ANDA tahu tentang seekor kuda? Agar larinya cepat hewan ini memerlukan pemeliharaan cermat, misalnya makanan bergizi -- bagi kuda, tentu. Di zaman modern kini, ternyata kuda beroda empat pun membutuhkan gizi agar berjalan mulus. Makanan bergizi tinggi -- bahasa kuda roda empatnya beroktan tinggi -- di Indonesia disebut premium dan super. Gizi itu diperoleh dengan mencampurkan vitamin, yang bahasa teknisnya disebut TEL (Tetra Ethyl Lead). Dengan gizi itulah si kuda modern mampu melaju penuh tenaga. Pekan lalu Ikatan Ahli Otomotif (IATO) Indonesia melakukan debat untung rugi soal gizi tinggi itu, di Hotel Sahid, Jakarta, selama dua hari. Para peserta "Seminar Bilangan Oktan", demikian kegiatan ini disebut, dari banyak kalangan. Ada wakil produsen minyak, produser mobil, pemerintah, dan tentu saja ahli-ahli mesin otomotif. Bilangan oktan memang menentukan kualitas bahan bakar. Bensin super, misalnya mengapa lebih menjadikan mesin berjalan mulus, karena kadar oktannya mencapai 98. Premium, cuma 87. Kadar gizi itu diperoleh Pertamina dengan cara mengolah naftan. Naftan sendiri, bahan bakar yang langsung diperoleh dari pengilangan minyak mentah, oktannya cuma 70. Dengan menambahkan TEL tadi, dikombinasi dengan rekayasa hydrocracking, diperoleh bahan bakar dengan kadar oktan yang diinginkan. Dua cara itu diterapkan, guna mengerem harga dan mengurangi kadar pencemaran. Proses hydrocracking, seperti diketahui, mahal, tapi menghasilkan bahan bakar yang tak mengandung timah hitam. Dengan TEL, ongkos produksi murah, tapi sialnya asap hasil pembakaran mengandung timah hitam yang kadarnya tergantung banyak sedikitnya campuran TEL itu. Dan sebenarnya TEL, bahan kimia yang telah menjadi campuran mogas sejak awal Perang Dunia II, efektif. Yakni bagi si pemakai, alias kuda beroda empat itu. Selain menaikkan angka oktan dengan murah, juga berfungsi sebagai pelumas untuk klep di seputar torak mesin otomotif. Itu sebabnya bila mobil-mobil yang menggunakan bahan bakar bensin super suara mesinnya lebih halus, punya tenaga dorong lebih besar. Sebab, kandungan TEL dalam super memang lebih tinggi daripada dalam premium. Yang pertama 3cc per galon, premium cuma 2 cc. Tapi itulah, suara dalam seminar cenderung antisuper. Masalahnya semata bisnis. Menurut Ir. Sadono, Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan Direktorat Pembekalan Pertamina, bila super tak diproduksi lagi, lebih menguntungkan bagi pihaknya. Soalnya, ongkos produksi super, yang memerlukan 3 cc per galon naftan, tinggi. Padahal, pasaran super ternyata kecil. Menurut catatan Pertamina, cuma 2% dari konsumsi total, kata Sadono pula. Tanpa harus memproduksi bensin yang tangkinya berwarna jingga itu, Pertamina bisa menghemat Rp 3 milyar setahun. Dengan kata lain, bensin super selama ini membuat rugi sebesar angka itulah. Apalagi bila Pertamina mengikuti imbauan para pencinta lingkungan hidup. Yakni memproduksi bahan bakar dengan kadar polusi rendah, artinya proses hydrocracker lebih diutamakan. Jatuhnya harga bensin per liter akan tinggi. Alternatif yang ditawarkan Sadono, menghapus super menaikkan kadar oktan premium, bila memang bensin beroktan tinggi diperlukan. Jadi, bensin snper mau dihapus? "Wah, belum ada niat ke sana," jawab Dirjen Migas Soedarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini