Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa pengamat mengatakan fenomena tech winter akan berlanjut pada 2024. Tech winter adalah istilah untuk menggambarkan kondisi perusahaan rintisan (startup) yang berguguran atau untuk menyebut penurunan minat dan investasi dalam sektor teknologi. Namun, ada beberapa bidang startup yang bakal bisa bertahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Etikah Karyani Suwondo menjelaskan startup tersebut adalah startup digital yang berada tingkat pengembangan, yang dapat menghadirkan nilai dan solusi relevan dengan perkembangan teknologi. “Serta memiliki model bisnis yang berkelanjutan,” ujar dia saat dihubungi pada Senin, 1 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Startup tersebut juga, kata dia, kemungkinan akan dibidik menjadi target dari pendanaan. Salah satunya Etikah mencontohkan, bisnis financial technology (Fintech). Bisnis tersebut sangat dipengaruhi oleh preferensi konsumen yang cenderung semakin melek digital. Maka beberapa yang masih menjadi preferensi konsumen adalah sektor konsumsi seperti e-payment (e-wallet), cryptocurrency dan smart contracts, serta peer-to-peer lending.
Selain itu, Etikah yang juga ekonomi dari Fintech Center Universitas Sebelas Maret itu mengatakan pendanaan startup teknologi di Asia Tenggara masih akan berkembang positif. Namun, ada tantangan yang akan dihadapi 2024 ini.
“Bisa karena persaingan yang ketat sehingga inovasi dan teknologi harus disesuaikan, perubahan perilaku konsumen, dan regulasi yang berubah,” tutur Etikah.
Sebelumnya, Indonesia Fintech Society atau ISFoc memprediksi tech winter masih akan terjai pada 2024 ini. "Tahun 2024 bagaimana? Pasti akan mengalami tech winter selama rezim suku bunga masih relatif tinggi dan opportunity cost lebih menarik di aset yang lain," kata Steering Committee IFSoc, Eddi Danusaputro, dalam Press Briefing Catatan Akhir Tahun secara virtual pada Jumat, 29 Desember 2023.
Menurut Eddi, Indonesia juga sedang mengalami tahun politik, sehingga banyak orang yang tetap wait and see (menunggu dan melihat). Namun, kata dia, ada berbagai hal yang bisa menyebabkan tech winter, di antaranya adalah gejolak ekonomi makro.
Selain itu, kata dia, penyebab lainnya adalah perang di sejumlah negara. Di mana dampaknya banyak negara mengurangi ekspor pangannya, hingga kenaikan suku bunga. Eddi menggarisbawahi faktor kenaikan suku bunga.
Menurut dia, kenaikan suku bunga menjadikan capital cost dan opportunity cost naik. Eddi menuturkan, di tengah kenaikan suku bunga, investor di luar negeri lebih suka menyimpan uangnya di bank. "Jadi untuk mereka melirik investasi di aset startup yang berpotensi memberikan return tapi lebih riskan, mereka pikir dua kali," tutur Eddi.
Secara historis, Eddi menjelaskan, pendanaan ke perusahaan finansial teknologi atau fintech mulai agak melemah pada 2020-2021 ketika pandemi Covid-19. Pada 2022, jumlahnya sedikit naik usai penurunan alias rebound. Namun, Eddi tak membeberkan soal angka pastinya.
Pada dokumen yang dia tampilkan, terlihat tren pendanaan fintech di Indonesia adalah US$ 25 juta pada semester 1 2023. Nilai ini turun drastis pada periode yang sama di 2022 yang sebesar US$ 1.071 juta. Sementara itu, perbandingan rasio kenaikan jumlah deal pendanaan fintech Indonesia juga turun. Dari 1,1 kali pada periode 2021-2022, menjadi 0,3 kali pada semester 1 2022-semester 1 2023.
MOH KHORY ALFARIZI | AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Musim Dingin Startup akan Berlanjut di 2024, Apa Dampaknya?