Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membalikkan kuhap

Hakim pn jakarta pusat, eddy djunaidi, dianggap melanggar kuhap dalam menyidangkan kosim, tertuduh pemalsuan paspor. eddy mengadili terdakwa tanpa me ngajukan saksi terlebih dulu.

3 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu kemajuan acara peradilan, sejak KUHAP berlaku, adalah urutan tata cara sidang. Pada masa hukum acara lama, Het Herziene Indlandsch Reglement (HIR), di setiap persidangan terdakwa diperiksa lebih dulu daripada saksi, sedangkan di masa KUHAP pengadilan melakukan yang sebaliknya. Sebab itu, terasa agak aneh ketika Hakim Eddy Djunaidi yang baru sebulan bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pekan-pekan lalu menyidangkan perkara pemalsuan paspor dengan memeriksa terdakwa lebih dulu. Anehnya lagi, baik terdakwa, M. Soleh Kosim, maupun Jaksa Haonim Hulu tidak memprotes tata cara sidang yang tidak biasa itu. Padahal, dalam sebuah surat edaran Ketua Mahkamah Agung, ketentuan saksi diperiksa lebih dulu itu pernah pula ditegaskan. Hasilnya Rabu dua pekan lalu, Kosim divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Kosim, 45 tahun, diadili dengan tuduhan telah memalsukan sebuah paspor untuk menguangkan traveler's check milik orang lain. Seharusnya selesai jaksa membacakan tuduhan, hakim memanggil saksi-saksi ke sidang. Tapi tidak dalam kasus itu. Hakim tunggal Eddy Djunaedi tiba-tiba memeriksa terdakwa. "Apa tuduhan itu benar?" tanya Djunaedi. "Benar, Pak Hakim. Saya melakukan itu karena saya butuh uang," katanya. Atas pertanyaan hakim, Kosim kemudian menceritakan urutan kejahatan yang dilakukannya. Sekitar Juni lalu, cerita Kosim, ia membeli 11 lembar traveler's check -- masing-masing dengan nominal 50 US dollar seharga Rp 125 ribu dari seorang temannya, Hasan, di depan stasiun Jatinegara. Dan temannya itu, ia tahu traveler's check itu sebuah surat berharga dan bisa dirupiahkan senilai Rp 800 ribu. Tapi untuk itu diperlukan sebuah paspor. Melalui Hasan pula ia mendapat paspor atas nama Irawan. Lelaki yang mengaku pedagang itu kemudian mengganti foto paspor dengan foto dirinya. Berbekal paspor palsu tersebut, ia mencoba menguangkan surat berharga keluaran Amex itu di sebuah money changer (tempat penukaran valuta asing). Tapi malang bagi Kosim, usahanya meniru tanda tangan di surat berharga itu ketahuan petugas money changer. Kosim tertangkap. Tapi cara Eddy menyidangkan Kosim itu kini dipersoalkan sebagai melanggar KUHAP. "Cara begitu tidak bisa dilakukan hakim, ia sudah melanggar KUHAP," kata ketua umum organisasi advokat, Ikadin Harjono Tjitrosoebono. Menurut advokat senior itu, seorang terdakwa berhak mengetahui lebih dulu pembuktian jaksa atas kesalahannya, termasuk mendengarkan saksi-saksi. "Jadi, terdakwa harus tahu dulu kenapa ia dituduh, buktinya apa. Baru kemudian ia bisa mengakui tuduhan itu atau membantahnya," tutur Harjono. Menurut Harjono, sebenarnya dalam hal tata cara sidang HIR dan KUHAP itu sama saja, yaitu saksi diperiksa lebih dulu sebelum terdakwa. Tapi pada masa HIR ketentuan itu dikalahkan oleh kebiasaan peradilan. Barulah setelah KUHAP berlaku, dan sejalan dengan semangat menegakkan hak asasi terdakwa, tata cara itu diberlakukan sebagaimana mestinya. "Pelanggaran terhadap ketentuan itu sama saja dengan pelanggaran hak asasi terdakwa, dan melanggar prinsip praduga tidak bersalah. Kesalahan apa lagi yang harus dibuktikan kalau terdakwa sudah disuruh mengaku?" ujar Harjono. Sebab itu, Harjono berpendapat keputusan hakim nantinya bisa dibatalkan karena melanggar ketentuan KUHAP tersebut. Hakim Eddy Djunaedi, yang 16 tahun bertugas di Mahkamah Agung, terakhir direktur pidana di peradilan tertinggi itu, membantah caranya itu melanggar KUHAP. Sebab, di KUHAP, kendati ada ketentuan yang menyebutkan di setiap persidangan saksi korban lebih dulu didengar, katanya, tidak ada aturan tegas yang melarang terdakwa lebih dulu diperiksa. Sementara itu, surat edaran Mahkamah Agung hanya menyebutkan demi keseragaman sebaiknya saksi diperiksa lebih dulu. "Jadi, hanya demi keseragaman, bukan pelanggaran KUHAP," bantahnya. Selain itu Eddy berpegang kepada buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid II, karangan Yahya Harahap. Dalam buku itu Yahya memang mengakui prinsip KUHAP menyebutkan saksi diperiksa lebih dulu. Tapi itu, katanya, tidak mutlak, karena tidak ada larangan terdakwa diperiksa lebih dulu. Hakim yang pernah bertugas di Ciamis itu membantah melanggar hak asasi terdakwa, dengan cara sidangnya itu. "Walau di sidang itu terdakwa diperiksa lebih dulu, saya memperhatikan hak asasi terdakwa. Buktinya, dua kali saya menanyakan kepada terdakwa tentang haknya didampingi pembela," kata Eddy lagi. Kebijaksanaannya memeriksa terdakwa lebih dulu itu, katanya, semata-mata demi peradilan berlangsung cepat, murah, dan sederhana. Benarkah kebijaksanaan Eddy itu ? Serang pejabat kejaksaan mengatakan, ketentuan saksi diperiksa lebih dulu itu ketentuan mutlak. "Dari urutan-urutan tata cara sidang yang diuraikan KUHAP pun jelas bahwa saksi yang harusnya diperiksa lebih dulu," kata pejabat yang tidak bersedia disebutkan namanya itu. Sebenarnya, kata sumber itu, cara Hakim Eddy Djunaedi itu menguntungkan kejaksaan dan merugikan terdakwa. "Tapi saya tidak setuju caranya itu. Sebab, jiwa dari KUHAP itu adalah menjamin hak asasi terdakwa. Jadi, jangan dilanggar, dong," katanya. Sampai pekan lalu belum bisa dipastikan Eddy melanggar KUHAP atau tidak. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Gde Sudharta, mengatakan pihaknya sudah meminta petunjuk ke Mahkamah Agung. "Faktanya memang ada, tapi saya kira putusan pengadilan tidak akan batal karena itu. Sebab, di masa HIR pun, pelanggaran atas ketentuan itu tidak membatalkan vonis hakim," kata Sudharta. Karni Ilyas dan Happy Sulistyadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus