PEMBANGUNAN selama tiga Pelita dapat dikatakan berhasil cukup
baik. Malah kalau mau membual, dapat dikatakan baik sekali.
Dalam dasawarsa tujuhpuluhan pertumbuhan ekonomi mencapai hampir
8% setahun rata-rata. Pertumbuhan nilai ekspor, baik termasuk
minyak dan gas bumi maupun terkecuali minyak dan gas bumi, besar
sekali, sehingga dalam kurun waktu itu Indonesia praktis tidak
diganggu oleh kekurangan dana dan devisa untuk menjalankan
pembangunannya.
Pemerataan pembangunan, dalam batas-batas tertentu, juga cukup
diusahakan dan cukup tercapai pula. Penekanan pembangunan kepada
sektor pertanian membantu sekali. Infrastruktur juga diberi
prioritas, terutama yang berhubungan dengan sektor pertanian
ini. Yang akhir ini memang relatif menguntungkan pembangunan di
Pulau Jawa, namun berangsur-angsur pembangunan infrastruktur di
pulau-pulau lain juga dikerjakan.
Harus diakui, rehabilitasi dan pembangunan baru infrastruktur di
luar Jawa masih harus diteruskan dan ditingkatkan. Repelita IV
dan V harus mengindahkan ini. Pembangunan infrastruktur ini akan
sangat membantu tercapainya sasaran pemerataan, dan juga
perluasan kesempatan usaha dan kesempatan kerja di daerah-daerah
yang lelatif masih terbelakang itu.
Sektor perindustrian dan pertambangan juga mengalami pertumbuhan
dan perkembangan yang baik selama Pelita II dan III, berkat
penanaman modal swasta dan negara. Sektor industri merupakan
sektor modern yang pertumbuhan GDP-nya sangat cepat, rata-rata
di atas 10% setahun. Dalam pertambangan, sektor minyak dan gas
bumi berkembang pesat sektor pertambangan umum mulai
pertengahan dasawarsa tujuhpuluhan terkena oleh resesi dunia,
dan sampai sekarang masih lesu darah. Pertumbuhannya, terkecuali
sektor timah, tidak begitu mengesankan.
Sektor industri dan pertambangan ini lebih banyak berperan
terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan dampaknya terhadap
sasaran pemerataan secara langsung kurang besar. Yang banyak
tumbuh dalam kurun waktu Pelita II dan III adalah industri besar
dan setengah besar. Misalnya industri yang dibangun pemerintah
kebanyakan adalah industri besar. Semua industri besar ini
membuat tulang punggung yang kuat bagi struktur industri baru,
tapi tak banyak sumbangannya terhadap kesempatan kerja.
Kesempatan kerja jauh lebih banyak tercipta di sektor industri
kecil dan kerajinan. Di sektor ini peranan stimulasi pemerintah
terbatas. Pemerintah tidak ada urusan untuk mendirikan
beribu-ribu industri kecil, karena itu merupakan bidang usaha
swasta. Pemerintah dapat banyak membantu dengan kebijaksanaan
kredit dan perbankan, pengembangan dinas penyuluhan, pusat-pusat
latihan kerja, penyediaan beberapa infrastruktur, seperti di
Lingkungan Industri Kecil (LIK). Kita lihat di sini stimulasi
industri kecil merupakan urusan lebih dari satu departemen.
***
Walaupun pertumbuhan ekonomi sudah baik sasaran pemerataan masih
harus dikejar dan dicapai lebih banyak. Dalam hal ini kita harus
bersikap realistis. Pemerataan adalah suatu pengertian yang
luas. Sasaran-sasaran operasional harus diperinci, dan diberikan
prioritas-prioritas dalam tiap kurun waktu pembangunan, dan
diuji mana yang dapat dicapai secara berangsur-angsur.
Siasat "delapan jalur pemerataan" sudah baik. Karena pentingnya
maka ada faedahnya untuk diingat lagi: pertama, pemenuhan
kebutuhan pokok rakyat banyak kedua, kesempatan memperoleh
pendidikan dan pelayanan kesehatan ketiga, pembagian
pendapatan keempat, kesempatan kerja kelima, kesempatan
berusaha keenam, partisipasi dalam pembangunan ketujuh,
penyebaran pembangunan secara regional dan kedelapan, keadilan.
Dari sekian banyak sasaran operasional (di bidang ekonomi) yang
paling sedikit dapat dijamin oleh kegiatan pemerintah secara
langsung adalah sasaran nomor tiga, yakni pemerataan pendapatan.
Sasaran-sasaran yang lain dapat dikejar oleh pemerintah dengan
satu kebijaksanaan umum: menggunakan anggaran (belanja)
pengeluaran, baik yang berupa anggaran belanja pembangunan
maupun rutin. Sasaran pemerataan pendapatan jauh lebih sulit
dicapai. Malahan dapat dipastikan sementara gagal, kalau
pemerataan pendapatan ini diukur dengan tongkat-tongkat yang
lazim, misalnya Ginicoefficient, berapa persen dari GDP diterima
oleh lapisan 20 atau 40% terbawah, berapa persen dari GDP
diterima oleh lapisan 10% teratas, dan sebagainya.
Sesuai dengan sasaran pemerataan pertama (kebutuhan dasar) dan
kedua (pendidikan dan pelayanan kesehatan) maka yang harus
diutamakan adalah perbaikan dalam pendapatan dan tingkat hidup
dari lapisan 20% terbawah. Yang harus diberantas adalah
kemiskinan mutlak. Untuk memperbaiki pemerataan pendapatan,
relatif masih jauh lebih sukar. Ada cukup banyak petunjuk, pada
saat ini keadaan kesejahteraan lapisan 20% terbawah sudah lebih
baik daripada 15 tahun lalu. Harus disadari juga, pertumbuhan
penduduk dan tekanan penduduk, bersama dengan kekurangan
pendidikan, menjadi sumber sebab kemelaratan yang utama.
******
YANG akhir ini menunjukkan perlunya strategi pembangunan yang
akan datang. Kalau sasaran pemerataan masih harus diutamakan
(dan ini pasti) maka manusia Indonesia, terutama rakyat
banyaknya dan kaum kecilnya, harus dijadikan sasaran yang lebih
langsung dari perhatian dan daya, upaya pemerintah: Repelita IV
harus mempunyai orientasi Pengembangan Sumber Daya Manusia. Ini
tidak berarti sasaran tersebut belum diperhatikan dalam
Repelita-Repelita yang lalu, melainkan sasaran ini harus lebih
banyak menjadi konsentrasi sasaran dalam Repelita IV.
Apakah arti operasional dari sasaran pengembangan sumber daya
manusia? Cukup luas dan tidak dapat dijabarkan dalam karangan
pendek ini. Namun demikian, beberapa unsur dapat digarisbawahi:
Pertama, masalah pendidikan dan latihan. Jumlah pengeluaran
untuk pendidikan dan latihan harus diperbesar, tapi tidak boleh
secara pukul rata atau "membabi buta". Kita tahu di banyak
negara berkembang usaha pendidikan yang pengangguran di antara
lulusan sekolah. Gejala demikian dapat mengguncangkan stabilitas
sosial dan politik. Contohnya mungkin Sri Langka. Indonesia di
banyak laporan badan internasional tercatat sebagai negara yang
"undereducated", berdasarkan ukuran jumlah melek-huruf,
jumlah siswa sekolah rendah, menengah dan tinggi, dsb-nya.
Filipina mempunyai statistik yang jauh lebih baik, tapi negeri
itu sekarang "terpaksa" mengekspor tenaga kerjanya karena di
dalam negeri kurang kesempatan kerja. Gejala pengangguran dapat
dilihat sebagai kekurangan kesempatan kerja, tapi juga dapat
dilihat sebagai kelebihan supply tenaga kerja supply yang
terlalu meningkat oleh karena faktor demografi dan faktor
meluasnya pendidikan). Bagaimana mencari keseimbangan yang baik
dalam kebijaksanaan pendidikan dan latihan, agar mencegah, atau
mengurangi, risiko gejolak sosial, inilah merupakan tugas dari
perencanaan pendidikan sekarang.
Kedua, adalah masalah perluasan kesempatan kerja, masalah
"employment policy". Hal tersebut tidak menjadi urusan dan
tanggungan satu departemen saja, misalnya Departemen Tenaga
Kerja. Employment (kesempatan kerja) tidak dapat diciptakan
langsung oleh pemerintah. Kesempatan kerja yang terbanyak
terdapat di sektor swasta atau masyarakat, di sektor pertanian,
sektor industri dan sektor jasa-jasa. Akan tetapi jumlah
kesempatan kerja yang tersedia banyak dipengaruhi oleh
keseluruhan kebijaksanaan pemerintah.
Pertama, pertumbuhan ekonomi harus cukup besar, misalnya tujuh
persen setahun atau lebih baik. Kedua, semua kebijaksanaan
sektoral dan fungsional harus berorientasi pada, atau paling
sedikit mengingat, kepentingan kesempatan kerja.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan Departemen Pertanian saat berperan,
kebijaksanaan Departemen Perindustrian harus lebih menstimulasi
perkembangan industri padat-karya, iudustri kecil dan kerajinan.
Kebijaksanaan Departemen Keuangan dan Perdagangan dalam mengatur
struktur bea-masuk, pajak, perkreditan, ekspor-impor, kurs mata
uang, dsbnya, senantiasa harus peka terhadap pengaruh perluasan
kesempatan kerja. Bagaimana mengusahakan kebijaksanaan sektorial
dan fungsional menjadi serasi dan integral menunjang employment
policy? Inilah pekerjaan rumah yang harus dikembangkan, dan
koordinasi kebijaksanaan di tingkat kabinet.
Kalau Pelita II dan III tidak begitu mengenal "resource gap",
yakni kekurangan dana untuk membiayai pembangunan, maka sangat
mungkin Repelita IV harus memperhitungkan ini. Rezeki minyak
pertama (1974-75) dan terutama rezeki minyak kedua (1979-80)
melimpahkan banyak dana untuk pembangunan, sehingga "momentum
pembangunan" dapat ditingkatkan.
Tantangan utama untuk Repelita IV adalah bagaimana menutup
resource gap ini, kalau tidak akan terjadi rezeki minyak ketiga?
Secara teoretis rumusnya mudah: kalau peningkatan penerimaan
dari minyak dan gas bumi sudah tidak bisa menaikkan tingkat
anggaran belanja lagi, maka kekurangan itu harus ditutup dari
sumber-sumber dalam negeri. Ini berarti mobilisasi dari tabungan
dalam negeri. Ini berarti peningkatan public savings (surplus
antara penerimaan angaran dengan anggaran belanja rutin) dalam
anggaran belanja pemerintah. Yang akhir ini berarti peningkatan
pengumpulan pajak-pajak dalam negeri (di luar pajak perusahaan
minyak) dan pengurangan subsidi-subsidi yang besar.
SUBSIDI untuk BBM harus dihapus (walaupun dapat
berangsur-angsur), dan subsidi-subsidi besar lainnya harus
ditinjau sampai berapa jauh betul-betul bermanfaat. Misalnya,
mana lebih penting atau bermanfaat: satu milyar rupiah ekstra
untuk subsidi pangan atau untuk menambah sekolah teknik?
Menambah pajak dan mengurangi subsidi merupakan tindakan yang
sakit dan pahit. Alternatifnya adalah mencari utang jauh lebih
banyak dari luar negeri, atau menjalankan deficit financing
seperti di zaman Orla. Jangan terlalu lekas tolak alternatif
pertama sebelum membandingkannya dengan alternatif kedua dan
ketiga.
Strategi pembangunan industri juga perlu ditinjau terhadap
kepentingan sasaran pemerataan dan terhadap kemungkinan resource
gap yang lebih besar. Rencana industri-industri besar yang padat
modal dan tidak banyak menghasilkan kesempatan kerja harus
dinilai, mana yang betul-betul diperlukan sekarang dan mana yang
dapat ditangguhkan. Industri sekunder-manufaktur dalam Pelita IV
dan V juga harus mampu mengekspor. sebab risiko besar pasar
dalam negeri akan menjadi jenuh. Angka pertumbuhan sektor
industri manufaktur yang selama ini begitu bagus, yakni di atas
10% setahun, hanya dapat dipertahankan kalau sebagian dari hasil
industri itu dapat diekspor. Kemampuan ekspor industri Indonesia
masih kecil sekali, yang paling kecil di ASEAN. Ini harus
diperbaiki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini