Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tantangan-tantangan repelita ...

Untuk pelita mendatang, pengembangan sumber daya manusia harus mendapat perhatian. masalah lain adalah perluasan kerja. kemampuan ekspor industri Indonesia juga harus diperbaiki.

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBANGUNAN selama tiga Pelita dapat dikatakan berhasil cukup baik. Malah kalau mau membual, dapat dikatakan baik sekali. Dalam dasawarsa tujuhpuluhan pertumbuhan ekonomi mencapai hampir 8% setahun rata-rata. Pertumbuhan nilai ekspor, baik termasuk minyak dan gas bumi maupun terkecuali minyak dan gas bumi, besar sekali, sehingga dalam kurun waktu itu Indonesia praktis tidak diganggu oleh kekurangan dana dan devisa untuk menjalankan pembangunannya. Pemerataan pembangunan, dalam batas-batas tertentu, juga cukup diusahakan dan cukup tercapai pula. Penekanan pembangunan kepada sektor pertanian membantu sekali. Infrastruktur juga diberi prioritas, terutama yang berhubungan dengan sektor pertanian ini. Yang akhir ini memang relatif menguntungkan pembangunan di Pulau Jawa, namun berangsur-angsur pembangunan infrastruktur di pulau-pulau lain juga dikerjakan. Harus diakui, rehabilitasi dan pembangunan baru infrastruktur di luar Jawa masih harus diteruskan dan ditingkatkan. Repelita IV dan V harus mengindahkan ini. Pembangunan infrastruktur ini akan sangat membantu tercapainya sasaran pemerataan, dan juga perluasan kesempatan usaha dan kesempatan kerja di daerah-daerah yang lelatif masih terbelakang itu. Sektor perindustrian dan pertambangan juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik selama Pelita II dan III, berkat penanaman modal swasta dan negara. Sektor industri merupakan sektor modern yang pertumbuhan GDP-nya sangat cepat, rata-rata di atas 10% setahun. Dalam pertambangan, sektor minyak dan gas bumi berkembang pesat sektor pertambangan umum mulai pertengahan dasawarsa tujuhpuluhan terkena oleh resesi dunia, dan sampai sekarang masih lesu darah. Pertumbuhannya, terkecuali sektor timah, tidak begitu mengesankan. Sektor industri dan pertambangan ini lebih banyak berperan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan dampaknya terhadap sasaran pemerataan secara langsung kurang besar. Yang banyak tumbuh dalam kurun waktu Pelita II dan III adalah industri besar dan setengah besar. Misalnya industri yang dibangun pemerintah kebanyakan adalah industri besar. Semua industri besar ini membuat tulang punggung yang kuat bagi struktur industri baru, tapi tak banyak sumbangannya terhadap kesempatan kerja. Kesempatan kerja jauh lebih banyak tercipta di sektor industri kecil dan kerajinan. Di sektor ini peranan stimulasi pemerintah terbatas. Pemerintah tidak ada urusan untuk mendirikan beribu-ribu industri kecil, karena itu merupakan bidang usaha swasta. Pemerintah dapat banyak membantu dengan kebijaksanaan kredit dan perbankan, pengembangan dinas penyuluhan, pusat-pusat latihan kerja, penyediaan beberapa infrastruktur, seperti di Lingkungan Industri Kecil (LIK). Kita lihat di sini stimulasi industri kecil merupakan urusan lebih dari satu departemen. *** Walaupun pertumbuhan ekonomi sudah baik sasaran pemerataan masih harus dikejar dan dicapai lebih banyak. Dalam hal ini kita harus bersikap realistis. Pemerataan adalah suatu pengertian yang luas. Sasaran-sasaran operasional harus diperinci, dan diberikan prioritas-prioritas dalam tiap kurun waktu pembangunan, dan diuji mana yang dapat dicapai secara berangsur-angsur. Siasat "delapan jalur pemerataan" sudah baik. Karena pentingnya maka ada faedahnya untuk diingat lagi: pertama, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak kedua, kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan ketiga, pembagian pendapatan keempat, kesempatan kerja kelima, kesempatan berusaha keenam, partisipasi dalam pembangunan ketujuh, penyebaran pembangunan secara regional dan kedelapan, keadilan. Dari sekian banyak sasaran operasional (di bidang ekonomi) yang paling sedikit dapat dijamin oleh kegiatan pemerintah secara langsung adalah sasaran nomor tiga, yakni pemerataan pendapatan. Sasaran-sasaran yang lain dapat dikejar oleh pemerintah dengan satu kebijaksanaan umum: menggunakan anggaran (belanja) pengeluaran, baik yang berupa anggaran belanja pembangunan maupun rutin. Sasaran pemerataan pendapatan jauh lebih sulit dicapai. Malahan dapat dipastikan sementara gagal, kalau pemerataan pendapatan ini diukur dengan tongkat-tongkat yang lazim, misalnya Ginicoefficient, berapa persen dari GDP diterima oleh lapisan 20 atau 40% terbawah, berapa persen dari GDP diterima oleh lapisan 10% teratas, dan sebagainya. Sesuai dengan sasaran pemerataan pertama (kebutuhan dasar) dan kedua (pendidikan dan pelayanan kesehatan) maka yang harus diutamakan adalah perbaikan dalam pendapatan dan tingkat hidup dari lapisan 20% terbawah. Yang harus diberantas adalah kemiskinan mutlak. Untuk memperbaiki pemerataan pendapatan, relatif masih jauh lebih sukar. Ada cukup banyak petunjuk, pada saat ini keadaan kesejahteraan lapisan 20% terbawah sudah lebih baik daripada 15 tahun lalu. Harus disadari juga, pertumbuhan penduduk dan tekanan penduduk, bersama dengan kekurangan pendidikan, menjadi sumber sebab kemelaratan yang utama. ****** YANG akhir ini menunjukkan perlunya strategi pembangunan yang akan datang. Kalau sasaran pemerataan masih harus diutamakan (dan ini pasti) maka manusia Indonesia, terutama rakyat banyaknya dan kaum kecilnya, harus dijadikan sasaran yang lebih langsung dari perhatian dan daya, upaya pemerintah: Repelita IV harus mempunyai orientasi Pengembangan Sumber Daya Manusia. Ini tidak berarti sasaran tersebut belum diperhatikan dalam Repelita-Repelita yang lalu, melainkan sasaran ini harus lebih banyak menjadi konsentrasi sasaran dalam Repelita IV. Apakah arti operasional dari sasaran pengembangan sumber daya manusia? Cukup luas dan tidak dapat dijabarkan dalam karangan pendek ini. Namun demikian, beberapa unsur dapat digarisbawahi: Pertama, masalah pendidikan dan latihan. Jumlah pengeluaran untuk pendidikan dan latihan harus diperbesar, tapi tidak boleh secara pukul rata atau "membabi buta". Kita tahu di banyak negara berkembang usaha pendidikan yang pengangguran di antara lulusan sekolah. Gejala demikian dapat mengguncangkan stabilitas sosial dan politik. Contohnya mungkin Sri Langka. Indonesia di banyak laporan badan internasional tercatat sebagai negara yang "undereducated", berdasarkan ukuran jumlah melek-huruf, jumlah siswa sekolah rendah, menengah dan tinggi, dsb-nya. Filipina mempunyai statistik yang jauh lebih baik, tapi negeri itu sekarang "terpaksa" mengekspor tenaga kerjanya karena di dalam negeri kurang kesempatan kerja. Gejala pengangguran dapat dilihat sebagai kekurangan kesempatan kerja, tapi juga dapat dilihat sebagai kelebihan supply tenaga kerja supply yang terlalu meningkat oleh karena faktor demografi dan faktor meluasnya pendidikan). Bagaimana mencari keseimbangan yang baik dalam kebijaksanaan pendidikan dan latihan, agar mencegah, atau mengurangi, risiko gejolak sosial, inilah merupakan tugas dari perencanaan pendidikan sekarang. Kedua, adalah masalah perluasan kesempatan kerja, masalah "employment policy". Hal tersebut tidak menjadi urusan dan tanggungan satu departemen saja, misalnya Departemen Tenaga Kerja. Employment (kesempatan kerja) tidak dapat diciptakan langsung oleh pemerintah. Kesempatan kerja yang terbanyak terdapat di sektor swasta atau masyarakat, di sektor pertanian, sektor industri dan sektor jasa-jasa. Akan tetapi jumlah kesempatan kerja yang tersedia banyak dipengaruhi oleh keseluruhan kebijaksanaan pemerintah. Pertama, pertumbuhan ekonomi harus cukup besar, misalnya tujuh persen setahun atau lebih baik. Kedua, semua kebijaksanaan sektoral dan fungsional harus berorientasi pada, atau paling sedikit mengingat, kepentingan kesempatan kerja. Kebijaksanaan-kebijaksanaan Departemen Pertanian saat berperan, kebijaksanaan Departemen Perindustrian harus lebih menstimulasi perkembangan industri padat-karya, iudustri kecil dan kerajinan. Kebijaksanaan Departemen Keuangan dan Perdagangan dalam mengatur struktur bea-masuk, pajak, perkreditan, ekspor-impor, kurs mata uang, dsbnya, senantiasa harus peka terhadap pengaruh perluasan kesempatan kerja. Bagaimana mengusahakan kebijaksanaan sektorial dan fungsional menjadi serasi dan integral menunjang employment policy? Inilah pekerjaan rumah yang harus dikembangkan, dan koordinasi kebijaksanaan di tingkat kabinet. Kalau Pelita II dan III tidak begitu mengenal "resource gap", yakni kekurangan dana untuk membiayai pembangunan, maka sangat mungkin Repelita IV harus memperhitungkan ini. Rezeki minyak pertama (1974-75) dan terutama rezeki minyak kedua (1979-80) melimpahkan banyak dana untuk pembangunan, sehingga "momentum pembangunan" dapat ditingkatkan. Tantangan utama untuk Repelita IV adalah bagaimana menutup resource gap ini, kalau tidak akan terjadi rezeki minyak ketiga? Secara teoretis rumusnya mudah: kalau peningkatan penerimaan dari minyak dan gas bumi sudah tidak bisa menaikkan tingkat anggaran belanja lagi, maka kekurangan itu harus ditutup dari sumber-sumber dalam negeri. Ini berarti mobilisasi dari tabungan dalam negeri. Ini berarti peningkatan public savings (surplus antara penerimaan angaran dengan anggaran belanja rutin) dalam anggaran belanja pemerintah. Yang akhir ini berarti peningkatan pengumpulan pajak-pajak dalam negeri (di luar pajak perusahaan minyak) dan pengurangan subsidi-subsidi yang besar. SUBSIDI untuk BBM harus dihapus (walaupun dapat berangsur-angsur), dan subsidi-subsidi besar lainnya harus ditinjau sampai berapa jauh betul-betul bermanfaat. Misalnya, mana lebih penting atau bermanfaat: satu milyar rupiah ekstra untuk subsidi pangan atau untuk menambah sekolah teknik? Menambah pajak dan mengurangi subsidi merupakan tindakan yang sakit dan pahit. Alternatifnya adalah mencari utang jauh lebih banyak dari luar negeri, atau menjalankan deficit financing seperti di zaman Orla. Jangan terlalu lekas tolak alternatif pertama sebelum membandingkannya dengan alternatif kedua dan ketiga. Strategi pembangunan industri juga perlu ditinjau terhadap kepentingan sasaran pemerataan dan terhadap kemungkinan resource gap yang lebih besar. Rencana industri-industri besar yang padat modal dan tidak banyak menghasilkan kesempatan kerja harus dinilai, mana yang betul-betul diperlukan sekarang dan mana yang dapat ditangguhkan. Industri sekunder-manufaktur dalam Pelita IV dan V juga harus mampu mengekspor. sebab risiko besar pasar dalam negeri akan menjadi jenuh. Angka pertumbuhan sektor industri manufaktur yang selama ini begitu bagus, yakni di atas 10% setahun, hanya dapat dipertahankan kalau sebagian dari hasil industri itu dapat diekspor. Kemampuan ekspor industri Indonesia masih kecil sekali, yang paling kecil di ASEAN. Ini harus diperbaiki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus