PT Garuda Indonesian Airways ternyata masih tampil dengan bagus.
Tahun 1982 perusahaan pemerintah itu berhasil mengantungi
pendapatan Rp 510 milyar -- naik 20% dibandingkan tahun
sebelumnya. Tapi jika sebelumnya penerbangan domestik menyumbang
70% dari total pendapatan Garuda, maka tahun lalu peranannya
tinggal 45%.
Konjungtur perekonomian dunia, dan terutama perubahan
kebijaksanaan pemerintah jelas telah mempengaruhi perubahan
komposisi penerimaan perusahaan itu. Penerbangan Garuda dari
Jakarta ke Yogya, misalnya, kini tinggal 3 kali (sebelumnya 5
kali sehari) sesudah 10 Januari tarifnya naik 20% menyusul
kenaikan BBM. Penumpang ke Singapura dan Hongkong pun, yang
biasanya meluap menjelang Natal dan Tahun Baru, merosot setelah
pemerintah 15 November lalu menaikkan fiskal dari Rp 25 ribu
menjadi Rp 150 ribu. Kenyataan itu nampaknya tak membuat Garuda,
yang pekan ini genap 34 tahun, merasa pesimistis.
Malahan untuk tahun 1983 ini Dirut Garuda Wiweko memberi
ancar-ancar perusahaannya masih bisa memperoleh pendapatan Rp
620 milyar. Naik sekitar 21% dibandingkan penghasilan tahun
lalu. Sekitar 55% dari pendapatan ini, menurut Wiweko, akan
berasal dari trayek luar negeri. Jika depresiasi rupiah terhadap
dollar AS makin kencang, Garuda tentu akan memperoleh rupiah
lebih besar dari penerbangan luar negeri. Karena itulah
berkurangnya rupiah dari penerbangan dalam negeri, bisa segera
ditutupi.
Tapi depresiasi yang kencang itu -- Wiweko memperkirakan kurs
setiap dollar AS akan mencapai Rp 800 hingga akhir tahun ini --
jelas tidak menggembirakan jika dikaitkan dengan kewajiban
Garuda mencicil pinjaman dan bunga. Itu dianggap akan
menyebabkan perusahaan ini mengeluarkan rupiah lebih besar lagi.
Tahun ini saja Garuda harus mencicil pinjaman pokok berikut
beban bunga sebesar US$ 250 juta, atau Rp 200 milyar jika benar
kurs setiap dollar AS akan mencapai Rp 800. Utangnya tahun lalu
terhadap bank-bank swasta di luar negeri berjumlah US$ 950 juta.
Selama penerbangan luar negeri masih menyumbang 55% dari total
pendapatan, Wiweko nampaknya optimistis Garuda bisa memenuhi
kewajibannya melunasi pinjaman. Pokoknya Garuda, kata Wiweko,
harus lebih banyak berorientasi pada trayek ekspor (luar
negeri). "Saya baru khawatir kalau kurs setiap dollar AS jadi Rp
900," katanya.
Wiweko menganggap 77 pesawat Garuda: 6 DC-10, 21 DC-9, 35 F-28,
9 Airbus-300, dan 6 Boeing 747, cukup untuk melayani permintaan
akan jasa angkutan. "Hingga untuk 2 sampai 3 tahun mendatang
Garuda tak perlu menambah pesawat," katanya. Tahun lalu
perusahaan ini memperoleh pinjaman Komersial US$ 74,6 juta,
sebagian dengan bunga 0,37% di atas Libor, dan 0,5% di atas
Libor (tingkat suku bunga antarbank di London). Sedangkan tahun
1981 pinjaman yang diperolehnya berjumlah US$ 240 juta,
sebagian dengan bunga 0,625% di atas Libor.
Semua pinjaman menurut Wiweko hanya digunakan untuk membiayai
pembelian pesawat, dan tidak diperbolehkan untuk membeli mobil,
atau rumah, misalnya. "Kami sangat konservatif dalam mengelola
keuangan," kaunya. Lebih-lebih, tentunya, di tahun resesi
sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini