Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Untung, Garuda

Penghasilan tahun 1983, ditargetkan naik 21 persen dari Rp 500 milyar (1982), jumlah pesawat tidak di tambah, utangnya dibawah us$ 1 milyar. (eb)

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Garuda Indonesian Airways ternyata masih tampil dengan bagus. Tahun 1982 perusahaan pemerintah itu berhasil mengantungi pendapatan Rp 510 milyar -- naik 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi jika sebelumnya penerbangan domestik menyumbang 70% dari total pendapatan Garuda, maka tahun lalu peranannya tinggal 45%. Konjungtur perekonomian dunia, dan terutama perubahan kebijaksanaan pemerintah jelas telah mempengaruhi perubahan komposisi penerimaan perusahaan itu. Penerbangan Garuda dari Jakarta ke Yogya, misalnya, kini tinggal 3 kali (sebelumnya 5 kali sehari) sesudah 10 Januari tarifnya naik 20% menyusul kenaikan BBM. Penumpang ke Singapura dan Hongkong pun, yang biasanya meluap menjelang Natal dan Tahun Baru, merosot setelah pemerintah 15 November lalu menaikkan fiskal dari Rp 25 ribu menjadi Rp 150 ribu. Kenyataan itu nampaknya tak membuat Garuda, yang pekan ini genap 34 tahun, merasa pesimistis. Malahan untuk tahun 1983 ini Dirut Garuda Wiweko memberi ancar-ancar perusahaannya masih bisa memperoleh pendapatan Rp 620 milyar. Naik sekitar 21% dibandingkan penghasilan tahun lalu. Sekitar 55% dari pendapatan ini, menurut Wiweko, akan berasal dari trayek luar negeri. Jika depresiasi rupiah terhadap dollar AS makin kencang, Garuda tentu akan memperoleh rupiah lebih besar dari penerbangan luar negeri. Karena itulah berkurangnya rupiah dari penerbangan dalam negeri, bisa segera ditutupi. Tapi depresiasi yang kencang itu -- Wiweko memperkirakan kurs setiap dollar AS akan mencapai Rp 800 hingga akhir tahun ini -- jelas tidak menggembirakan jika dikaitkan dengan kewajiban Garuda mencicil pinjaman dan bunga. Itu dianggap akan menyebabkan perusahaan ini mengeluarkan rupiah lebih besar lagi. Tahun ini saja Garuda harus mencicil pinjaman pokok berikut beban bunga sebesar US$ 250 juta, atau Rp 200 milyar jika benar kurs setiap dollar AS akan mencapai Rp 800. Utangnya tahun lalu terhadap bank-bank swasta di luar negeri berjumlah US$ 950 juta. Selama penerbangan luar negeri masih menyumbang 55% dari total pendapatan, Wiweko nampaknya optimistis Garuda bisa memenuhi kewajibannya melunasi pinjaman. Pokoknya Garuda, kata Wiweko, harus lebih banyak berorientasi pada trayek ekspor (luar negeri). "Saya baru khawatir kalau kurs setiap dollar AS jadi Rp 900," katanya. Wiweko menganggap 77 pesawat Garuda: 6 DC-10, 21 DC-9, 35 F-28, 9 Airbus-300, dan 6 Boeing 747, cukup untuk melayani permintaan akan jasa angkutan. "Hingga untuk 2 sampai 3 tahun mendatang Garuda tak perlu menambah pesawat," katanya. Tahun lalu perusahaan ini memperoleh pinjaman Komersial US$ 74,6 juta, sebagian dengan bunga 0,37% di atas Libor, dan 0,5% di atas Libor (tingkat suku bunga antarbank di London). Sedangkan tahun 1981 pinjaman yang diperolehnya berjumlah US$ 240 juta, sebagian dengan bunga 0,625% di atas Libor. Semua pinjaman menurut Wiweko hanya digunakan untuk membiayai pembelian pesawat, dan tidak diperbolehkan untuk membeli mobil, atau rumah, misalnya. "Kami sangat konservatif dalam mengelola keuangan," kaunya. Lebih-lebih, tentunya, di tahun resesi sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus