Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo alias Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan beleid tertarikh 13 September itu memuat ketentuan khusus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya, kata dia, bagaimana Indonesia memprioritaskan pembangkit listrik yang berbasis energi terbarukan. Selain itu, menghentikan pembangunan pembangit listrik tenaga uap (PLTU).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di dalam Perpres ini disebutkan secara jelas bahwa Indonesia tidak akan membangun PLTU yang baru, kecuali ada berapa yang di situ disebutkan. Kecuali yang sudah dalam rencana,” ujar dia dalam konferensi pers virtual pada Jumat, 7 Oktober 2022.
Sehingga, dia melanjutkan, pembangunan PLTU yang sudah ada di dalam proyek strategis nasional, yang memberikan kontribusi strategis besar secara nasional, tetap dilaksanakan. “Di belakangnya juga disebutkan bahwa dalam waktu 10 tahun kompensasi emisi gas rumah kacanya harus turun minimal 35 persen,” tutur Dadan.
Dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2022 disebutkan rincian PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini. Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 3 ayat 4 huruf a. Dalam beleid tersebut, Jokowi mengecualikan pelarangan pengembangan PLTU baru untuk kondisi tertentu. Pertama, PLTU terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam, termasuk proyek stratregis nasional (PSN) yang berkontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja atau pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, PLTU yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak pembangkit itu beroperasi. Patokan dasar yang digunakan ialah rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan. Ketiga, PLTU yang beroperasi paling lama sampai 2050.
Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sudah menjelaskan soal target mereka menutup PLTU pada 2050. Juli 2022, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyampaikan substitusi bahan bakar batu bara ke biomassa, misalnya, adalah proyek yang strategis.
Baca juga: Jaga Pasokan Listrik, Alasan ESDM Tetap Gunakan Batu Bara untuk Pembangkit Listrik hingga 2050
Selain bisa mengurangi ketergantungan atas batu bara, ia menilai langkah ini menjadi salah satu cara untuk menurunkan emisi karbon sebelum PLN mempensiunkan PLTU. Dengan co-firing biomassa, PLN bisa mendapatkan energi bersih dengan peningkatan biaya yang minimal.
“Melalui teknologi co-firing ini, PLN bisa mendapatkan beberapa manfaat sekaligus. Menekan emisi karbon yang dihasilkan oleh PLTU, meningkatkan bauran energi serta memaksimalkan potensi PLTU yang ada sebelum akhirnya benar benar pensiun dini,” ujar Darmawan.
Meski masih mengizinkan PLTU batu bara baru, Jokowi memerintahkan PLN segera mengakhiri operasi pembangkit tenaga uap itu. Termasuk, kontrak perjanjian jual beli listrik PLTU yang dikembangkan oleh pengembang pembangkit listrik atau PPLN--istilah untuk perusahaan penyedia tenaga listrik yang bekerja sama dengan PLN.
"Dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik," demikian bunyi Pasal 3 ayat 5 huruf b di Perpres ini.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.