KAPAL penangkap udang, beberapa bulan ini, pasti lebih sibuk mengarungi perairan sekitar Maluku dan Irian Jaya. Itu karena Jepang membutuhkan lebih banyak udang dalam menghadapi "musim kawin" April dan Mei ini. Sebetulnya, tak usah musim kawin pun, orang Jepang sejak dulu memang pemakan udang yang teramat rakus. Itu bisa dilihat dari data yang dikumpulkan Food and Agriculture Organization (FAO), badan pangan PBB, bahwa hampir sepertiga dari 700.000 ton udang, yang diperdagangkan dunia sepanjang 1983, disergap oleh pasar Jepang. Setelah India, dari sinilah Jepang paling banyak mengimpor udang. Tahun lalu, misalnya, Jepang membeli 22.224 ton dengan nilai sekitar US$ 200 juta. Atau, menyerap 82% ekspor udang Indonesia. "Kita kewalahan memenuhi permintaan Jepang," kata seorang pejabat di Departemen Perdagangan. Padahal, di Jepang, seperti dilaporkan wartawan TEMPO, Seiichi Okawa, udang adalah barang dagangan yang laku dan mendatangkan keuntungan besar. Itu sebabnya komoditi itu dijuluki "berlian laut" alias umi no daimond. Ada sembilan perusahaan patungan dengan Jepang yang beroperasi menangkap udang dan ikan di sini. Delapan menyebarkan armada di perairan sekitar Irian Jaya dan Maluku dan satu di Kalimantan Timur. Perairan di Timur itu menghasilkan udang windu alias tiger yang harganya US$ 15.000 per ton, jauh di atas plafon harga yang ditetapkan Departemen Perdagangan, US$ 1.600 sampai US$ 10.000 per ton (FOB). Yang pasti, seperti dikatakan Windarwati Manajer PT Pumar, "Udang adalah komoditi kuat." Artinya, mengekspor komoditi itu, seperti yang dialami perusahaan PMDN yang mengekspor udang ke Jepang sejak 1967 itu, bukan pekerjaan sulit. Meski begitu, banyak perusahaan Jepang yang mengimpor udang ke negerinya dengan cara imbal beli (counter purchase). Misalnya, empat perusahaan Jepang yang memenangkan tender pembelian barang pemerintah sampai Januari lalu, seperti Mitsubishi (pupuk), Nissho Iwai (peralatan pabrik kayu lapis dan veener), C. Itoh (tambang batu bara Ombilin dan pabrik gula Baturaja), dan Itabashi (panas bumi). Memang, selain udang, perusahaan itu membeli komoditi lain untuk memenuhi apa yang disyaratkan dalam ketentuan imbal beli. Menurut sebuah sumber, paling tidak sudah 2.260 ton udang senilai US$ 15,54 juta diimpor dengan cara itu. Ada 13 perusahaan di sini yang biasanya menyediakan udang untuk diimbalbelikan. Paling besar adalah CV Dharma Mulia, yang mampu mengumpulkan udang dari nelayan 300 ton per bulan. "Bagi kami, menjual untuk keperluan imbal beli atau tidak, sama saja," ujar Dijanto, manajer ekspor perusahaan itu. Diakuinya, selama ini mereka sudah menjual udang -- di antaranya kepada Mitsubishi dan C. Itoh -- untuk counter purchase sejumlah 641 ton, dengan nilai US$ 5,2 juta. Sistem jual beli itu merupakan upaya pemerintah merangsang ekspor -- di luar gas dan minyak bumi -- terutama jenis komoditi yang seret lakunya di pasar internasional. Upaya yang mirip juga dilakukan negara-negara Eropa Timur, seperti Rusia, tapi sangat tidak disukai negara Eropa Barat yang menganut prinsip perdagangan bebas. Tapi sekarang, pada masa resesi, tampaknya mereka mengendur. Itu bisa dilihat, di antara 31 perusahaan dari 19 negara penyuplai yang memenangkan tender imbal beli di Setneg (dengan nilai seluruhnya US$ 764.926.721,69), terdapat Belanda, Jerman Barat, Italia, Swedia, dan Inggris. Yang lain Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, dan dua negara blok Timur, Rumania dan Jerman Timur. Bermacam-macam komoditi yang dikenal seret ekspornya, lewat pengaitan imbal beli ini bisa terjual, misalnya karet, tekstil, pakaian jadi, semen, rokok, aluminium, pipa baja, ban mobil, di antara 33 komoditi yang diprioritaskan. Di dalam daftar, tentu tak tercantum udang, "berlian laut" di negeri harakiri itu. Tapi, berhubung repot memasarkan 33 komoditi kaitan, "Jepang lalu menawar udang," kata seorang eksportir. Dan pemerintah memahami kesulitan partner dagangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini