Ratusan pekerja Indocement diistirahatkan karena stok menumpuk. Akibat ekspor disetop dan permintaan dalam negeri lesu. SEMEN mudah diencerkan, tapi juga cepat membatu. Demikian pula tata niaganya. Belum genap sepuluh bulan dihebohkan langka di pasaran, kini sudah sebulan lebih stoknya berlimpah. Stok semen menumpuk di hampir semua pabriknya. Penyebab utamanya, seperti yang dilontar para produsen, apa lagi kalau bukan turunnya larangan ekspor per 1 Oktober tahun lalu. Salah satu dari 10 pabrik semen yang mengeluh adalah PT Indocement, perusahaan milik taipan Liem Sioe Liong. Pabrik semen terbesar ini (tahun lalu produksinya mencapai 8 juta ton per tahun) sudah sejak dua pekan lalu "mengistirahatkan" ratusan buruhnya, entah sampai kapan. "Habis, kalau diteruskan kami takut terjadi pembatuan pada semen yang telah diproduksi," kata Budi Priyono, juru bicara Indocement. Di awal pekan ini saja, tercatat ada sekitar 300 ribu ton semen yang menumpuk di gudang menanti pembeli. Taruhlah, murahmurahan diobral satu kilo Rp 100, yang menumpuk di sana bernilai tak kurang dari Rp 30 milyar. Itulah sebabnya, kata Budi, pihaknya sedang meminta kepada pemerintah agar keran ekspor dibuka kembali. Tapi, konon, Dirjen Industri Kimia Dasar, Ir. Wardiyasa, memberikan jawaban bahwa keinginan itu belum bisa dikabulkan. Alasannya, pembangunan di dalam negeri masih membutuhkannya dalam jumlah besar. Tata niaga semen memang dikenal suka fluktuatif. Ketika pemerintah mengetatkan likuiditas pada pertengahan tahun lalu, permintaan semen langsung anjlok. Tapi, entah apa sebabnya, bulan September hingga November, si bubuk abu-abu langsung menghilang di pasaran. Sampai-sampai, untuk memperoleh lima sak semen saja konsumen harus membawa surat keterangan dari RT dan RW. Di samping itu, mereka juga harus memperlihatkan kartu tanda penduduk. Nah, ketika semen hilang, semua cuci tangan. Sebagian besar produsen waktu itu menuduh para pengecer sebagai biang keladinya. Sebaliknya, pengecer dan para kontraktor (sebagai konsumen terbesar) juga menuduh produsenlah yang mempermainkan pasar. Soalnya, kata beberapa kontraktor terkemuka, produsen semen menganggap harga patokan (HPS) yang berlaku (Rp 5.000-Rp 6.500 per sak) terlalu rendah. Sehingga, sebagai salah satu upaya mendongkrak HPS- karena tak berani mengajukan usul pada pemerintah- mereka melakukan "aksi menimbun". Entah mana yang benar dan mana yang salah. Yang jelas, untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah langsung menyetop ekspor semen. Bahkan, kendati belum sampai terealisasi- karena harga di luar negeri lebih mahal- pemerintah juga membuka keran impor, tanpa bea masuk. Masih untuk meningkatkan produksi nasional, para produsen pun dianjurkan untuk menggenjot pabriknya. Indocement, misalnya, memperpanjang hari produksinya dari 300 hari per tahun menjadi 320 hari. Dari perpanjangan produksi itu diperkirakan akan terjadi penambahan suplai 500 ribu ton. Mungkin, karena terlalu kencang "memacu mesin" pabriknya, akhirnya, seperti dialami Indocement, stok pun membludak. Maklum, sebagai produsen terbesar, selain memasok kebutuhan di dalam negeri, Indocement juga sangat giat melakukan ekspor. Tahun lalu, misalnya, kendati per 1 Oktober ekspor sudah dilarang, toh Indocement masih sempat mengapalkan 1,6 juta ton (dari target 2 juta ton). Kegiatan ekspor ini, seperti pernah dikemukakan Direktur Indocement Judiono Tosin, sangat menguntungkan. Soalnya, dengan harga ekspor US$ 55 per ton (Rp 102/kg) jelas lebih bagus dibanding harga lokal. Sepintas, HPS yang Rp 5.000 per sak (Rp 125/kg) memang tampak lebih mahal. Tapi itu masih dibebani berbagai komponen biaya seperti kertas semen, ongkos angkut, bongkar muat, susut, dan margin distribusi. Masih ada lagi beban bunga, sebab produsen baru menerima hasil penjualannya setelah enam bulan. Jadi, sangat lain dengan ekspor. Asal semen sampai di pelabuhan, uang pembayaran langsung masuk kantung. Memang, dalam keputusannya, Pemerintah tak menyetop total ekspor semen. Sedikit-sedikit, mereka masih boleh cari devisa dari berdagang semen. Namun, jumlah yang dibolehkan itu terlalu kecil. Indocement, misalnya, yang biasa mengekspor dua juta ton setahun, kini hanya kebagian kuota 100 ribu ton saja atau sepersepuluhnya. Keuntungan tak masuk kantung produsen semen juga karena masa likuiditas ketat yang molor berkepanjangan. Menurut Budi, tak sedikit developer yang menunda proyeknya. Dan akibatnya, mudah ditebak, pembeli semen pun jadi berkurang. Dalam situasi seperti ini, ia berharap Pemerintah bertindak fleksibel. Sepinya pasaran semen di dalam negeri juga dirasakan oleh Semen Gresik (SG). Seperti dituturkan Abdullah Akhmad, Kepala Divisi Niaga SG, pasaran di Jawa Timur bulan-bulan terakhir terasa lengang. Ini disebabkan, katanya, terutama oleh banyaknya penundaan proyek pembangunan pengusaha swasta. Hanya saja, kata Abdullah, SG tak sampai menderita karena stok bertumpuk-tumpuk. Paling banyak, SG cuma menyetok 60 ribu ton pada musim "panik" seperti Oktober lalu, ketika pembangunan lagi ramai-ramainya. Dalam keadaan normal, penyetokan paling banter 40 ribu ton. Sebuah jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan omsetnya yang 4.500 ton sehari. Berdasarkan pengalaman, "Di bulan-bulan seperti sekarang, memang saatnya pembangunan sepi," kata Abdullah. Keadaan baru pulih lagi sekitar bulan Agustus, setelah proyek-proyek baru mulai digarap untuk tahun anggaran yang berjalan. Nah, andaikata kalkulasi Abdullah itu benar, kiranya tak perlu terjadi lagi produsen semen minta tolong gara-gara stok berlimpah, seperti dialami produsen terbesar Indocement itu. Masih untung mereka tak dituduh menimbun pada waktu semen langka dan kini menjerit kelebihan stok karena keran ekspor dikencangkan. Budi Kusumah, Bambang Aji (Jakarta) dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini