GENGSI juga bisa menikmati siaran langsung kejuaraan sepak bola dunia yang saat ini berlangsung di Meksiko, meski - untuk itu - harus bangun pukul 5 pagi. Sebagian orang kaya di Jakarta dan Bandung, kini, memang mampu mengundang siaran-siaran televisi dari negara tetangga. Seorang pejabat DKI Jaya, misalnya, sejak bulan lalu memasang antena berbentuk mangkuk dengan garis tengah 3,6 m di balok rumahnya di bilangan Cempaka Putih. Antena yang dipasang sekitar 7 m di atas tanah itu, menurut putrinya, bisa menangkap dengan bagus siaran-siaran TVRI, RTM (Malaysia), TV Muangthai, dan TV Taiwan. "Kata Ayah, sebenarnya bisa juga menangkap siaran dari Prancis, Moskow, atau negara lain, kalau tidak terhalang gedung atau pohon," ujar mahasiswi di rumah tersebut dengan bangga. Antena parabola, yang dikenal sebagai DBSR (direct broadcasting satellite receiver) itu mulai digandrungi sejak ada pameran di Jakarta, April lalu, kemudian di Bandung, bulan lalu. DBSR dijual PT Tacico Agung Utama Electronics di Jakarta dan Toko Gunung Kawi di Bandung. Harga yang ditawarkan, sudah termasuk pemasangan, berkisar Rp 1,5 juta-Rp 4 juta - sesuai dengan ukuran: berdiameter 1,2 m-3,7 m. Namun, tak semua antena yang dijajakan Tacico dan Gunung Kawi mampu menangkap siaran dari Taiwan atau Muangthai. Antena yang bergaris tengah di bawah tiga meter terlalu lemah untuk menangkap siaransiaran sejauh itu, paling-paling dari Malaysia. "Kebanyakan pembeli antena ini, saya lihat sekadar gengsi saja," tutur H. Oyong, pemilik Gunung Kawi. Kecuali mereka dari perusahaan-perusahaan perkebunan, yang berada di balik gunung-gunung di Bandung, yang belum mampu menangkap siaran TVRI dengan baik. Sebenarnya, sejak 1980, sudah ada perusahaan yang membuat antena parabola untuk masyarakat di belakang gunung atau perusahaan pertambangan di lepas pantai. Namun, antena parabola buatan PT RFC (Radio Frequency Communication) Bandung itu tidak dirancang khusus untuk langsung ke rumah-rumah, melainkan harus dipancarkan kembali lewat stasiun bumi kecil (SBK). Antena buataan RFC ini, yang disebut TVRO (television receiver only) itu, lebih mahal dari DBSR, tapi manfaatnya lebih banyak. Menurut Kepala Divisi Produksi RFC, Sofyan Yusuf, TVRO berdiameter 3 m berharga Rp 11 juta lebih, sedangkan yang bergaris menengah 5 m bisa mencapai Rp 25 juta. "Mahal, sebab komponennya masih kami impor," ujar Sofyan. TAPI, sejauh ini, RFC berhasil menjual sekitar 70 unit. TVRO mampu menangkap sinyal-sinyal TV hanya yang dipancarkan lewat satelit Palapa, kemudian dipancarkan kembali oleh SBK (buatan PT Inti) dan bisa ditangkap pesawat-pesawat televisi dalam radius 20 km-30 km. Sedangkan DBSR menangkap sinyal televisi langsung dari satelit untuk langsung masuk ke pesawat televisi. PT Tacico, menurut sekretaris manajer pemasarannya, sudah berhasil menjual 50 unit diJakarta. Sedangkan Gunung Kawi, menurut pemiliknya, telah menjual 25 unit - dan, untuk diketahui, 40 pemesan belum sempat diladeni. Konon, yang dijual itu DBSR buatan AS. RFC sebenarnya mampu membuat, tapi belum melihat segi komersial untuk merakitnya. Sebab, DBSR harus mengarah ke satelit jenis DBS, bukan jenis satelit telekomunikasi umum seperti Palapa. Memang di angkasa dekat wilayah Indonesia kini sudah beredar beberapa satelit jenis DBS, misalnya Intelsat (milik AS), Gorisonta (milik Uni Soviet), dan BS-2A (milik Jepang). Masing-masing bekerja sekitar dua kali lebih tinggi dari Palapa. Satelit-satelit tersebut tentu saja disorotkan langsung ke negeri pemiliknya sehingga para pemirsa di negeri itu cukup menggunakan antena parabola berukuran kecil. Sebagian DBS di angkasa itu memang membiaskan sorotannya ke wilayah Indonesia. Tapi, karena sorotannya lemah, maka diperlukan DBSR yang cukup besar untuk bisa menangkapnya dengan ba Menurut kalangan ahli RFC, diperlukan antena DBS berdiameter minimal 7 m, yang konon berharga lebih dari Rp 21 juta di luar negeri, untuk bisa menangkap siaran dari separuh jagat. M.W., Laporan Farid Gaban (Bandung) dan Syatrya Utama (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini