasuk wilayah-wilayah terkarantina yang tidak terlalu terdampak epidemi sepanjang Januari dan Februari silam. Ketika itu, wilayah ini bahkan sempat melaporkan nol kasus di periode tersebut.
Namun, Suifenhe kini menghadapi krisis setelah masyarakat Cina yang kembali dari Rusia memantik munculnya gelombang kedua kasus corona. Kota kecil ini sekarang telah mengkonfirmasi 320 kasus dengan lebih dari 1,500 orang terkonsentrasi di fasilitas-fasilitas karantina khusus virus corona.
“Banyak bisnis kecil di sini yang tidak bertahan hingga Maret,” kata Lin Xianfeng yang menjalankan bisnis pembangkit energi biomassa. “Bisnis-bisnis tersebut tutup permanen. Kami menghadapi kesulitan juga saat ini. Nyaris setiap hari saya memikirkan kelangsungan bisnis saya.”
Situasi yang terjadi di Suifenhe memberi gambaran spektrum Cina yang beragam ketika pemerintahnya bergulat untuk menormalkan raksasa ekonomi kedua di dunia ini.
***
Guru dan sejumlah siswa SMA mengenakan masker dalam kegiatan belajar-mengajar pada hari pertama mereka kembali ke sekolah setelah wabah Covid-19, di Wuhan, Hubei, Cina, 6 Mei lalu.
Di saat Suifenhe bergulat dengan gelombang kedua virus corona, di sudut lainnya, kota-kota besar Cina sudah mulai beranjak dari karantina dengan pemandangan pengguna masker di tempat umum sebagai pengingat pasca pandemi.
Kondisi yang mulai membaik terlihat juga dari keputusan Nike membuka 80 persen outlet mereka di Cina. Begitu pula dengan pabrik-pabrik otomotif berlokasi di provinsi Sichuan, Chengdu, yang memulihkan aktivitas operasional mereka. Sisa-sisa aturan karantina hanya terlihat pada penggunaan masker dan aturan menjaga jarak di area kantin mereka.
Situasi yang sudah mulai beranjak normal di Chengdu dikonfirmasi oleh Kepala Kamar Dagang Eropa, Paul Sives, di barat daya Cina. “Perusahaan-perusahaan sudah mulai kembali beraktivitas tanpa pembatasan, meskipun penggunaan masker di area kantor masih lumrah sama halnya dengan semua aktivitas luar.”
Situasi ini memiliki implikasi besar untuk ekonomi Cina dalam waktu dekat dan juga untuk perekonomian dunia. Selain menjadi negara yang terimbas secara signifikan oleh virus corona, Cina juga menjadi ekonomi raksasa global yang sedang mencoba membuka kembali aktivitasnya pasca karantina. Keputusan Beijing untuk memulai kembali aktivitas ekonominya tanpa memancing gelombang pandemi susulan akan mempengaruhi respon komunitas global.
Selama lebih dari 40 tahun, setiap hari Jumat, Biro Statistik Nasional Cina akan melaporkan output ekonomi negaranya. Pada April 2020 lalu, dilaporkan bahwa PDB mereka menurun 6,8 persen pada kuartal pertama. Situasi yang nyaris tidak terbayangkan sebelum virus corona melanda.
Meskipun beberapa indikator mengatakan bahwa ekonomi Cina sedang terpuruk, konsumsi batubara di beberapa pembangkit listrik raksasa kini telah pulih 90 persen dibanding 2019. Begitu pula dengan tingkat pengangguran yang sedikit membaik dari 6.2 persen di bulan Februari menjadi 5.9 persen pada bulan Maret.
Peningkatan aktivitas juga dilaporkan oleh kepala inspeksi dan sertifikasi bisnis di provinsi Guangdong, George Lau, yang menyatakan bahwa “kemacetan di jalanan kembali memburuk seperti biasanya.”
Menurut ahli ekonomi Cina dari Universitas Cornell, Eswar Prasad, laporan PDB April lalu dapat dikatakan menjadi momen penentu untuk ekonomi-ekonomi raksasa lainnya. Laporan dalam beberapa minggu ke depan bisa menjadi indikator untuk sedikit optimistis. “Meskipun pemerintah Cina mengeluarkan kebijakan stimulus yang tak masif, namun perekonomian mereka seakan siap untuk bangkit kembali.”
Bagi Presiden Cina Xi Jinping, ada dua elemen yang harus diperhatikan dalam masa pemulihan ekonomi ini. Pertama adalah gelombang susulan pandemi corona di negara dengan populasi terbesar dunia ini, dan yang kedua adalah jebloknya permintaan dari pasar Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga memprediksi ekonomi AS akan mengalami penurunan hingga 5,9 persen tahun ini karena efek virus corona. Sedangkan Cina diprediksi mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif 1,2 persen.
Eksportir Cina bahkan sudah siap dengan menurunnya permintaan dari pasar-pasar ekspor global dan mengatakan pulihnya sektor ekspedisi laut pada Maret lalu dikarenakan pengiriman-pengiriman tertunda di bulan Januari dan Februari.
“Permintaan eksternal adalah satu dari tiga aspek utama perekonomian yang akan menyebabkan pemulihannya berbentuk huruf W bukannya huruf V,” kata Larry Hu, kepala ekonom Cina di Macquarie. Menurutnya, dua tantangan selanjutnya terletak pada jatuhnya nilai properti dan permasalahan deflasi.
Tantangan di sektor expor juga diungkap oleh kepala produsen komponen mesin di Shandong, Ding Shunlian. Menurutnya, importir Cina selama empat bulan pertama 2020 dihadapkan dilema dengan banyaknya order yang masuk tapi tidak ada pekerja. Sekarang eksportir menghadapi situasi dimana para pekerja sudah kembali beraktivitas tapi orderan justru menghilang.
“Target saya sepanjang tahun ini hanyalah agar dapat bertahan,” kata Ding. “Kita hanya bisa berharap permintaan akan kembali setelah virus ini menghilang.”
Warga Wuhan antre untuk menjalani rapid test Covid-19 di Hubei, China, 17 Mei 2020.
***
Penanganan sigap pemerintah Cina di Suifenhe dan ketatnya peraturan di Wuhan dan Beijing selama beberapa minggu belakangan menunjukkan betapa khawatirnya kabinet Xi Jinping atas potensi gelombang pandemi kedua. Ini akan menjadi cerminan tantangan yang akan dihadapi oleh kota besar lainnya di dunia seperti New York dan London kala mereka memulai kembali perekonomian mereka.
Dari 84.000 kasus positif corona di Cina, sekitar 68 ribu kasus atau 80 persen berasal dari Wuhan dan wilayah sekitar provinsi Hubei. Di luar wilayah tersebut, ada tak lebih dari 1.600 kasus. Hal ini sungguh kontras dengan Amerika Serikat dimana sembilan negara bagian masing-masing melaporkan lebih dari 20.000 kasus.
Banyak komunitas internasional, termasuk Presiden AS Donald Trump, mencurigai jumlah kasus yang dilaporkan pemerintah Cina tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kecurigaan ini muncul mengingat Cina menunggu setidaknya sepekan untuk terbuka mengakui adanya virus corona yang dapat menyebar antar manusia.
Kekhawatiran tersebut ditambah dengan pernyataan walikota Wuhan yang mengatakan setidaknya ada 5 juta penduduknya yang meninggalkan Wuhan sebelum kota tersebut di karantina pada 23 Januari. Bahkan kebanyakan dari mereka bepergian ke luar Cina.
Akan tetapi, tidak ada bukti meyakinkan bahwa angka kasus pandemi ini ditutup-tutupi atau terlewatkan, meskipun banyak ahli-ahli di dunia menyatakan sebaliknya. Pemerintah Cina tetap dalam kondisi siaga tertinggi seiring Wuhan melaporkan kenaikan angka kematian 50 persen pada hari Jumat.
“Menahan persebaran infeksi akan menjadi momok. Ditambah kasus impor dan persebaran virus lokal sporadis,” kata gugus tugas virus corona Cina Perdana Menteri Li Keqiang. “Situasi ini membutuhkan perhatian penuh tanpa lengah sedikitpun.”
Kegugupan ini terlihat di Wuhan karena pelonggaran karantina kota ini pada kenyataannya tidak menyeluruh. Penduduk luar kota yang terkarantina di Wuhan hanya diperbolehkan keluar dari zona merah tersebut apabila mereka lolos dari pemeriksaan medis yang menyeluruh. Bahkan, lebih sulit bagi penduduk asli Wuhan dan area sekitarnya di provinsi Hubei untuk bepergian ke area manapun di Cina.
Pekerja membuat baju pelindung di pabrik pakaian di Shijiazhuang, Provinsi Hebei, Cina, 17 Februari lalu. Foto: Reuters
Warga Hubei, Min Zhou, mengungkapkan keinginannya untuk kembali bekerja di pabrik perakitan yang berlokasi di provinsi Guangdong setelah kampung halamannya di Ezhou mengangkat status karantina wilayah pada 25 Maret.
Pada akhirnya Zhou memilih untuk menetap di tempatnya saat ini karena khawatir kesulitan mencari pekerjaan di pabrik. Di sana, tidak adanya permintaan dari luar negeri membuat produksi belum mulai. Dia juga mengungkap kekhawatiran pemilik-pemilik pabrik tidak akan menerima pekerja dari Hubei karena persyaratan medis ketat bagi mereka. Min Zhou saat ini akhirnya bekerja di sebuah pabrik elektronik berlokasi di Ezhou yang berdekatan dengan Wuhan.
Otoritas di Beijing mulai menegakkan peraturan karantina yang ketat yang membuat perjalanan bisnis menuju dan dari ibukota mustahil. Pendatang dari luar ibukota diharuskan menaati kewajiban karantina mandiri selama 14 hari yang terkadang mengharuskan mereka menetap di kamar hotel atau tempat tinggal yang dilengkapi sensor pintu yang tentu saja diawasi oleh otoritas setempat.
Pemerintah Cina bahkan mengambil keputusan drastis dengan melarang penduduk asing, yang memiliki izin untuk menetap, untuk memasuki Cina meskipun mayoritas kasus impor virus corona yang mereka alami datang dari penduduk Cina yang kembali dari bepergian keluar negeri. Keputusan ini menjadikan situasi pemulihan korporasi multinasional makin runyam, terutama mereka yang mengandalkan investasi asing untuk beroperasi kembali.
“Saya khawatir larangan bagi warga asing akan bertahan lama. Akan ada gelombang kedua permasalahan yang akan dihadapi oleh korporasi dalam waktu dekat,” kata Sives.
Banyak analis meyakini bahwa indikasi akan kondisi perekonomian Cina tercermin pada kembalinya aktivitas pekerjaan dan rutinitas kehidupan di Chengdu dibanding disrupsi yang terus terjadi di Suifenhe, Wuhan, dan Beijing.
Index aktivitas bisnis oleh konsultan berbasis di Beijing, Trivium, mengestimasi bahwa perekonomian Cina saat ini beroperasi pada kapasitas 83 persen dibandingkan pertengahan Maret yang mencatat 66 persen. Ini adalah hasil positif mengingat mimpi buruk yang Cina hadapi di bulan Februari lalu. Tentu, hasil ini adalah penurunan drastis apabila dibandingkan dengan ekspektasi saat itu.
“Apabila kita terus terjebak di level output seperti ini lebih lama lagi, tidak mungkin perekonomian dapat bertumbuh dibandingkan tahun lalu. Sangat mengagumkan bagaimana kita bisa sampai di posisi kita saat ini, tetapi kita baru akan menghadapi masa tersulit,” kata co-founder Trivium Andrew Polk.
Artikel ini pertama kali diterbitkan Financial Times pada 17 April 2020
Penerjemah Ricky M. Nugraha
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo