KEBIJAKSAMAAN Pakno alias Paket November 21 ternyata tidak sampai mengancam PT Krakatau Steel (PTKS). Padahal, kini ada 26 jenis besi yang izin impornya dilepas bebas ke importir swasta. Sekarang, baik importir umum maupun importir produsen boleh menangani sendiri impor 26 jenis besi itu -- dengan harapan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. PTKS tak sepenuhnya lagi pegang monopoli. Dirut PTKS Tungky Ariwibowo, pekan lalu, menyatakan kepada TEMPO bahwa hak impor yang selama ini dipegang BUMN yang dipimpinnya tidak banyak mendatangkan laba. Kendati nilai totalnya, pada tahun lalu, mencapai 400 juta dolar. "Pemerintah memberi kami hak impor, bukan supaya PTKS memperoleh banyak laba. Peran kami semata-mata hanya sebagai stabilisator harga," ujar Tungky, yang juga merangkap sebagai Menteri Muda Perindustrian itu. Dengan alasan itu pula ditegaskannya bahwa jika kelak semua hak impor dilepaskan pada pihak swasta, PTKS tidak akan begitu terpukul. "Soalnya, selama ini kami hanya memungut fee saja. Itu pun untuk membiayai impor," ujar Tunky. Dengan dilepasnya impor seluruh baja batangan sebagian baja lembaran, dan beberapa jenis lainnya, pemerintah mengharapkan produsen hilir menjadi lebih bergairah. "Tapi kebebasan itu harus digunakan dengan penuh tanggung jawab, dan jangan disalahgunakan," pesan Tungky. Dia tidak setuju bila importir memasukkan baja yang sudah diproduksi dalam negeri, sementara harga produk lokal cukup bersaing. Tungky juga berharap, main kayu yang selama ini disinyalir sering terjadi di sektor impor baja, tak lagi dilakukan. Misalnya penyelundupan. Atau, permainan dengan cara menurunkan nilai impor dan mengganti tarif pos (CCCN), yang bertujuan agar bea masuk yang dibayar bisa rendah. Dan Tungky menjanjikan, kelak 24 jenis baja impor, yang kini masih dipegang PTKS akan dilepas juga. "Tapi masih diperlukan waktu beberapa tahun lagi," katanya hati-hati. Memang, ada beberapa jenis -- dari 24 jenis yang masih diatur -- yang acap kali digunjingkan industri hilir, dan masih belum disentuh oleh paket kebijaksanaan. Seperti baja canai dingin produksi CRMI (Cold Rolling Mills Indonesia), yang digunakan sebagai bahan baku bodi mobil. Harganya yang 655 dolar per ton memang lebih murah jika dibandingkan dengan harga impor yang 767 dolar. Tapi itu dikarenakan adanya perlindungan dengan dikenakan bea masuk 22,5%. Jenis ini sengaja dilindungi karena CRMI sebagai pabrik baru -- beroperasi sejak Juni 1987 -- belum bisa bersaing dengan produk impor. Masih diperlukan waktu belajar, katanya. Maklum, teknologi yang digunakan merupakan yang tercanggih di industri perbajaan. Sehingga, dalam proses berproduksi pun, boleh dibilang masih dalam tahap percobaan. Hingga kadang kala berakibat, ada produk CRMI yang dikembalikan oleh konsumennya, karena kualitasnya belum memadai. "Paling tidak, baru lima tahun mendatang, kita berani bersaing dengan produk impor," tutur Tunky. Nah, di saat sudah mampu bersaing itulah -- saat periode infant industry ditinggalkan -- pemerintah akan membolehkan impor baja canai dingin. Tapi bea masuknya tidak otomatis dinolkan sama sekali. Ini mengingat bahwa pabrik yang telah dibangun "merupakan aset nasional". Jadi, harus tetap dijaga agar aman. Benarkah aman? Untuk industri hulu seperti CRMI, mungkin benar. Tapi untuk hilir? Sementara impor dicegah, baja-baja yang mereka pesan dari PTKS pun sering datang terlambat. Akibatnya: sangat mengganggu kelancaran proses produksi. Seperti dikemukakan Aburizal Bakrie, Presdir Bakrie Brothers, "Soal kualitas sudah bukan masalah lagi. Tinggal soal delivery time saja," ujarnya. Daripada produksi terganggu, Bakrie mengimpor sebagian bahan baku -- 10% -- untuk pabrik pipanya, dengan konsekuensi bayar bea. Tungky mengakui adanya keterlambatan itu. Katanya, hal ini terjadi karena PTKS hanya mempunyai satu pengolahan. Sementara itu, pesanan yang datang dari konsumen, selain datangnya tak bersamaan, juga spesifikasinya berbeda-beda. Ini mempersulit PTKS, tidak seperti pabrik-pabrik di luar negeri, bisa bekerja dengan beberapa penggilingan. Tapi itu juga tantangan, bukan? Budi Kusumah, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini