Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau Kementerian ESDM Edi Wibowo menanggapi soal kritik ekonom senior Faisal Basri ihwal perbedaan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebagai penyebab minyak goreng langka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faisal Basri sebelumnya mengatakan harga CPO untuk biodiesel lebih tinggi dibandingkan untuk industri pangan, khususnya minyak goreng. Namun, Edi membantah hal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya cuma bingung, dua harga CPO itu maksudnya gimana ya. Karena harga CPO yang digunakan biodiesel yang digunakan KPB (Kantor Pemasaran Bersama)," ujarnya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Januari 2023.
Menurut Edi, harga acuan tersebut digunakan di dalam negeri maupun luar negeri, untuk biodiesel maupun minyak goreng. Ia menjelaskan harga biodiesel lebih tinggi ketimbang minyak goreng karena biaya pengolahannya berbeda. "Jadi kalau harga CPO sih sebetulnya hanya satu, yang digunakan KPB," kata dia.
Adapun soal insentif yang diberikan kepada pengusaha sawit yang dicurigai membuat penjualan CPO ke industri minyak goreng menurun, Edi menjelaskan semuanya sudah sesuai Peraturan Presiden atau Perpres. Dia juga berdalih minyak goreng pun diberikan insentif dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berupa subsidi selisih harga.
Di sisi lain, Edi menilai pemberian insentif kepada pengusaha wajar lantaran dana tersebut berasal dari BPDPKS, bukan dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN. Seperti diketahui, BPDPKS menghimpun dana dari potongan ekspor sawit. Sehingga, ujar Edi, sudah sesuai undang-undang yaitu 'dari sawit untuk sawit'.
Dia juga menyanggah pernyataan Faisal bahwa 75 persen insentif sawit dari BPDPKS hanya mengalir ke perusahaan-perusahaan besar. Menurut dia, pembagian insentif itu sudah sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 24 tahun 2021 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Sehingga, siapapun penjual CPO bisa mendapatkan insentif asalkan memenuhi syarat, termasuk petani.
Selanjutnya: Tolong ekonominya antara kajian dan kenyataan....
"Tolong ekonominya antara kajian dan kenyataan kadang-kadang sangat jauh beda. Tolong kajian-kajian sesuai realitas di lapangan supaya memberi jalan keluar yang bagus," tutur Edi.
Faisal Basri menjawab pernyataan Edi ihwal perbedaan harga CPO untuk biodiesel dan minyak goreng. Faisal yang juga merupakan ekonom senior INDEF itu menjelaskan harga CPO yang ditetapkan di KPB bukan harga jual di dalam negeri. Musababnya, pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor. Sehingga setelah dibebankan pajak tersebut, harga menjadi turun. Itu lah harga jual untuk industri minyak goreng.
"Jadi ada dua harga itu nyata adanya, Pak Edi, Masya Allah. Jadi mohon sekali lagi, analis kebijakan atau yang membuat kebijakan, konsep ini dasar sekali," kata Faisal Basri dalam kesempatan sama.
Adapun soal subsidi minyak goreng, Faisal menjelaskan pemerintah memang pernah memberikan subsidi namun hanya sedikit dan sebentar. Itu pun, menurut Faisal, penyalurannya tidak lancar. Kemudian setelah subsidi dicabut, harga minyak goreng kembali dilepas ke pasar.
Adapun soal klaim Kementerian ESDM bawa dana insentif untuk biodiesel berasal dari pengusaha sawit sendiri, Faisal mengungkapkan 40 persen dari dana yang dihimpun BPDPKS bersumber dari petani. Meski pengusaha yang membayar pajak ekspor, Faisal menekankan pajak tersebut dibebankan kepada petani karena pengusaha telah memotong harga di level petani.
"Undang-undang itu pun dari dulu sampai sekarang 'dari sawit untuk sawit', bukan dari pertanian untuk energi," ucap Faisal.
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.