Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mitra yang ideal

Perusahaan film as menunjuk dua importir film un- tuk memasarkan film-film as di indonesia. pemasa- ran film-film dilakukan oleh pt subentra yang me- miliki jaringan bioskop terbesar, twenty one.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua importir film ditunjuk sebagai mitra dagang perusahaan film AS untuk memasarkan produknya di sini. Kelompok 21 semakin kuat. SISTEM peredaran film-film Amerika mencapai babak baru. Ahad lalu, perusahaan film Warner Brothers (WB) dari Amerika menunjuk mitra dagangnya di Indonesia. Perusahaan film yang ketiban untung itu adalah PT Satria Perkasa Estetika Film, salah satu anggota Asosiasi Importir Film Eropa Amerika. PT Satria adalah anak perusahaan PT Subentra, grup yang memiliki jaringan bioskop Twenty One, yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh pengusaha Sudwikatmono. Seperti diketahui, hubungan dagang Indonesia-Amerika sempat "panas". Gara-garanya, ancaman yang dilontarkan oleh Motion Picture Export Association of America (MPEAA). Mereka menghendaki Indonesia dimasukkan daftar hitam negara-negara yang merugikan AS dalam perdagangan. Dalih MPEAA itu adalah monopoli yang dilakukan oleh Asosiasi Importir Film Eropa Amerika (AIFEA) untuk memasarkan film-film AS di Indonesia. Selain monopoli itu, adanya kuota impor juga dipersoalkan. Seperti diketahui, AIFEA hanya boleh mendatangkan 80 judul film setahun dari AS dan Eropa, sebagaimana yang ditetapkan pemerintah. Akibatnya, konon, para produser di AS kehilangan keuntungan US$ 50 juta per tahun. Mereka lantas menuntut agar diizinkan membuat jalur peredaran sendiri di Indonesia. Tuntutan itu memang tak masuk akal, karena menyalahi kebijaksanaan pemerintah tentang tata niaga film impor, tapi tak bisa pula disepelekan. Bisa-bisa Indonesia terjerumus ke dalam daftar PFC (priority foreign country) yang mempengaruhi ekspor berbagai komoditi ke AS. Itu sebabnya, Menteri Perdagangan Arifin Siregar menawarkan konsesi kepada MPEAA. Perundingan pun diadakan di Jakarta. Kerja sama antara WB dan PT Satria adalah "hasil" dari perundingan ini. Bagi penonton Indonesia, yang langsung dinikmatinya adalah datangnya film-film baru dan yang cukup bermutu. Sebagai film perdana kerja sama ini adalah produksi terbaru WB, Robin Hood: Prince of Thieves. Film ini- karya kontroversial Kevin Costner yang dibintanginya sendiri- menurut rencana akan diputar serentak di 48 gedung bioskop yang tergabung dalam Grup 21, mulai 28 Juni nanti. Dalam kerja sama ini, pihak WB juga mewakili pemasaran film-film yang diproduksi anggota MPEAA lainnya, seperti Buena Vista, Touchstones, dan Hollywood Pictures. Itu berarti akan semakin banyak film AS bermutu yang masuk ke sini dan tentunya bisa mengurangi film-film yang asal dar-der-dor. Tetapi, kenapa jatuhnya ke grup Subentra juga? Menurut Edward Frumkes, Vice President Distribusi Internasional WB, "Subentra adalah mitra yang ideal." Subentra punya jaringan bioskop yang terbesar dan menyebar di kota-kota besar. Selain bersih, bios- kop kelompok ini dilengkapi tempat duduk yang nyaman serta sistem suara yang canggih. Selain kerja sama WB dan kelompok Subentra, anggota MPEAA lainnya, yakni United International Pictures (UIP), juga menjalin kerja sama dengan PT Camilla Internusa Film. UIP juga mewakili pemasaran film-film yang diproduksi oleh Paramount Pictures, Universal Studio, dan Metro Goldwyn Meyer (MGM). Kabarnya, Columbia Pictures juga akan menyusul, tapi belum diketahui siapa mitra dagangnya di sini. PT Camilla, yang juga anggota AIFEA, tidak mempunyai jaringan bioskop seperti halnya Subentra. Perusahaan yang didirikan 1985 ini mengkhususkan diri dalam bidang impor film. Menurut Haris Sasmono, Direktur Utama Camilla, pihaknya berjodoh dengan UIP semata-mata karena keaktifannya dalam asosiasi. Untuk memasarkan film-film itu nanti, Camilla tetap akan bekerja sama dengan grup Subentra. Artinya, ya, tetap saja di Grup 21. Lalu apa untungnya kerja sama ini? Bagi perusahaan dari AS itu, keuntungan yang mereka peroleh bisa lebih besar karena persentase berdasarkan bagi hasil. Pembagian ini terus mengikat selama pemutaran film-film mereka di sini menghasilkan keuntungan. Pembagiannya sama besar. Selama ini film-film AS dibeli secara paket. Menurut Benny Suherman, Presiden Direktur Subentra Group, mitra dari Amerika itu masih dibebani biaya yang dikeluarkan untuk iklan dan distribusi. Sedangkan bagi hasil baru dilakukan dari keuntungan bersih setelah dipotong seluruh biaya dan pajak. "Dengan sistem ini, bisa saja perusahaan dari AS itu yang malah rugi," ujar Benny. Misalnya, kalau film itu sepi penonton, sedangkan ongkos promosi sudah telanjur dikeluarkan. Tapi sebaliknya mereka bisa untung banyak kalau film itu meledak di pasaran. Dari kerja sama ini, ada soal lain yang tak kalah pentingnya. Yakni menyangkut peredaraan film nasional. Produser film Indonesia diberi peluang juga memanfaatkan jaringan distribusi WB di mancanegara. WB pun membuka pintu studionya di Hollywood bagi pekerja film nasional untuk memperdalam ilmu. Lebih dari itu, tak tertutup kemungkinannya WB menanamkan modalnya di sini, misalnya membiayai film nasional. "Ini langkah pertama menuju suatu hubungan kerja yang lebih mapan," ujar Edward Frumkes. Dengan serangkaian kerja sama ini, apakah "dendam" MPEAA akan surut? Memang belum jelas benar. Bagaimanapun juga, dalam langkah-langkah selanjutnya akan terbentur pada soal kuota impor, yang belum ada tanda-tanda akan ditinjau kembali bagaimana perusahaan film AS bisa leluasa melempar produknya ke sini, sementara ada pembatasan itu? Namun, urusan tersebut kemungkinan bisa diatasi "di dalam", mengingat mitra dagang AS di sini semuanya anggota asosiasi yang justru selama ini dituduh MPEAA melakukan monopoli. Yang jelas, kerja sama ini cukup melegakan pemerintah. Hal ini dikatakan Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnaen. Katanya, patungan model ini tidak melanggar peraturan yang ada. "Dari dulu juga, kalau mau, bisa dilakukan. Yang penting, do fair play," kata Alex Leo. Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus