MELIHAT kebijaksanaan pemerintah dalam penanaman modal, dewasa ini, tampaknya kita memasuki era merayu kembali penanam modal asing. Paket 6 Mei lalu yang bernada kompromi sekaligus penegasan kembali peraturan yang berlaku untuk PMA, disusul keputusan yang membuka pintu untuk PMA hampir dua kali lipat. Daftar Skala Prioritas (DSP) Bidang Usaha Penanaman Modal 1986, yang diterbitkan 2 Juni lalu, itu memberikan lowongan untuk PMA dalam 926 bidang, sedangkan sebelumnya hanya 475. Peluang paling mencolok tampak di sektor industri, terutama pada subaneka industri, industri mesin 8 logam dasar, serta industri kimia dasar, yang tadinya diandalkan kepada perusahaan modal dalam negeri (PMDN) dan pengusaha kecil. Industri sepatu, misalnya, tahun lalu hanya terbuka untuk pengusaha kecil setingkat kalangan pengusaha Cibaduyut di Bandung - tertutup untuk PMDN apalagi PMA. Berbagai bidang industri makanan, seperti pemotongan, pembekuan, pengawetan daging serta sayuran, hanya terbuka untuk PMDN dan pengusaha kecil. Tapi kini PMA boleh masuk. Menurut Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Ginandjar Kartasasmita, lowongan bagi PMA memang dibuka lebih lebar. "Tapi PMA hanyalah sebagai unsur penunjang PMDN dan pengusaha kecil," katanya. Para pengusaha swasta nasional agaknya dinilai terlalu lambat mengisi lowongan-lowongan yang disediakan sampai tahun lalu. Masuknya modal asing ke bidang-bidang perkebunan kedelai dan jagung, peternakan kelinci, sapi, dan sebagainya akan mempercepat program ke arah swasembada kebutuhan-kebutuhan komoditi yang masih banyak diimpor itu. Demikian pula pembukaan kembali lowongan di bidang industri sepatu. Sepatu buatan Indonesia kini memang membanjir, tapi sebagian masyarakat masih gandrung produk-produk impor. Soalnya, kata Wakil Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo, mutu produk lokal masih kalah dengan impor. Karena itu, dalam DSP baru ada catatan bahwa lowongan di bidang seperti sepatu atau tikar atau alat-alat makan yang kini hendak dibuat haruslah yang berkualitas ekspor. Dalam ketentuan yang diturunkan 6 Mei lalu itu, dikompromikan 85% hasilnya diekspor, selebihnya tentu boleh dipasarkan di dalam negeri, dalam kualitas setaraf buatan luar negeri. Bukan tak mungkin perbandingan itu dikompromikan lebih besar untuk pasaran dalam negeri, bila memang produk-produk baru itu nantinya bisa membendung, misalnya, impor sepatu merk Bally atau Nike. Hal itu justru yang dikhawatirkan pengusaha sepatu lokal. "Sepatu impor saja sudah menyulitkan kami berproduksi lebih dari 200 pasang per hari. Apalagi bila ditambah produksinya di sini," tutur Rendi Kusbianto, pemilik pabrik berkapasitas produksi 600 pasang sepatu Canadian di Bandung. Beberapa bidang yang kini sedang lesu juga ditawarkan kepada PMA. Misalnya industri mesin jahit, kabel, jasa rig di sektor pertambangan minyak dan gas, atau pertanian seperti produksi minyak sawit kasar (CPO). "Lho, pasaran CPO sekarang memang lesu, tapi belum tentu 'kan nanti?" tutur Sanyoto. Tentang pembukaan kembali sektor jasa pertambangan migas, Wakil Ketua BKPM itu mengakui, dewasa ini banyak usaha penyewaan rig yang tidak kebagian order. Tapi mereka, menurut Sanyoto, lebih banyak bertindak sebagai agen dari perusahaan luar negeri saja. Dhgan kebijaksanaan baru, para pemilik rig di luar negeri diundang untuk langsung beroperasi secara patungan kemari, sehingga bisa lebih bertanggung jawab. Produksi kabel dewasa ini, menurut Ketua Asosiasi Pabrik Kabel Listrik Indonesia (Apkabel) Kusudiarso Hadinoto, sulit mencari pasaran. Pasar bebas dan pasar PLN kini diperebutkan perusahaan kabel besar (2 PMA), 8 perusahaan menengah, dan 6 perusahaan kecil. Persaingan dengan banting-bantingan harga, konon, disertai dengan penurunan mutu produksi. PT Sucaco, sebagai salah satu perusahaan besar, kabarnya masih mampu berproduksi 70%, tapi tak ada untung sehingga harga sahamnya di bursa jatuh ke bawah pari. Tak jelas apakah peluang di bidang industri mesin jahit juga masih menarik. Yang Jelas, PT Regnis Indonesia, sejak tahun silam, babak belur dijepit mesin-mesin jahit impor selain produk lokal lain yang lebih murah. Perusahaan modal AS yang baru go public, 1983, itu tahun silam tak mampu lagi membagi dividen. Tapi Direktur Singer, Douglas Barrons, menyambut baik kebijaksanaan baru yang memungkinkan Singer bertahan hidup dengan terjun ke bidang lain. Kini Regnis hendak memproduksi juga barang elektronik, seperti lemari es dan kipas angin. Selain mengundang investor baru, kebijaksanaan 6 Mei dan 2 Juni di bidang penanaman modal itu dimaksudkan memang untuk mencegah repatriasi modal PMA, yang dewasa ini merugi sehingga kelebihan modal cadangan, maupun yang memetik untung terus. PT Sepatu Bata, misalnya. Perusahaan Kanada itu, sepertinya, tak terkena resesi, dan masih bisa meraih laba bersih Rp 3,2 milyar dan membagi dividen Rp 2,8 milyar tahun silam. Karena baru 15% sahamnya yang dijual kepada masyarakat. sudah bisa dihitung, dari dividen itu berapa yang tetap di Indonesia dan berapa yang ke Kanada. Namun, tahun silam Bata masih sempat juga investasi Rp 1,1 milyar untuk modernisasi pabrik, sehingga kapasitasnya dua kali lipat. "Bila resesi telah lewat, kami siap terjun," ujar seorang manajer eksekutif PT Sepatu Bata, B.F. Hasiholan Sirait. Katanya kemudahan baru bagi PMA mungkin merangsang Bata memperluas bidang usaha produksi penunjang, seperti pengolahan kulit, kain dan acuan sepatu, yang kini sebagian masih harus diimpor. Max Wangkar, Laporan Biro Jakarta, dan Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini