ANAK Agung Gde Mandra adalah sebuah kebahagiaan yang sederhana. Bila gamelan telah dipukul, dan anak-anak Desa Peliatan di Ubud, Bali, mulai melenggak-lenggokkan tangan dan tubuhnya, ketika itulah seniman besar Bali itu menemukan dunianya. Ia lalu lupa pada penyakit jantungnya, pada tekanan darah tingginya, lalu -- yang gawat -- kencing manisnya. Orang tua yang menghabiskan hari-hari terakhirnya di desa kelahiran itulah orang pertama yang menerbangkan kesenian legong ke Belanda, kemudian negara-negara sekitarnya, 55 tahun yang lalu. Setelah itu, Inggris, Amerika, Australia, Meksiko dikunjunginya pula. Terakhir, tahun lalu, pukulan kendangnya ikut memeriahkan Expo Tsukuba, Jepang. Tahun ini, anak seorang penari legong kenamaan, Anak Agung Made Pandji, yang lahir pada 1905 ini lebih banyak duduk di rumah. Seperti panggilan itu telah didengarnya, sehari-hari ia sibuk menghiasi balai-balai di rumahnya, yang memang biasa untuk menaruh jenazah, dengan perada berwarna teduh. Sering kali pula kesepuluh anaknya dikumpulkan, lalu dipesannya agar tetap menjaga keharuman Puri Kaler Peliatan. Isyarat-isyarat ini menjadi kenyataan, Senin pekan lalu. Mandra mengembuskan napas terakhir, di RS Sanglah, Denpasar, setelah meminta agar semua lencana tanda penghargaan yang pernah diperolehnya -- dari dalam dan luar negeri dipasangkan di bajunya. Keempuannya dalam seni terbukti pertama kali ketika ia masih 20 tahun. Bila sebuah tarian legong kini ditarikan oleh penari wanita, itulah pembaruan yang dilakukan Mandra pada tahun 1925. Sebelumnya, legong, tari yang menjadi keistimewaan ayahnya, hanya ditarikan lelaki. Ia pula yang memasukkan pada arja -- yang semula hanya menampilkan cerita sejarah kerajaan-kerajaan Bali -- cerita Panji. Dan memasukkan pula pemain wanita. Dalam kesenian masa kini, Mandra pun masih punya andil, meski tak langsung. Harus dikatakan, Sardono W. Kusumo, penata tari dari Solo itu, pernah menimba ilmu dari Mandra. Bahkan gamelan Smara Pegulingan, milik keluarga Mandra, yang telah berusia lebih dari 150 tahunlah yang mengiringi Cak Rina -- sebuah bentuk karya tari bertolak dari tari cak Bali -- itu ketika dipentaskan di Shira, Iran. Bekas perbekel (kini semacam lurah) tamatan HIS ini, anehnya, tak pernah belajar tari dan tak bisa menari, meski ayahnya terkenal sebagai penari legong. Ini pengakuannya sendiri, entah kalau itu salah satu cara untuk merendahkan dirinya. Mungkin ia memang lebih sebagai penata tari: diakui oleh banyak seniman Bali sendiri, pandangannya terhadap sebuah tarian begitu rinci dan tajam. Ia bisa melihat gerak-gerak yang bagaimana yang cocok untuk penari satu, tapi tak cocok untuk yang lain. Seperti sudah disebutkan, bahkan pada usia 20 tahun, ia telah merasa tari legong lebih baik ditarikan oleh seorang wanita. Memang, keutamaan Mandra adalah sebagai penata tabuh (kerawitan). Dialah pemukul kendang piawai, yang bukan saja plak-plak kendangnya mengarahkan para penabuh yang lain, tapi juga memberi jiwa pada lagu yang sedang dibawakan. "Alunan kendangnya bukan saja mengarahkan penabuh lainnya, tetapi juga memperbaiki sikap penari," kata Made Beratha, 61, pensiunan guru kerawitan di Denpasar. Guruh Sukarno Putralah yang dalam hal kerawitan banyak memperoleh ilham dari Mandra. Baik untuk pementasan Swara Maharddhika maupun untuk upaya Guruh dalam menyatukan gamelan Bali (pentatonis) dan musik diatonis. Mandra jugalah pendobrak tradisi kerawitan Bali, antara lain dengan memasukkan gender smara pegulingan -- gender khusus yang bunyinya merupakan perpaduan bunyi gender wayang kulit Bali dan gender gong kebyar. Di tangan Mandra, gender yang merupakan warisan keluarga itu bisa dipadukan untuk mengiringi tari legong, terutama jenis legong yang lebih halus. Kreasi ini mulai diperkenalkan pada 1978, dan sejak itu perkumpulan yang dipimpinnya diberi nama Smara Pegulingan Tirta Sari. Dan karena gender warisan itu dianggap keramat, Mandra membuatkan duplikatnya yang menelan biaya Rp 4 juta, sumbangan dari Ford Foundation. Pada 1982, seniman ini memperoleh anugerah seni dari Departemen P & K sebagai pembina tari dan kerawitan. Dalam sejarah tari Bali, tercatat misalnya tari Oleg Tabulilingan karya Mario, musiknya diciptakan oleh Mandra. Banyak orang menduga, untuk polesan terakhir ciptaan baru itu, Mandralah yang melakukannya. "Kelebihan Mandra, ya, dalam memoles itu dan memilih penari yang cocok membawakan salah satu bentuk tarian," kata Made Dibia, pengagum dan murid Mandra. Itulah, adanya seorang penata kerawitan yang kreatif, yang sekaligus seorang pengamat tari yang awas, yang membuat grup Mandra di Peliatan tetap merupakan peringkat teratas dalam kelompok tari di Bali. Dan mungkin memang di situlah kunci kebesaran seorang seniman tradisional: ia tak memberikan garis pemisah yang tajam antara satu cabang kesenian dan cabang yang lain. Apalagi, keutuhan sebuah ciptaan, bagi Mandra, tampaknya tidak hanya pada karya itu sendiri. Namun, yang lebih penting adalah keserasian ciptaan itu dengan keseluruhan denyut kehidupan. Mungkin saja, kepekaannya terhadap keseluruhan itulah yang membuatnya peka menangkap panggilan Hyang Widi, beberapa lama sebelum ia benar-benar sampai pada janjinya -- setelah sejumlah kegiatan ia sumbangkan, setelah beberapa ciptaan ia tinggalkan. Ketika gamelan ditabuh dan anak-anak Desa Peliatan mulai menari, orang akan tetap ingat kepada Mandra. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini