"MANISNYA" harga gula pekan pekan ini, ternyata, memang belum dinikmati para petani tebu. Buktinya, 17 orang petani di Kelurahan Triharjo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, terpaksa mengadukan nasibnya ke LBH Yogyakarta. Mereka merasa dipaksa ikut program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dengan dipatoknya sawah mereka oleh petugas-petugas TRI. "Padahal, belum ada kesepakatan antara kami dan Satpel (Satuan Pelaksana) TRI, mengenal harga yang wajar," ujar salah seorang dari pengadu. Hitung-hitungan soal harga itu, menurut para pengadu, terpaksa dilakukan karena pengalaman mereka tahun-tahun lalu. Salah seorang dari pengadu itu, Djamin, 40, yang mengaku mempunyai sawah 150 lubang (tiap lubang 10 mFD), merasa dirugikan ikut program TRI. Ia lebih suka mengelola sendiri sawahnya. Menurut petani yang berambut gondrong itu, tahun lalu, dari semua komponen uang yang diterimanya dari proyek TRI, ia hanya menerima bersih Rp 257 per lubang selama umur tebu, yaitu 18 bulan. Padahal, kalau sawah itu ditanaminya padi, dengan dua kali panen, setiap lubang akan menghasilkan Rp 1.700. Hasil yang lebih besar, yaitu Rp 2.200, dicapai bila sawah itu ditanami palawija. Karena itulah petani menuntut harga yang wajar bila harus ikut proyek TRI pada musim tanam tahun ini. "Kalau sekarang saya harus rugi lagi, bagaimana caranya saya bisa menghidupi keluarga?" ujar Djamin, ayah empat anak itu dengan polos. Para petani, seperti Djamin, mau ikut TRI asal memperoleh Rp 1.750 per lubang. "Jika dihitung-hitung, sebenarnya, dengan harga itu kami masih rugi. Tapi, tak apalah, kami memang harus mendukung program pemerintah," ujar Djamin. Namun, kesepakatan antara petani tebu dan Satpel TRI (yang terdiri dari pemerintah tingkat kecamatan, KUD, dan pabrik gula) tidak kunjung tercapai, sampai 16 April lalu. Tiba-tiba saja, sawah-sawah yang sudah telanjur ditanami palawija dipatok petugas. Satpel TRI, dengan pengawalan ketat petugas keamanan kecamatan. "Palawija kami rusak jadinya," ujar seorang petani. Keluhan petani, ternyata, tidak sekadar itu saja. Beberapa orang petani, termasuk Djamin, dipanggil Polsek Pandak. "Saya dituduh membangkang program pemerintah," ujar Djamin. Seorang petani lain, yang kebetulan pegawai di kantor kabupaten, malah dilaporkan ke atasannya sebagai pelopor protes petani itu. "Untungnya, atasan saya bisa memaklumi keadaan saya," ujar petani yang juga menjadi pegawai negeri itu. Ketua KUD Pandak, Sumawihardjo, menganggap alasan penolakan petani di daerahnya itu untuk ikut proyek TRI dibuat-buat. "Bukankah TRI itu dimaksudkan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani?" kata Sumawihardjo. Sebenarnya, menurut ketua KUD itu, harga per lubang yang ditetapkan satpel TRI untuk daerah itu sudah tinggi. "Sebab, kondisi tanah di sini jelek," katanya. Ia menduga, keresahan petani di daerah itu hanya disebabkan kenaikan harga gula dua pekan lalu, khususnya kenaikan harga dari pabrik gula ke Bulog sejak 1 Mei. "Tapi, masak kami bisa langsung menaikkan uang paket TRI itu gubernur saja tidak mungkin melakukan secepat itu," ujar Sumawihardjo. Berbeda dengan ketua KUD Pandak, seorang pejabat di Direktorat Jenderal Perkebunan mengakui, kasus di Pandak itu hanyalah salah satu dari 56 macam ekses yang terjadi di 56 pabrik gula di Pulau Jawa. Ekses itu terjadi, menurut sumber itu, akibat paket kredit yang tinggi, yaitu Rp 1 juta untuk setiap hektar, yang disalurkan melalui KUD. "Akibatnya, banyak yang mau mengurus KUD, padahal mereka tidak punya kecakapan teknis kualitas jadi turun, dan petani rugi," ujar pejabat itu. Sebab itu, "Kami akan mengarahkan agar pengelolaan TRI dikembalikan ke petani. KUD hanya melayani saja," tambahnya. Hanya saja, ia mengharapkan, LBH Yogyakarta tidak hanya melihat persoalan itu dari segi hukum murni, tapi juga melihat kepentingan nasional. Sebab, untuk 56 pabrik gula di Pulau Jawa itu, pemerintah sudah menanam modal sekitar US$ 40 juta. "Kalau soal pengaduan segelintir petani Bantul itu dilayani LBH, akibatnya akan menular, dan bisa menimbulkan bahaya nasional," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini