Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kembali ke bursa

Pasaran bursa menghangat kembali akibat penurunan tingkat suku bunga untuk nasabah utama pada bank sentral as. harga emas naik terus. (eb)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH harapan sedang ditunggu sesudah Federal Reserve Bank AS menurunkan tingkat suku bunga untuk nasabah utama (prime rate). Hanya dalam tempo empat minggu sejak akhir Juli, tingkat suku bunga utama Bank Sentral AS itu anjlok secara berangsur dari 16,5% menjadi 13,5%, sampai akhir Agustus. Langkah mengejutkan itu diperkirakan akan merangsang para investor di AS dan dari negeri-negeri lain mengalihkan dana-dana mereka dari bank-bank di AS, kembali ke bursa saham. Washington memang mengharapkan kebijaksanaan itu akan mampu menggerakkan kembali kegiatan investasi yang dua tahun terakhir ini melemah. Dengan cara itulah, sesudah menganggap berhasil menekan laju inflasi (7,2%) dengan politik uang ketat, Presiden Reagan berharap bisa mengurangi pengangguran. Apakah penurunan tingkat sukubunga merupakan tanda awal membaiknya kegiatan ekonomi? Ada sejumlah bankir meramalkan kegiatan akan mulai pulih pada kuartal keempat ini "sekalipun tak sebesar sebelumnya," ujar Alan Lerner, Wakil Presiden Bankers Trust Co. Sedang menurut bagian ekonomi Citibank "Turunnya sukubunga yang dramatis baru-baru ini menunjukkan bahwa Bank Sentral (AS) ingin semuanya bergerak lagi." Karena itulah diramalkannya peredaran uang akan bertambah lagi mulai awal September, atau Oktober depan. Buat berbagai perusahaan, tingkat suku bunga rendah itu paling tidak akan menolong mengurangi biaya pencicilan utang, dan memperbaiki perputaran uang. Tapi bisa saja, menurut dugaan, turunnya suku bunga itu secara psikologis akan memukul balik. Pembelanjaan yang terlalu banyak oleh konsumen maupun perusahaan, justru akan menjadi faktor penekan baru untuk suku bunga. Situasi tak menyenangkan itu pernah terjadi ketika Ronald Reagan menduduki kursi kepresidenan Januari tahun lalu Ketika itu suku bunga sudah mencapai 20%, dan lima bulan kemudian bertengger pada arigka 20,5% -- hanya satu pont berada di bawah angka tingkat suku bunga di masa Presiden Carter. Angka inflasi saat itu di atas 10%. Dalam usaha menekan inflasi itulah, Bank Sentral melakukan kebijaksanaan uang ketat. Akibatnya mata uang dollar AS menguat terhadap sejumlah mata uang Eropa Barat (Deutsche Mark, dan Franc Prancis). Karena menganggap depresiasinya sudah kelewat besar. Prancis akhirnya mendevaluasi Francnya. Tingginya tingkat suku bunga dollar AS itu juga menyebabkan mengalirnya modal dari Eropa sarat ke AS. Pada akhirnya memang hal itu juga menyebabkan rontoknya sejumlah kegiatan industri. Maka kecaman berapi-api dilontarkan Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt yang menuduh tingginya suku bunga sebagai penyebab resesi di negerinya. Tapi kini suku bunga sudah turun apa yang terjadi? Pemilik uang kini mulai berpaling kembali ke emas, dan saham. New York Stock Exchange, misalnya mendadak dibanjiri pembeli. Pada 25 Agustus lalu, 133 juta lembar saham dengan cepat berpindah tangan dalam sebuah transaksi dagang terbesar yang diselenggarakan hanya selama 8 jam. Situasi itu jelas menyebabkan nilai saham sejumlah perusahaan naik tajam. Tapi di Tokyo hal itu rupanya tak terjadi. "Logikanya kalau suku bunga dollar AS turun, Yen akan menguat, dan hal itu akan membawa penanam modal kembali ke bursa saham di Jepang," kata Kunio Masaki, dari Nikko Securites, Tokyo. Sejauh ini, katanya, "hal seperti itu tak pernah terjadi." Nilai tukar untuk setiap dollar AS adalah 258 Yen pekan lalu, sedang pada Mei lalu 236. Harga emas perlahan-lahan juga naik. Apalagi ketika tersebar desas-desus, pemerintah Argentina akan menasionalisasikan sejumlah bank swasta dan asing: emas naik US$ 32.10 menjadi US$ 438 per troy ounce di Bursa Komoditi, New York, pekan lalu. Sekalipun demikian harganya masih jauh di bawah US$ 875 seperti yang pernah dicapainya dua tahun lalu. Salah satu sebabnya, menurut seorang bankir pemerintah di Jakarta, karena Uni Soviet melempar cadangan emasnya dalam jumlah yang besar ke pasaran, untuk membiayai ekonominya yang semakin sulit. Di Singapura pengaruh turunnya suku bunga dollar AS juga terasa kecil. Tingkat suku bunga pinjaman untuk nasabah utama pekan lalu tercatat 10,29%, sedang pada awal Juni 10,96%. Kendati demikian, seorang pejabat perusahaan leasing (semacam lembaga keuangan nonbank) di Jakarta mengatakan "Kini lebih mudah mencari dollar AS di Singapura daripada rupiah yang biayanya mahal. Tingkat suku bunga rupiah (untuk kredit komersial) memang masih tinggi (18-20%). Benarkah suku bunga dollar AS masih akan turun? Hery Kauffman, dari Salomon Brothers, lembaga keuangan tersohor di kalangan broker Wall Street, pesimistis dengan siasat Bank Sentral itu. Menurut dia, neraca kebanyakan perusahaan AS kini sedang mendapat tekanan, hingga mereka tak tergesa-gesa melakukan pinjaman besar-besaran. Karena itulah, katanya, suku bunga akan turun sampai 9-10%. Tapi banyak juga yang meragukan kemungkinan itu mengingat pemerintah AS tahun ini akan defisit sampai US$ 100 milyar. Defisit ini hanya bisa ditutup dengan kredit pasaran. Namun kalau dana perbankan yang ada sebagian disedot pemerintah, maka yang tersedia bagi bisnis swasta tinggal sedikit. Perusahaan swasta diperkirakan akan saling berebut kredit. Akibatnya bunga diduga akan naik lagi. (lihat kolom Suku Bunga dan Ekonomi Dunia).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus