Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Puasa dulu, om willem

Dealer mobil saling bersaing baik dalam harga mau- pun promosi. kini, produsen mobil di indonesia ha- rus peka memantau kemauan pasar dan menganalisa pasar mobil.

27 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Produsen mobil selalu tertatih-tatih mengikuti gejolak pasar. Produksi direm mereka rugi, produksi digenjot stok menumpuk. DEALER mobil tak bisa lagi jual mahal. Tak sampai setahun lalu, dengan gampangnya mereka bisa mengatakan pada calon pembeli, "Kalau tak mau, ya sudah, masih banyak yang antre, kok." Ketika itu untuk membeli Toyota Kijang saja orang mesti menunggu paling tidak enam bulan. Belum lagi kejengkelan dipingpong ke sana-kemari, sementara harga dimainkan seenak mereka. Sekarang antrean surut. Para dealer terpaksa pun merayu pembeli. Segala macam kampanye dilancarkan di tengah olengnya pasar. Jika menengok halaman-halaman koran, suasana itu amat terasa. Bunga nol persen, tamasya ke Eropa, beli mobil hadiah mobil, Pesta Gede Kijang, Pesta Cibra II, cicilan ringan, Pesta Classy Ria, semua ada. Pokoknya, segala siasat promosi dilancarkan. Harga pun dibanting. Rugi satu-dua juta rupiah tak apa, "Daripada menanggung beban bunga, ruginya bisa berkelan- jutan," tutur seorang dealer di "bursa" mobil Pecenongan, Jakarta. Beberapa contoh bisa disimak. Harga Daihatsu Zebra Minibus yang pokoknya Rp 13,5 juta siap dilepas toko dengan Rp 750 ribu lebih murah. Minibus Suzuki dengan karoseri Laksana juga dijual Rp 1,5 juta lebih murah dari harga pokok. Kalau mau jual sedan, lebih besar diskonnya. Suzuki Forsa Amenity, yang modalnya Rp 29 juta, terpaksa dijual Rp 27 juta. Di daerah, persaingan banting harga bahkan terasa lebih keras. Beda harga di kota kabupaten dengan ibu kota provinsi bisa mencapai sejuta rupiah. "Soalnya, kelesuan di kota kecil jauh lebih parah," kata Rachmat Syahril, manajer PT Permorin yang mengurusi pemasaran motil Mitsubishi di Bandung. Dalam mencoba mengobati sepinya pasar, para dealer di daerah sebenarnya tak kalah gencar dengan pabrik mobil dalam ber- promosi. Ambil Sun Motor di Semarang. Begitu pasar mulai goyah, mereka sudah menurunkan suku bunga. Tahun lalu suku bunga kredit rata-rata 12% setahun, sekarang sudah dipangkas jadi 7%. Itu masih ditambah perangsang bebas bunga selama setahun. Biaya administrasi juga tak dipungut. Pembeli tinggal bawa pulang mobilnya. Bea balik nama pun, yang biasanya dipungut 10% dari harga mobil, boleh ditangguhkan dua tahun. Langkah satu dealer berpromosi dan membanting harga segera diikuti penjual lain. Masih di Semarang, Duta Kencana Motor berani menambahkan bonus AC mobil merek Sanden gratis. Suasana berlomba dan perang harga amat terasa. Siasat satu dealer cepat diintip dealer yang lain. Jika perlu, mereka bersedia merugi lebih besar untuk merebut pembeli. Toh upaya mati-matian ini tampaknya tak banyak menolong. "Pokoknya, tahun ini kita hanya menghitung kerugian, jangan heran jika banyak usaha toko mobil yang bakal bangkrut," tutur Thomas Agus Budiarto, manajer Sun Motor. Beberapa pengusaha malah sudah siap banting setir. PT Permorin di Bandung tadi kini mencoba mengais laba dari penjualan suku cadang dan servis mobil. Begitulah, pingsannya pasar mobil memang berantai akibatnya. Mulai dari pabrik, dealer, sampai ke usaha lain yang juga menyerempet urusan mobil. Misalnya industri pembuatan boks aluminium atau bak kayu untuk truk. PT Saluyu di Bandung, yang selama ini dibanjiri order pembuatan bak dan boks untuk kendaraan niaga, langsung kena getahnya. Tak tanggung-tanggung, omsetnya turun sampai 50%. Namun, beban yang paling berat tampaknya mesti ditanggung oleh produsen, yang punya skala gajah, jika dibanding toko atau pabrik bak truk. Sekarang diperkirakan ada persediaan 100 ribu mobil yang belum laku. Itu terdiri dari 34 ribu unit yang masih dalam perjalanan, 47 ribu unit masih telantar di pabrik belum dirakit, dan 30 ribu unit yang mestinya sudah siap dijual. Jika yang dihitung hanya 30 ribu unit yang belum terjual, menurut Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Herman Z. Latief, pihak produsen harus menanggung beban bunga sekitar Rp 500 juta sehari. Jumlah sebesar itu, kalau benar, bukan sedikit. Tak heran jika orang lalu bertanya-tanya, apakah para produsen tak punya proyeksi yang jelas tentang pasar mobil hingga begitu mudah terpelanting. Menurut Herman, produsen mobil memang tak mudah menyesuaikan diri dengan gejolak pasar. Tahun lalu, ketika pasar mobil sedang jaya-jayanya, permintaan meluber. Pernah dalam satu bulan produksi mencapai 28 ribu unit. Ini kalau secara mudahnya, dikalikan 12, akan keluar angka 336 ribu unit. Artinya, kapasitas industri mobil Indonesia memang sebesar itu. Ini bukan kapasitas perakitan saja, tapi termasuk kapasitas pembuatan komponen lokal dan kapasitas pemesanan komponen terurai (CKD) dari negara produsen asal. Celakanya, pada awal kuartal pertama 1991, pasar mendadak anjlok. Tapi kemampuan produksi, baik yang komponen lokal maupun CKD-nya sudah dipesan, tak bisa dihentikan begitu saja. Tampaknya, ini kasus yang berlawanan dengan zaman mobil susah tahun lalu. Ketika itu permintaan menggila, tapi naiknya pesanan komponen lokal dan CKD tak bisa dilakukan seenaknya. Akibatnya, komponen terus berdatangan. Kesimpulannya, kecepatan para produsen untuk menurunkan produksi tak bisa mengimbangi kecepatan merosotnya permintaan pasar. Apa boleh buat, produksi menumpuk tak terjual. Dari sini bisa disimpulkan bahwa produsen mobil di Indonesia harus peka memantau kemauan pasar. Sekali meleset, semuanya berantakan. Jika berhati-hati seperti tahun lalu, mereka takut akan kehilangan kesempatan tak bisa memenuhi permintaan. Bah- kan, Herman Latief berani menyimpulkan, "Analisa produksi tak begitu penting. Yang paling penting adalah analisa pasar. Sebab, di sini mau tak mau produksi harus mengikuti pasar." Itulah sebabnya para produsen harus punya juru ramal yang piawai untuk menerka maunya pasar. Mereka biasanya punya rumus masing-masing. Toyota Astra Motor (TAM) misalnya, selalu memakai data statistik. Baik dari BPS, lembaga survei, konsultan, maupun dari Gaikindo. Data-data statistik ini lalu diramu dengan berbagai hal lain yang lebih luas, misalnya pertumbuhan ekonomi. "Setiap kali menentukan produksi tahun mendatang, kami selalu menghitung itu," kata Rudyanto Hardjanto, Dirut TAM. Bahkan, Wakil Dirut PT Astra International, induk perusahaan Toyota, Edwin Soeryadjaya, mengaku punya rumus yang lebih keren. Perusahaannya selalu menghubungkan ekonomi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi di negara maju. Kesimpulan rumusnya, "Apa trend yang terjadi di sana, dalam waktu enam bulan pasti akan terjadi juga di sini." Jadi, jika sekarang pertumbuhan ekonomi sedang dilanda flu berat, enam bulan lagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan sempoyongan. Namun, berbagai jurus dan rumus jitu seperti itu tak selamanya cocok dengan kondisi Indonesia yang, kadang-kadang, ajaib. Barangkali, ketika menggodok ramuan rumus tadi, ada yang mereka lewatkan, agaknya. Yakni kemungkinan besar akan dilan- jutkannya beleid uang ketat. Jadinya proyeksi Astra meleset. Mereka merencanakan produksi yang sama dengan tahun lalu, rata-rata 8.000 unit sebulan. Astra beranggapan, sejelek-jeleknya iklim usaha, paling tidak produksi bisa disamakan dengan tahun lalu. Tapi ini ditambah dengan satu kondisi, beleid uang ketat sudah dilonggarkan - sebelum memasuki Tahun Baru 1991. Ganjalan berikutnya adalah pemasaran Astra yang kabarnya mengandalkan kredit. Sebanyak 80% penjualan kendaraan Astra dilakukan lewat kredit. Tapi siapa yang mau beli mobil jika disodori kredit setinggi 30% setahun? Akibat kemelesetan per- hitungan yang beruntun, perusahaan Om Willem kini hanya bisa menjual sekitar 6.000 unit sebulan. Beban ongkos pun kian mengimpit karena belum ada PHK. Para karyawannya masih diminta masuk pabrik. Namun, kerja lembur sudah dihapus, dan hari libur kian ditambah. Tampaknya, para dealer mobil, produsen, pabrik boks dan bak truk setelah meraih untung besar selama bertahun-tahun -- kini diminta puasa dulu. Apa boleh buat. Yopie Hidayat, Dwi S. Irawanto, Iwan Q. Himawan, Heddy Lugito (Yogyakarta), Riza Sofyat (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus