"PELAYARAN nasional tak punya harapan lagi, karena banjir akan datang," kata Ketua INSA Hartoto, prihatin. Maksudnya bukan banjir muatan, tapi banjir kapal. Baru dua bulan lalu Ketua INSA (Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia) itu, dengan gembira melaporkan di DPR bahwa bisnis mereka telah membaik tahun ini, setelah kemarau panjang resesi sejak 1981. Ia lalu melontarkan sejumlah usul dan wanti-wanti supaya perairan Nusantara tak dikuasai kapal asing. Malang, semua saran dan pesan tenggelam "ditelan" Paket Deregulasi 21 November (Pakno). Seperti diketahui, Pakno memberi keleluasaan di laut. Dan karenanya, Dirjen Perla J.E. Fanny Habibie sudah melihat sejumlah titik rawan. Ia khawatir, deregulasi angkutan laut itu bakal menimbulkan berbagai masalah. "Dulu pelayaran nasional dibagi dalam lima kelas ... dibuat atas keinginan para pemilik kapal, dan pemerintah hanya mengukuhkan." Armada lokal, misalnya, hanya bisa berlayar dalam radius 200-300 mil. Lebih dari itu, berbahaya. Kini mereka ibarat anak SD sampai SMA dipersilakan berjuang di arena yang sama, begitu Fanny mencoba membandingkannya. Dan perang tarif akan terjadi. Ketika ditanya oleh DPR tentang ini, Menteri Perhubungan Azwar Anas segera menjawab, "Ya, kita lihat saja nanti." Gerak armada kapal nantinya barangkali mirip semut: di mana ada gula, ke situ mereka berkumpul. Bahayanya, beberapa daerah mungkin akan ditinggalkan. "Karena itu, Dirjen Perla harus bertindak keras. Jika nakhoda sudah melaporkan bahwa akan membawa kapal ke Banjarmasin, dan tidak mampir ke sana, harus dipukul," kata Fanny. UU dan GBHN mengatakan bahwa kapal-kapal asing hanya boleh didatangkan. Jika diperlukan. Tapi Pakno, seperti yang ditafsirkan Fanny, membuka banyak peluang masuknya kapal asing, misalnya untuk angkutan beras ke Irian Jaya. Dan kapal-kapal asing itu akan sulit dikontrol. Mengapa? "Sekarang, semua pengusaha pelayaran boleh mendatangkan kapal asing. Tapi akan sulit melacak siapa pemiliknya. Dan jika terjadi kecelakaan, siapa yang harus bertanggung jawab?" ujar Fanny pula. Kalangan Industri Galangan Kapal Nasional pun terpukul. Setelah scrapping kapal dicabut, pesanan kapal kontan sepi. Apalagi kini, pengusaha pelayaran bisa mencarter kapal asing. "Yang bakal untung, industri galangan kapal di Singapura," kata Ketua Inkindo (Industri Perkapalan Indonesia) Maruli Pohan, sebagaimana dikutip harian Bisnis Indonesia. Di sisi lain, ada kalangan berharap bakal memetik keuntungan. Antara lain Sofyan Wanandi, pemilik beberapa kapal yang selama ini hanya mengoperasikannya di luar negeri. "Kapal kami mungkin nanti akan ditarik masuk ke sini," ujarnya cerah. Beberapa pengusaha keuangan dan pakar hukum -- yang mengadakan seminar leasing perkapalan di FH-UI Depok pekan silam juga menyambut Pakno. "Pakno hendak menata serta mengoptimalkan aset perusahaan pelayaran nasional secara global. Sekaligus juga mendorong semua perusahaan, untuk begerak lebih efisien," kata Tjiptono Darmadji, Ketua Asosiasi Leasing, yang merangkap sebagai komisaris dari sebuah perusahaan pelayaran. Seminar juga mengharapkan ada deregulasi lanjutan, untuk mengatur pendaftaran dan hipotik kapal yang dibeli dari luar negeri. Selain itu, beberapa pengusaha keuangan ternyata mengharapkan deregulasi atas "monopoli PT PANN", sebagai perusahaan leasing perkapalan yang diizinkan Depkeu. Selama 14 tahun beroperasi, PANN (Pengembangan Armada Niaga Nasional) telah menjual cicil 77 kapal, di antaranya ada 40 kapal sudah menjadi milik mereka. Direktur Keuangan Rachman Pasha menyatakan, persyaratan yang dituntut PANN hanya tiga: mempunyai izin trayek, sanggup membayar uang muka (10% kalau mau sewa saja, 30% kalau mau sewa beli), ada pendapatan normal dan setiap bulan sanggup membayar cicilan dengan bunga sekitar 5% per tahun. Namun, pengusaha yang konon ingin mendapatkan kue leasing menilai persyaratan PANN itu ada di bawah standar normal. Tak jelas, apakah hal itu menjadi kendala bagi masuknya pengusaha leasing baru, ataukah menghambat perkembangan dunia pelayaran. MW dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini