BANK-bank pembangunan daerah (BPD), tampaknya, berada di luar deregulasi, karena sama sekali tak tersentuh Pakto 1988. Kini bank-bank tersebut -- tanpa deregulasi -- ternyata bisa bergerak ke luar provinsi. BPD Ja-Teng misalnya, pekan silam, terjun di pasar modal Jakarta menyikuti jejak BPD Ja-Tim. BPD Ja-Teng mengincar para investor, dengan menjual obligasi senilai Rp 25 milyar yang dipasarkan antara 2-14 Desember ini. Sementara awal Oktober lalu, BPD Ja-Tim juga sukses menjual obligasi serupa di bursa Jakarta. "Terjual habis," kata Dirut BPD Ja-Tim, S. Supoyo, kepada Wahyu Muryadi dari Biro TEMPO Surabaya. Dengan demikian, November ini, BPD Ja-Tim sudah mengantungi dana Rp 25 milyar. Sedangkan untuk obligasi tadi, BPD Ja-Tim membayar bunga cukup mahal, Rp 1.125 juta per triwulan (18% per tahun). Tapi masih lebih murah dibandingkan biaya dana deposito, yang sekarang minimal 21% per tahun. Di balik sukses BPD Jatim, ada yang bertanya, adakah obligasi BPD Ja-Teng tidak terlalu riskan? Soalnya para investor diduga masih terpesona karena tawaran suku bunga deposito setinggi 19%-24%. Sementara obligasi berjangka lima tahun dari BPD Ja-Teng itu, hanya berkupon bunga 18% per tahun. "Kalau laris, tentu, obligasi Jateng ini sangat menarik," kata Marzuki Usman, Ketua Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal). Jika obligasi Ja-Teng tak laku, tak kurang dari 10 lembaga keuangan siap membeli obligasi tersebut, sementara PT Inter Pacific Finance Corporation, PT Merincorp, dan Bank Rakyat Indonesia tampil sebagai penjamin utama. Mereka didukung PT Ficorinvest, PT Danareksa, PT Finconesia, PT Indovest, PT IFI, PT MIEC, dan PT PDFCI. Supari D.H., Presiden Direktur IPFC optimistis obligasi BPD Ja-Teng akan merupakan pilihan investasi jangka panjang yang menarik. "BPD ini termasuk bank yang bagus. Manajemennya baik, kantor cabangnya banyak," kata Ketua Bapepam Marzuki. Toh masih ada anggapan kuat bahwa BPD-BPD tak lebih dari sekadar "kasir pemerintah daerah". Tapi BPD Ja-Teng, tampaknya, lain. Berita Perbanas edisi September 1988 menunjukkan, BPD Ja-Teng sangat agresif memberikan kredit. Pinjaman yang disalurkannya, per 30 Juni, mencapai Rp 172,7 milyar. Sementara modal dan cadangannya berikut dana pihak ke-3, ada Rp 160 milyar. Lalu, apakah Rp 12 milyar itu, dipinjam dari pasar uang antarbank seperti banyak dilakukan bank-bank tanggung? "Kami tak pernah meminjam dari pasar uang. Itu mahal," ujar Dirut Abdulrachman Affandi kepada Heddy Lugito dari TEMPO. Dikatakannya BPD Ja-Teng, sudah sejak 1978, dinilai sehat oleh Bank Indonesia. Itu sebabnya bank ini dipercaya menyalurkan paket-paket kredit berprioritas tinggi, seperti KIK, KMKP, KMK. Total kredit yang disalurkannya, akhir September 1988, mencapai Rp 190 milyar, di antaranya Rp 71,4 milyar merupakan pinjaman likuiditas dari BI. Menurut Abdulrachman Affandi, BPD Ja-Teng tidak sembrono menyalurkan kredit murah. "Setiap kredit, dianalisa dengan matang, dan dilakukan oleh tenaga-tenaga spesialis per jenis kredit. Karena itu, tingkat kemacetan kredit, di sini, tak sampai 1%," katanya menegaskan. Toh, BPD Ja-Teng, sejauh ini, masih kalah gesit jika dibandingkan Bank Danamon Indonesia, misalnya, yang baru saja menjadi bank devisa. Akhir Juni lalu, Danamon sudah mencatat asset Rp 311 milyar. Sementara itu, BPD Ja-Teng, pada akhir September lalu, baru berhasil menimbun asset Rp 255 milyar. Tapi dengan terjun ke pasar modal, kini ruang gerak BPD melebar ke tingkat nasional. "Bahkan internasional," ujar Abdulrachman. Alasannya: obligasinya mungkin dibeli investor asing. Dalam poliy kredit, BPD Ja-Tim belum seagresif BPD Ja-Teng. Pada akhir Juni 1988, jumlah modal & cadangannya berikut dana pihak ketiga, berjumlah Rp 150 milyar lebih, tapi kredit yang disalurkannya hanya Rp 100 milyar. Berarti 1/3 dananya masih nganggur di kas. Jadi, buat apa cari dana obligasi Rp 25 milyar? BPD DKI, tampaknya, lebih hati-hati. Menurut Berita Perbanas, kredit yang disalurkannya, pada akhir Juni, hanya sekitar Rp 64 milyar, padahal modal & cadangannya berikut dana pihak ketiga, ada Rp 195 milyar. Konon, BPD DKI merupakan pemasok terbesar pinjaman antarbank di Jakarta. Tapi sampai Senin pekan ini, BPD DKI belum juga mau bicara. Sementara itu, BPD Ja-Bar siap-siap pula terjun ke pasar modal. "Mungkin tahun depan bisa direalisir," kata Dirut Suparman. Dengan 20 cabang, BPD Ja-Bar, yang berkantor pusat di Bandung ini, berhasil menghimpun Rp 137 milyar -- hanya sekitar 30% (Rp 40 milyar) merupakan kas pemerintah daerah. Dan dari sekitar Rp 100 milyar yang disalurkan BPD Ja-Bar, hanya 30% merupakan suntikan bank sentral. BPD Sum-Ut juga termasuk bank yang dipercaya BI. Kredit yang disalurkannya mencapai Rp 106 milyar, sementara dananya sendiri berikut dana pihak ke-3, hanya sekitar Rp 87 milyar. "Kami memang, boleh dikatakan, agresif. Yang kami bantu, adalah pengusaha kecil," ujar Dirut Yahfin Siregar. Dikatakannya, nasabah BPD Sum-Ut ada sekitar 30.000 orang, yang menerima kredit rata-rata Rp 3 juta-Rp 4 juta. Jelas, cukup berat risiko yang dipikulnya. "Misalnya, nasabah di Nias menunggak cicilan. Biaya perjalanan ke sana saja sekitar Rp 300.000. Ya, kita tunda saja pembayaran bunganya," tutur Yahfin. Max Wangkar, Laporan Biro Ja-Tim, Ja-Teng, Ja-Bar, Sum-Ut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini