SEBUAH harapan sedang ditunggu sesudah Federal Reserve Bank AS
menurunkan tingkat suku bunga untuk nasabah utama (prime rate).
Hanya dalam tempo empat minggu sejak akhir Juli, tingkat suku
bunga utama Bank Sentral AS itu anjlok secara berangsur dari
16,5% menjadi 13,5%, sampai akhir Agustus. Langkah mengejutkan
itu diperkirakan akan merangsang para investor di AS dan dari
negeri-negeri lain mengalihkan dana-dana mereka dari bank-bank
di AS, kembali ke bursa saham.
Washington memang mengharapkan kebijaksanaan itu akan mampu
menggerakkan kembali kegiatan investasi yang dua tahun terakhir
ini melemah. Dengan cara itulah, sesudah menganggap berhasil
menekan laju inflasi (7,2%) dengan politik uang ketat, Presiden
Reagan berharap bisa mengurangi pengangguran.
Apakah penurunan tingkat sukubunga merupakan tanda awal
membaiknya kegiatan ekonomi? Ada sejumlah bankir meramalkan
kegiatan akan mulai pulih pada kuartal keempat ini "sekalipun
tak sebesar sebelumnya," ujar Alan Lerner, Wakil Presiden
Bankers Trust Co. Sedang menurut bagian ekonomi Citibank
"Turunnya sukubunga yang dramatis baru-baru ini menunjukkan
bahwa Bank Sentral (AS) ingin semuanya bergerak lagi." Karena
itulah diramalkannya peredaran uang akan bertambah lagi mulai
awal September, atau Oktober depan.
Buat berbagai perusahaan, tingkat suku bunga rendah itu paling
tidak akan menolong mengurangi biaya pencicilan utang, dan
memperbaiki perputaran uang. Tapi bisa saja, menurut dugaan,
turunnya suku bunga itu secara psikologis akan memukul balik.
Pembelanjaan yang terlalu banyak oleh konsumen maupun
perusahaan, justru akan menjadi faktor penekan baru untuk suku
bunga.
Situasi tak menyenangkan itu pernah terjadi ketika Ronald Reagan
menduduki kursi kepresidenan Januari tahun lalu Ketika itu suku
bunga sudah mencapai 20%, dan lima bulan kemudian bertengger
pada arigka 20,5% -- hanya satu pont berada di bawah angka
tingkat suku bunga di masa Presiden Carter. Angka inflasi saat
itu di atas 10%.
Dalam usaha menekan inflasi itulah, Bank Sentral melakukan
kebijaksanaan uang ketat. Akibatnya mata uang dollar AS menguat
terhadap sejumlah mata uang Eropa Barat (Deutsche Mark, dan
Franc Prancis). Karena menganggap depresiasinya sudah kelewat
besar. Prancis akhirnya mendevaluasi Francnya. Tingginya tingkat
suku bunga dollar AS itu juga menyebabkan mengalirnya modal dari
Eropa sarat ke AS. Pada akhirnya memang hal itu juga menyebabkan
rontoknya sejumlah kegiatan industri. Maka kecaman berapi-api
dilontarkan Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt yang menuduh
tingginya suku bunga sebagai penyebab resesi di negerinya.
Tapi kini suku bunga sudah turun apa yang terjadi? Pemilik uang
kini mulai berpaling kembali ke emas, dan saham. New York Stock
Exchange, misalnya mendadak dibanjiri pembeli. Pada 25 Agustus
lalu, 133 juta lembar saham dengan cepat berpindah tangan dalam
sebuah transaksi dagang terbesar yang diselenggarakan hanya
selama 8 jam. Situasi itu jelas menyebabkan nilai saham sejumlah
perusahaan naik tajam.
Tapi di Tokyo hal itu rupanya tak terjadi. "Logikanya kalau suku
bunga dollar AS turun, Yen akan menguat, dan hal itu akan
membawa penanam modal kembali ke bursa saham di Jepang," kata
Kunio Masaki, dari Nikko Securites, Tokyo. Sejauh ini, katanya,
"hal seperti itu tak pernah terjadi." Nilai tukar untuk setiap
dollar AS adalah 258 Yen pekan lalu, sedang pada Mei lalu 236.
Harga emas perlahan-lahan juga naik. Apalagi ketika tersebar
desas-desus, pemerintah Argentina akan menasionalisasikan
sejumlah bank swasta dan asing: emas naik US$ 32.10 menjadi US$
438 per troy ounce di Bursa Komoditi, New York, pekan lalu.
Sekalipun demikian harganya masih jauh di bawah US$ 875 seperti
yang pernah dicapainya dua tahun lalu. Salah satu sebabnya,
menurut seorang bankir pemerintah di Jakarta, karena Uni Soviet
melempar cadangan emasnya dalam jumlah yang besar ke pasaran,
untuk membiayai ekonominya yang semakin sulit.
Di Singapura pengaruh turunnya suku bunga dollar AS juga terasa
kecil. Tingkat suku bunga pinjaman untuk nasabah utama pekan
lalu tercatat 10,29%, sedang pada awal Juni 10,96%. Kendati
demikian, seorang pejabat perusahaan leasing (semacam lembaga
keuangan nonbank) di Jakarta mengatakan "Kini lebih mudah
mencari dollar AS di Singapura daripada rupiah yang biayanya
mahal. Tingkat suku bunga rupiah (untuk kredit komersial) memang
masih tinggi (18-20%).
Benarkah suku bunga dollar AS masih akan turun? Hery Kauffman,
dari Salomon Brothers, lembaga keuangan tersohor di kalangan
broker Wall Street, pesimistis dengan siasat Bank Sentral itu.
Menurut dia, neraca kebanyakan perusahaan AS kini sedang
mendapat tekanan, hingga mereka tak tergesa-gesa melakukan
pinjaman besar-besaran. Karena itulah, katanya, suku bunga akan
turun sampai 9-10%.
Tapi banyak juga yang meragukan kemungkinan itu mengingat
pemerintah AS tahun ini akan defisit sampai US$ 100 milyar.
Defisit ini hanya bisa ditutup dengan kredit pasaran. Namun
kalau dana perbankan yang ada sebagian disedot pemerintah, maka
yang tersedia bagi bisnis swasta tinggal sedikit. Perusahaan
swasta diperkirakan akan saling berebut kredit. Akibatnya bunga
diduga akan naik lagi. (lihat kolom Suku Bunga dan Ekonomi
Dunia).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini