INILAH saat-saat yang paling musykil buat OPEC, organisasi
pengekspor minyak yang kini praktis cuma memproduksikan 17 juta
barrel sehari. Kini empat menterinya yang ditunjuk menjadi
panitia pengamat (monitoring) harga minyak lagi terus mencari
formula bagaimana agar harga patokan minyak OPEC yang US$ 34 itu
secara resmi bisa mereka pertahankan.
Di Jakarta, anggota panitia pengamat Menteri Pertambangan dan
Energi Subroto tentu sudah menerima laporan dari Adimir Adin,
anggota kelompok ahli yang baru kembali dari Wina, akhir pekan
lalu. Adimir, pejabat senior Ditjen Migas yang setiap kali
mengikuti sidang OPEC, berunding di ibukota Austria bersama
segenap utusan ahli OPEC lainnya. Dibentuk oleh panitia pengamat
kelompok ahli itu dikabarkan telah memutar otak selama empat
hari (30 Agustus -- 2 September) untuk menguji berbagai model
diferensial, yakni rumusan harga untuk tiap jenis minyak OPEC,
berdasarkan perbedaan mutu dan lokasi geografis ke tempat-tempat
pemasaran.
Sampai Senin lalu, Menteri Subroto belum lagi menerangkan
model-model apa saja yang sudah dirumuskan oleh para ahli minyak
itu di markas besar mereka di Wina. Tapi semua model yang mereka
telurkan di sana, akan merupakan bekal bagi setiap anggota
panitia pengamat harga minyak, yang akan melanjutkan perundingan
mereka di Abu Dhabi, 20 September.
Pertemuan komite pengamat di Abu Dhabi nanti nampaknya akan
lebih penting dari pertemuan keempat menteri minyak itu di Wina
pada 20 Agustus lalu. Selain sudah dilengkapi dengan berbagai
model diferensial, pertemuan di ibukota Uni Emirat Arab nanti,
seperti kata Menteri Perminyakan UEA Mana Said Altaiba, adalah
untuk mengambil suatu "langkah politik", selain untuk
memperkuat dan menstabilkan pasaran."
Baik Subroto maupun Otaiba, mau pun dua anggota yang lain,
Humberta Calderon serti dari Venezuela dan Belkacem Nabi dari
Aljazair, belum kedengaran menerangkan lebih jauh apa yang
dimaksudkan dengan "langkah politik" itu. Tapi yang agaknya
pasti, melalui berbagai model tadi, OPEC bersepakat untuk
menempuh suatu jalan yang akan tetap mempertahankan persatuan
mereka.
Mudah diduga hasil-hasil yang nanti akan dicapai di Abu Dhabi
akan merupakan bahan penting untuk dibawa masing-masing menteri
minyak yang akan melangsungkan konferensi reguler OPEC di Lagos,
ibukota Nigeria, pertengahan Desember. Tapi kabarnya sebelum
mereka berkumpul lagi di sana, menurut Dr. Otaiba, mungkin saja
akan diselenggarakan suatu pertemuan khusus tingkat menteri,
yang juga akan dihadiri oleh Zaki Yamani dari Arab Saudi, di
Jenewa.
Ada alasan buat OPEC untuk bersikap pesimistis pada saat-saat
seperti sekarang. Selain produksi total mereka sudah berkurang
dengan setengah juta barrel di bawah kuota 17,5 juta barrel
sehari, peranan menentukan dari Arab Saudi kini mulai sulit
dipertahankan. Penghasil minyak paling besar di dunia ini, tak
lagi bisa diandalkan untuk memainkan produksinya, agar menjaga
harga pasar tak terlalu jatuh. Kalau sejak 1 April lalu mereka
sengaja menekan produksinya sampai 7 juta barrel sehari,
belakangan ini produksi minyaknya sudah merosot menjadi sekitar
5 ,5 juta barrel sehari.
Kalau senjata minyak Arab Saudi tak lagi ampuh, siapa lagi yang
bisa? Itulah soalnya. Beberapa kalangan minyak di Jakarta pun
mulai bicara soal kemungkinan OPEC akan menurunkan harga
patokannya -- dengan beberapa dollar, kalau kuota produksi tak
lagi dianggap bisa menolong. Dan mengingat masing-masing
anggotanya tak terikat sekali dengan setiap keputusan konperensi
OPEC, seperti sudah dibuktikan oleh negeri seperti Iran, Irak,
Libya, bahkan Venezuela yang biasanya dikenal "moderat"
model-model diferensial yang akan dibahas oleh panitia
pengamat, diperkirakan akan menjadi perdebatan yang hangat di
antara para menteri minyak, sebelum ke Lagos -- kalau saja
sidang khusus para menteri OPEC itu akan dilaksanakan.
Saudi diduga tak akan keberatan hila misalnya, ada beherapa
anggota yang rata harga patokan itu diturunkan. Sebab sekarang
saja para pembeli tak tergesa-gesa untuk menutup harga minyak
Arab Saudi dengan harga resmi US$ 34 per barrel, untuk Arabian
Light Crude, jenis minyak mentah yang merupakan harga patokan
itu. Para pembeli di Eropa dengan mudah bisa memperoleh jenis
minyak paling baik dari Arab Saudi dengan US$ 30,90 di pasaran
tunai (spot). Sedang jenis minyak mentah dari Inggris, North Sea
Crude, yang terkenal tinggi mutunya, bisa mereka peroleh dengan
US$ 33,50 pada pertengahan Agustus.
Bagaimana dengan Indonesia? Konon tadinya memang ada pemikiran
untuk menurunkan harga minyak mentah jenis Minas yang menjadi
bagian Indonesia dengan 15-20 sen dollar per barrel, dari harga
US$ 35 per barrel yang sampai sekarang dipertahankan. Juga untuk
jenis Cinta yang "setengah manis" (middle grade) dengan satu
dollar, dari harga ekspor US$ 34 per barrel.
Nyatanya dugaan yang oleh Menteri Subroto disebut sebagai
"desas-desus" itu sampai sekarang memang tak terjadi. Tapi para
pembeli di Jepang, pasaran terbesar minyak Indonesia, kabarnya
masih terus berharap agar "Indonesia bisa mengerti kesulitan
yang kini menimpa kami," kata seorang pengusaha Jepang di
Jakarta.
Sumber yang mengaku dekat dengan kalangan minyak di Jepang,
menunjuk pada kesulitan-kesulitan yang menimpa sejumlah
pengilangan minyak di negerinya. Akibat nilai mata uang Yen yang
semakin turun terhadap mata uang dollar, dan rendahnya
perlnintaan dari dunia industri di sana,
pengilangan-pengilangan di Jepang merasa terpukul rupanya.
Buletin Petroleum Information International, terbitan Petroleum
Information Corporation, salah satu anak perusahaan A.C. Nielsen
di AS, memperkuat keterangan itu. Menurut buletin yang terbit di
Housten, Texas itu, dan punya jaringan luas dari New York sampai
Singapura, di akhir Maret, penutup tahun fiskal di Jepang,
sebanyak 10 pengilangan besar di sana menderita kerugian
sekitar 250 milyar Yen, atau US$ 962 juta. Sedang penghasilan
dari Nippon Oil, pengilangan dan distributor hasil-hasil minyak
terbesar di Jepang, merosot dengan 91% dibandingkan tahun lalu
menjadi sekitar US$ 21,8 juta.
Harga minyak mentah yang menurun di pasaran rupanya tak banyak
menolong mereka. Seperti dikatakan seorang pejabar di Mitsubishi
Oil, "sekalipun harga-harga minyak mentah turun, biaya untuk
mengolahnya jatuhnya lebih tinggi, akibat devaluasi Yen yang
cukup besar selama tahun lalu." Ini masih ditambah lagi dengan
turunnya permintaan akan minyak di Jepang sendiri, gara-gara itu
resesi dunia dan sangat berhasilnya usaha penghematan
(konservasi) minyak di Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini