KESIBUKAN Ketua Bapepam, Marzuki Usman, akhir-akhir ini tak ubahnya Kopro Banjir. Setelah Paket Deregulasi 7 Oktober, yang mirip bom itu, Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal) tampaknya harus menyiapkan waduk penampung. Tak lain agar gelombang dana yang terjadi akibat ledakan di sektor perbankan bisa tersalur ke pasar modal. Apalagi investor asing tampaknya mulai tergoda untuk terjun ke bursa Jakarta. Hal itu tampak sewaktu PT Jakarta International Hotel (JIH), pengelola Hotel Borobudur, November lalu mengeluarkan sekitar 6,6 juta lembar saham senilai Rp 23,2 milyar. Beberapa pialang internasional sudah datang, antara lain TC Coombs & Co. Pialang saham dari London itu, konon, telah mengirim US$ 22 juta (sekitar Rp 37,7 milyar) kepada Danareksa untuk memborong seluruh saham JIH, guna dijual lagi kepada para investor dari Eropa dan Amerika. "Selain itu, ada pialang dari Hong Kong seperti GT Management, Jardin Flemming, dan Indosuez, yang mengincar saham Hotel Borobudur," kata seorang eksekutif PT Danareksa. Namun, permintaan dari orang Indonesia sendiri mencapai 4,7 juta lembar. "Karena sudah membayar, TC Coombs kebagian juga saham, tapi hanya bisa dipenuhi 1,8 juta lembar. Tak selembar pun tersisa untuk Danareksa," katanya setengah tak percaya. Tapi jangan takut. Pekan silam Bapepam meloloskan BPD Ja-Teng menjual obligasi Rp 25 milyar. Sementara itu, proses izin untuk obligasi PT Jasa Marga sudah hampir selesai. Dan Senin pekan ini, PT Delta Djakarta, yang memproduksi Anker Bir, diloloskan menjual lebih dari 190.000 lembar saham bernilai sekitar Rp 600 juta. Dengan demikian, alat permainan investasi di bursa semakin banyak. Saham Delta nilainya tak banyak. Ketika perusahaan bir Anker dan Carlsberg itu merugi sekitar Rp 1,5 milyar tahun 1985, Maret 1986 PT Mantrust -- perusahaan kelompok Teguh Soetantyo -- datang mengulurkan bantuan. Mantrust menyuntikkan dana Rp 3,7 milyar dan menawarkan anak perusahaannya, Borsumij Wehry Indonesia, menjadi distributor Anker Bir dan Carlsberg. Sebagai imbalannya, Mantrust mendapatkan 30% saham Delta Djakarta. Saham-saham tersebut ternyata 25% diambil dari tangan De Drie Hoefijzers Beheer BV, Breda (waktu itu memegang 50% saham Delta), dan 5% lagi diambil dari bursa. Tiga bulan kemudian, timbul sengketa intern dalam tubuh perusahaan bir itu. Ternyata, saham masyarakat di PT Delta Djakarta tinggal sekitar 10%, padahal menurut ketentuan BKPM dan Bapepam, minimal harus 15%. Juli tahun itu juga Mantrust sudah bersedia melepaskan kembali 5% Delta ke bursa. Rupanya, tak ada lembaga keuangan yang mau menjamin penjualan saham bernilai sekitar Rp 600 juta itu. Maklum, siapa mau membeli saham perusahaan yang tengah merugi? Mantrust tentu saja tak mau menjual kembali saham yang dibelinya sekitar Rp 3.000 per lembar dengan harga yang sudah melorot sampai sekitar Rp 2.000. Dua tahun setelah dibenahi Dirut (baru) Harsono E. Soleh, Delta Djakarta sehat kembali. Kerugian yang mencapai Rp 1,7 milyar akhir tahun silam ditekan hingga tak sampai Rp 600 juta. "Kami yakin, tahun ini akan untung," kata Harsono E. Soleh kepada TEMPO Senin lalu, di Gedung Bursa. Harsono benar. Pada semester pertama 1988, Delta Djakarta sudah mencatat laba kumulatif Rp 21 milyar. Agakya, kini saat yang tepat bagi Mantrust untuk mengembalikan saham 5% itu ke bursa. PT Inter-Pacific Finance Corporation -- lembaga keuangan milik BRI dan Sanwa Bank --bersedia menjamin semua saham itu akan laku, minimal dengan harga Rp 3.290 per lembar. Saham-saham itu akan dijual mulai 20 Desember depan, oleh pialang-pialang BRI dan BDNI. MW, Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini