Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Formula baru buat opec

4 menteri OPEC akan membahas model-model diferensial di abu dhabi, peranan menentukan dari arab saudi mulai sulit dipertahankan, jepang yang merupakan pasaran minyak Indonesia "berharap" harga diturunkan. (eb)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH saat-saat yang paling musykil buat OPEC, organisasi pengekspor minyak yang kini praktis cuma memproduksikan 17 juta barrel sehari. Kini empat menterinya yang ditunjuk menjadi panitia pengamat (monitoring) harga minyak lagi terus mencari formula bagaimana agar harga patokan minyak OPEC yang US$ 34 itu secara resmi bisa mereka pertahankan. Di Jakarta, anggota panitia pengamat Menteri Pertambangan dan Energi Subroto tentu sudah menerima laporan dari Adimir Adin, anggota kelompok ahli yang baru kembali dari Wina, akhir pekan lalu. Adimir, pejabat senior Ditjen Migas yang setiap kali mengikuti sidang OPEC, berunding di ibukota Austria bersama segenap utusan ahli OPEC lainnya. Dibentuk oleh panitia pengamat kelompok ahli itu dikabarkan telah memutar otak selama empat hari (30 Agustus -- 2 September) untuk menguji berbagai model diferensial, yakni rumusan harga untuk tiap jenis minyak OPEC, berdasarkan perbedaan mutu dan lokasi geografis ke tempat-tempat pemasaran. Sampai Senin lalu, Menteri Subroto belum lagi menerangkan model-model apa saja yang sudah dirumuskan oleh para ahli minyak itu di markas besar mereka di Wina. Tapi semua model yang mereka telurkan di sana, akan merupakan bekal bagi setiap anggota panitia pengamat harga minyak, yang akan melanjutkan perundingan mereka di Abu Dhabi, 20 September. Pertemuan komite pengamat di Abu Dhabi nanti nampaknya akan lebih penting dari pertemuan keempat menteri minyak itu di Wina pada 20 Agustus lalu. Selain sudah dilengkapi dengan berbagai model diferensial, pertemuan di ibukota Uni Emirat Arab nanti, seperti kata Menteri Perminyakan UEA Mana Said Altaiba, adalah untuk mengambil suatu "langkah politik", selain untuk memperkuat dan menstabilkan pasaran." Baik Subroto maupun Otaiba, mau pun dua anggota yang lain, Humberta Calderon serti dari Venezuela dan Belkacem Nabi dari Aljazair, belum kedengaran menerangkan lebih jauh apa yang dimaksudkan dengan "langkah politik" itu. Tapi yang agaknya pasti, melalui berbagai model tadi, OPEC bersepakat untuk menempuh suatu jalan yang akan tetap mempertahankan persatuan mereka. Mudah diduga hasil-hasil yang nanti akan dicapai di Abu Dhabi akan merupakan bahan penting untuk dibawa masing-masing menteri minyak yang akan melangsungkan konferensi reguler OPEC di Lagos, ibukota Nigeria, pertengahan Desember. Tapi kabarnya sebelum mereka berkumpul lagi di sana, menurut Dr. Otaiba, mungkin saja akan diselenggarakan suatu pertemuan khusus tingkat menteri, yang juga akan dihadiri oleh Zaki Yamani dari Arab Saudi, di Jenewa. Ada alasan buat OPEC untuk bersikap pesimistis pada saat-saat seperti sekarang. Selain produksi total mereka sudah berkurang dengan setengah juta barrel di bawah kuota 17,5 juta barrel sehari, peranan menentukan dari Arab Saudi kini mulai sulit dipertahankan. Penghasil minyak paling besar di dunia ini, tak lagi bisa diandalkan untuk memainkan produksinya, agar menjaga harga pasar tak terlalu jatuh. Kalau sejak 1 April lalu mereka sengaja menekan produksinya sampai 7 juta barrel sehari, belakangan ini produksi minyaknya sudah merosot menjadi sekitar 5 ,5 juta barrel sehari. Kalau senjata minyak Arab Saudi tak lagi ampuh, siapa lagi yang bisa? Itulah soalnya. Beberapa kalangan minyak di Jakarta pun mulai bicara soal kemungkinan OPEC akan menurunkan harga patokannya -- dengan beberapa dollar, kalau kuota produksi tak lagi dianggap bisa menolong. Dan mengingat masing-masing anggotanya tak terikat sekali dengan setiap keputusan konperensi OPEC, seperti sudah dibuktikan oleh negeri seperti Iran, Irak, Libya, bahkan Venezuela yang biasanya dikenal "moderat" model-model diferensial yang akan dibahas oleh panitia pengamat, diperkirakan akan menjadi perdebatan yang hangat di antara para menteri minyak, sebelum ke Lagos -- kalau saja sidang khusus para menteri OPEC itu akan dilaksanakan. Saudi diduga tak akan keberatan hila misalnya, ada beherapa anggota yang rata harga patokan itu diturunkan. Sebab sekarang saja para pembeli tak tergesa-gesa untuk menutup harga minyak Arab Saudi dengan harga resmi US$ 34 per barrel, untuk Arabian Light Crude, jenis minyak mentah yang merupakan harga patokan itu. Para pembeli di Eropa dengan mudah bisa memperoleh jenis minyak paling baik dari Arab Saudi dengan US$ 30,90 di pasaran tunai (spot). Sedang jenis minyak mentah dari Inggris, North Sea Crude, yang terkenal tinggi mutunya, bisa mereka peroleh dengan US$ 33,50 pada pertengahan Agustus. Bagaimana dengan Indonesia? Konon tadinya memang ada pemikiran untuk menurunkan harga minyak mentah jenis Minas yang menjadi bagian Indonesia dengan 15-20 sen dollar per barrel, dari harga US$ 35 per barrel yang sampai sekarang dipertahankan. Juga untuk jenis Cinta yang "setengah manis" (middle grade) dengan satu dollar, dari harga ekspor US$ 34 per barrel. Nyatanya dugaan yang oleh Menteri Subroto disebut sebagai "desas-desus" itu sampai sekarang memang tak terjadi. Tapi para pembeli di Jepang, pasaran terbesar minyak Indonesia, kabarnya masih terus berharap agar "Indonesia bisa mengerti kesulitan yang kini menimpa kami," kata seorang pengusaha Jepang di Jakarta. Sumber yang mengaku dekat dengan kalangan minyak di Jepang, menunjuk pada kesulitan-kesulitan yang menimpa sejumlah pengilangan minyak di negerinya. Akibat nilai mata uang Yen yang semakin turun terhadap mata uang dollar, dan rendahnya perlnintaan dari dunia industri di sana, pengilangan-pengilangan di Jepang merasa terpukul rupanya. Buletin Petroleum Information International, terbitan Petroleum Information Corporation, salah satu anak perusahaan A.C. Nielsen di AS, memperkuat keterangan itu. Menurut buletin yang terbit di Housten, Texas itu, dan punya jaringan luas dari New York sampai Singapura, di akhir Maret, penutup tahun fiskal di Jepang, sebanyak 10 pengilangan besar di sana menderita kerugian sekitar 250 milyar Yen, atau US$ 962 juta. Sedang penghasilan dari Nippon Oil, pengilangan dan distributor hasil-hasil minyak terbesar di Jepang, merosot dengan 91% dibandingkan tahun lalu menjadi sekitar US$ 21,8 juta. Harga minyak mentah yang menurun di pasaran rupanya tak banyak menolong mereka. Seperti dikatakan seorang pejabar di Mitsubishi Oil, "sekalipun harga-harga minyak mentah turun, biaya untuk mengolahnya jatuhnya lebih tinggi, akibat devaluasi Yen yang cukup besar selama tahun lalu." Ini masih ditambah lagi dengan turunnya permintaan akan minyak di Jepang sendiri, gara-gara itu resesi dunia dan sangat berhasilnya usaha penghematan (konservasi) minyak di Jepang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus