SIAPA pun tentu masih ingat betapa Gubernur Bank Indonesia, Arifin Sircgar beberapa waktu lalu menantang siapa saja -- yang takut duitnya sebagian tak berharga lagi -- memborong dolar sekuatnya. Siapa yang takkan percaya janji tahun-tahun tanpa devaluasi disertai catatan meyakinkan: cadangan devisa lebih dari 11 trilyun rupiah di samping sandaran pinjaman siaga sekitar 3 trilyun lagi? Orang juga masih ingat Presiden Soeharto, ketika mengantarkan Nota Keuangan dan RAPBN 1986-87 di DPR, menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah mendevaluasikan rupiah. Waktu berlalu. Janji tentu berlaku dalam kondisi tertentu. Dan, pekan lalu, Menteri Keuangan Radius Prawiro tampil di televisi mengumumkan devaluasi 45% -- yang menyebabkan harga setiap dolar Amerika ditendang naik nilainya dari Rp 1.134 ke Rp 1.644. Saatnya ketika si Minas, minyak andalan Indonesia, harganya sudah bergerak naik dari US$ 9,83 di bulan Agustus ke tingkat US$ 12,20 di awal bulan ini. Devaluasi, demikian Menteri Radius, dilakukan guna menjaga agar neraca pembayaran 1986-87 tetap "Dalam keadaan yang cukup sehat untuk memelihara jalannya pembangunan." Dengan devaluasi, pendapatan devisa diharapkan akan bertambah, karena barang-barang ekspor nonmigas seperti mendapat sebuah mesin turbo dalam memotong daya saing barang lawan. Sementara itu, pemakaian devisa untuk pembelian barang dari luar negeri diduga akan menciut, jika harganya dalam satuan dolar baru melejit tinggi. Pada akhirnya, pot devisa diperkirakan tidak akan banyak terusik karenanya. Membayangkan pengaruh devaluasi terhadap neraca pembayaran mungkin tidak mudah bagi kebanyakan masyarakat, kecuali memperkirakan akibatnya dalam bentuk kenaikan harga sejumlah barang impor. Maklum, di dalam neraca pembayaran itu terdapat banyak komponen yang saling berkait. Di bagian pertama biasanya berisi catatan mengenai nilai ekspor dan impor sebuah negara -- baik berupa barang maupun jasa. Untuk ekspor dan Impor barang, karena ekspor minyak dan gas alam selalu baik, selalu menunjukkan angka surplus. Tapi untuk jasa-jasa, senantiasa minus mengingat pemerintah harus membayar bunga atas utang pokok cukup besar, lalu membayar biaya pengapalan LNG dan minyak, dan jumlah keuntungan PMA yang ditransfer ke luar negeri lebih banyak dibandingkan yang diinvestasikan kembali. Gabungan dari nilai barang dan jasa itu, yang lazim disebut transaksi berjalan (neraca barang dan jasa), sejak tahun anggaran 1981-82 selalu menunjukkan angka defisit. Tahun anggaran berjalan ini, kalau devaluasi tak dilakukan, defisit itu diduga akan membengkak jadi US$ 6 milyar lebih. Defisit sebesar itu dianggap cukup rawan mengingat, pada tahun anggaran berjalan ini, pemerintah diperkirakan hanya bisa menarik pemasukan modal hampir US$ 6,4 milyar -- gara-gara lawan pembiayaan dalam rupiah terbatas jumlahnya. Sedang investasi swasta dari luar negeri, karena iklim bisnis di sini belum menarik kembali, diperkirakan hanya meliputi US$ 229 juta. Sementara itu, pemerintah juga punya kewajiban mengangsur utang pokok yang berjumlah lebih dari US$ 2,123 milyar. Kalau transaksi berjalan tadi dijumlah dengan pemasukan modal pemerintah, investasi swasta, dan kewajiban pencicilan utang pokok, maka terdapat kekurangan sebesar US$ 1,5 milyar lebih. Bisa saja sebetulnya kekurangan itu ditambal dengan mengambil cadangan devisa yang ada. Tapi tindakan itu tidak diambil, rupanya, mengingat prospek harga minyak dan komoditi primer masih sulit ditebak perkembangannya di kuartal ketiga dan keempat tahun ini. Apalagi mengingat standby loan US$ 2,5 milyar sudah mulai digerogoti sebesar US$ 900 juta. Sementara itu, kebutuhan impor, di pihak lain, cenderung naik. Usaha membendung impor dengan bea masuk dan kuota dianggap pemerintah hanya akan mengundang tindakan pembalasan. Jadi, devaluasi dianggap sebagai tindakan tepat untuk membendung impor supaya kelak defisit transaksi berjalan bisa ditekan. Dan kalau usaha itu berhasil, tambahan devisa lumayan boleh diharapkan. Tapi tak satu pun pejabat pemerintah berani memberikan gambaran, apakah benar dari devaluasi kali ini akan ada tambahan devisa. Bahkan Menteri Pertambangan Subroto sendiri, yang awal pekan ini berbicara di DPR, hanya berani menyebut devaluasi itu diharapkan akan bisa menekan defisit transaksi berjalan ke angka US$ 350 juta. Toh, doktor ekonomi itu tetap beranggapan devaluasi perlu dilakukan guna menaikkan ketahanan ekonomi Indonesia untuk kepentingan jangka panjang. Sebab, sampai akhir dekade ini, harga minyak diduga oleh orang kuat OPEC itu hanya akan mengapung antara US$ 15 dan US$ 16. Jadi, daripada kecele, "Lebih baik kita bersiap diri menghadapi keadaan-keadaan yang terburuk," katanya. Apa lagi kalau bukan devaluasi. Saatnya dianggap Menteri Radius cukup tepat karena unsur spekulasi belum berkembang di masyarakat. Bila unsur itu sempat berkembang, orang diduga akan banyak melarikan uangnya ke luar negeri, dan investor ragu-ragu untuk membuka usahanya. Sekali ini, tidak seperti menjelang devaluasi Maret 1983, banyak orang seperti merasa kecolongan karena tak menduga devaluasi bakal secepat itu dilakukan. Direktur Jetro (Japan External Trade Organization) di Jakarta, Hiroshi Oshima, misalnya, menduga devaluasi baru akan dilakukan paling cepat akhir tahun ini dan selambat-lambatnya setelah 17 Agustus tahun depan. Tapi Menteri Radius mendadak sudah muncul di televisi. "Banyak PMA Jepang merasa kaget. Saya sendiri juga, sebab dari sejumlah indikator yang ada, ekonomi Indonesia sebenarnya kini tidak terlalu jelek," katanya. Indeks Harga Konsumen, sampai Agustus lalu, misalnya tercatat hanya 3,11%. Nilai rupiah relatif stabil karena didukung cadangan devisa cukup tebal. Pengeluaran pembangunan dan rutin lancar adanya, konon, berkat realisasi penerimaan pemerintah yang sudah mencapai Rp 4,5 trilyun untuk triwulan pertama tahun anggaran berjalan. Karena dibendung dengan bea masuk tinggi, dan penetapan kuota secara tak langsung, untuk 1986 ini (sampai Mei) impor pelbagai barang hanya tercatat US$ 2,5 milyar kecil dibandingkan 1985 yang US$ 7,4 milyar. Sementara ekspor, sampai Juni, sudah tercatat US$ 9,46 milyar. Satu-satunya indikator yang tampak jelek mungkin hanya pada persediaan barang setengah jadi dan bahan mentah yang tidak banyak ditimbun para pabrikan. Persediaan yang mereka miliki umumnya berada di bawah tiga bulan (untuk industri manufaktur). Pengetatan persediaan itu harus mereka lakukan karena biaya uang di tengah kelesuan daya beli seperti sekarang terasa mahal sekali. Karena alasan itu, Nyoman Moena, Direktur Utama Overseas Express Bank, menilai waktu untuk mendevaluasikan rupiah "Tidak mendukung situasi." Alasannya jelas. Barang yang kini diJual harganya melambung tinggi. Penyebabnya sebagian bahan untuk membuat barang itu sedikit atau hampir seluruhnya menggunakan bahan yang masih diimpor dan dibayar dengan dolar. Padahal daya beli sedang terinjak resesi. "Jurang antara pembeli dan penjual makin bertambah lebar. Akibatnya, barang akan banyak menumpuk di gudang, dan utang kepada bank boleh jadi tak akan terbayar," tambah Moena, yang kali ini tak memberi ramalan tentang devaluasi. Usaha mendorong ekspor dengan devaluasi sekali ini juga banyak diragukan hasilnya. Pande Radja Silalahi, ekonom dari CSIS dan Dekan Fak. Ekonomi Univ. Parahyangan, misalnya, tak yakin ekspor industri manufaktur akan naik. Karena pemakaian bahan impor yang harus dibayar dengan dolar untuk menghasilkan barang itu masih tinggi. "Tanpa terobosan baru, seperti memberikan iklim yang menunjang industri lokal, bagi saya devaluasi kok kelihatannya kelabu untuk bisa menaikkan ekspor," katanya. Yang diragukan bisa memetik manfaat devaluasi adalah ekspor tekstil, yang banyak menggunakan kapas impor, dan ekspor pakaian jadi yang juga banyak menggunakan tekstil impor. Naiknya kurs dolar, yang menyebabkan harga bahan baku naik, jelas membuat harga pokok produk akhir mereka jadi kian terasa tinggi. Supaya bisa bersaing, menurut Mintardjo Halim, Direktur Utama Sandratex, ada kemungkinan harga tekstil ekspor dari sini akan turun. "Kapan dan berapa persen turunnya, kami masih menghitung," katanya. Tapi penurunan itu tampaknya tak perlu dilakukan, karena harga kapas eks Amerika yang banyak dipakai produsen Indonesia, sejak Agustus, sudah ditawarkan dengan harga US$ 0,43 -- sebulan sebelumnya masih dijajakan dengan US$ 0,69 per pound. Serat polyester juga ditawarkan dengan harga bantingan. Kalau kecenderungan penurunan harga itu terus berlanjut, maka pengusaha pakaian jadi otomatis kelak juga bisa membeli tekstil impor dengan harga miring. Yang jadi pertanyaan, apakah produsen tekstil lokal bisa memanfaatkan iklim baik itu untuk menghasilkan bahan baku pakaian jadi lebih murah lagi. Kalau upaya itu bisa mereka lakukan, maka ikhtiar pemerintah menggerakkan kembali industri lokal dengan devaluasi mungkin akan berhasil. "Namun, jika mereka mau menaikkan harga wajar-wajar saja," kata Suwoto Sukendar, Direktur Likespring, perusahaan pakaian jadi. Di sektor industri kayu lapis teka-teki semacam itu tidak terdengar. Karena hampir seluruh bahan baku dan penolong berasal hutan dan pabrik lokal, ekspor industri manufaktur yang satu ini tampaknya paling terdorong dengan devaluasi. Rezeki nomplok yang akan mereka terima bukan 45% seperti persentase kenaikan dolar, melainkan sekitar 15% sampai 20%. Sebab, mereka masih harus membayar bea pengapalan dana jaminan reboisasi, dan royalti dengan dolar. Tapi harus diakui, "Devaluasi bisa menambah daya saing kami di pasar internasional," kata H. Sudradjat, Direktur Djajanti Timber. Sesudah devaluasi ada kemungkinan realisasi ekspor kayu lapis, blokboard dan veneer, untuk tahun ini akan berada di atas angka US$ 1 milyar. Maklum, tanpa devaluasi saja, tahun lalu mereka bisa mengumpulkan devisa US$ 809 juta, atau hampir US$ 150 juta di atas tahun sebelumnya. Jika sasaran itu bisa dijangkau, bank yang banyak mempunyai piutang ragu-ragu pada banyak perusahaan ini bakal gembira, karena pengembalian kredit mereka lancar lagi. Tapi devaluasi tampaknya tidak akan terlalu spektakuler menaikkan ekspor komoditi primer semacam teh, lada, maupun minyak kelapa sawit, yang harganya sedang lembek. Memang devaluasi itu akan menyebabkan harga karet yang diterima eksportir jadi Rp 1.300, naik dari sebelumnya yang hanya Rp 880 per kg. Kenaikan lumayan tentu. Sebab, sebelumnya, eksportir menjual karet pada umumnya dengan merugi Rp 30 sampai Rp 80 per kg. Sayang, iklim baik itu tidak sempat dinikmati kebanyakan perusahaan karet karena banyak di antara mereka keburu bangkrut gara-gara harganya sempat jatuh dari tingkat Rp 1.000 di awal 1984 jadi tinggal Rp 700-an di tahun berikutnya. Bertolak dari kenyataan itu Harry Tanugraha, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia, menduga ekspor karet tidak akan mencapai angka 950 ribu ton (seperti tahun lalu), jika tak ditolong devaluasi. Kini dia percaya angka ekspor bakal mencapai satu juta ton. "Tapi belum berarti penerimaan devisa naik, karena harganya sekarang 'kan tidak seperti dulu," katanya. Bagaimana kopi? Harganya kini turun jadi US$ 3,10 setelah dua bulan sebelumnya tercatat US$ 3,40 per kg. Tapi harga itu diduga akan naik kembali sesudah sistem kuota dihapus sejak Juni lalu gara-gara penawaran kopi berkurang akibat kemarau panjang melanda produsen kopi semacam Brasil. "Tapi kami belum tahu apakah devaluasi akan mempengaruhi harga kopi di pasar internasional," kata Dharyono Kertosastro, Ketua Asosiasi Eksportir Kopi. Di tingkat petani, sementara itu, devaluasi sudah terasa pengaruhnya. Di Lampung para petani baru mau melepas kopinya ke tengkulak hanya jika dibayar Rp 3.600, atau naik Rp 800 per kg dibandingkan sebelumnya. Kendati di tingkat petani kopi sudah naik hampir 30%, tengkulak saja masih menubruknya. Yang pusing, tentu, eksportir yang membeli kopi dari tengkulak. "Bagaimana sekarang kami mau membeli kalau harganya di tingkat produsen sudah mendekati harga internasional?" keluh Kris Heriyanto dari PT Lakop di Lampung. Kalau gejala di tingkat produsen kopi juga terjadi di kelapa sawit, karet, dan lada maka devaluasi niscaya akan memberikan efek cukup baik bagi petani. Dengan bertambahnya rupiah yang berada di tangan mereka, daya beli mereka mungkin akan membaik kembali. Tapi efek seperti itu belum tentu bisa dirasakan pemerintah bila nanti penerimaan pajak dan devisa dari minyak dan gas alam cair naik, karena harganya membaik. Memang harga Minas kini sudah mulai merayap ke angka US$ 12,20. Dan karena harga LNG dikaitkan dengan minyak, ada dugaan harganya bakal terkerek. Situasi diharapkan akan bisa memperlancar perundingan mengenai harga LNG dengan Jepang yang kelihatan seret. Di saat antara penjual dan pembeli kini belum tercapai kesepakatan mengenai rumusan harga baru, maka LNG di.etapkan menurut perhitungan sementara dengan harga minyak diasumsikan lebih tinggi daripada harga pasar. Untuk Agustus harga minyak, misalnya, disebut US$ 16,5 per barel. Sesudah dihitung, maka harga LNG akan ketemu sekitar US$ 144 per metrik ton. Jika kenyataannya harga minyak resmi lebih rendah dari asumsi itu, maka pihak penjual harus mengembalikan kelebihan harga LNG itu. Yang sudah terjadi, sejak Januari hingga Juli lalu, harga LNG itu cenderung melorot mengikuti jatuhnya harga minyak. Januari itu harganya masih US$ 261,98, lalu naik US$ 265, dan akhirnya di bulan Juli tinggal US$ 198,77 per ton persis di saat harga minyak mau menembus batas US$ 10. Bagi Jepang sendiri, karena yen menguat, efek penurunan harga dalam mata uang mereka terasa sekali besar pengaruhnya dalam menaikkan konsumsi LNG. Sialnya, turunnya harga LNG itu tidak bisa dikompensasikan dengan menaikkan volume penjualannya, kecuali bila calon pembeli baru seperti Korea Selatan setuju dengan rumusan harga Pertamina untuk membeli gas alam dua juta ton setahunnya. Karena harga miyak, seperti disebut Menteri Subroto, tidak akan membaik terlalu tinggi, pendapatan devisa dari minyak dan gas alam mungkin tidak akan mencapai angka seperti tahun anggaran lalu yang US$ 12,5 milyar itu. Dengan tingkat harga minyak yang diduga hanya akan US$ 12-US$ 13 per barel, Menteri Subroto menaksir ekspor migas untuk tahun anggaran berjalan hanya mencapai US$ 6,6 milyar. Kalau realisasi ekspor nonmigas diasumsikan lebih tinggi sedikit dari angka itu, maka kelihatan jelas bahwa usaha pemerintah mengendalikan defisit transaksi berjalan lebih banyak bertumpu pada ikhtiar membendung impor. Seorang ekonom menduga, pengaruh penekanan impor barang itu akan jelek sekali akibatnya pada kebanyakan industri modern, yang tahun lalu sudah memecati puluhan ribu buruh gara-gara harga bahan impor makin mahal -- terutama karena kenaikan yen. Seandainya pemerintah mau mengurangi impor barang-barang modalnya, seperti untuk Proyek Pusat Aromatik di Plaju, Proyek Metanol, dan IPTN, ekonom itu menduga pengaruh devaluasi terhadap industri substitusi impor bisa ditekan akibat jeleknya. "Tapi untuk mengurangi impor sektor pemerintah, apakah devaluasi yang besar itu yang diperlukan?" tanya ekonom bekas menteri di masa Orde Baru itu. "Yang lebih diperlukan adalah kemauan politik," katanya menJawab retoriknya. Bicara soal kemauan politik, orang bisa memperdebatkan langkah devaluasi itu sampai sehari dan semalam suntuk. Kebanyakan ekonom lebih setuju, jika untuk menggerakkan ekonomi secara menyeluruh, pemerintah mencabuti lebih dulu faktor birokrasi dan administrasi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Karena itu, ekonom seperti Pande Radja Silalahi lebih setuju kalau pemerintah mendahulukan membenahi struktur ekonomi, supaya pengusaha bisa bekerja lebih efisien. "Kalau struktur tanahnya jelek, bunga apa pun yang disiram air, pertumbuhannya niscaya bakal lambat," katanya. Tapi bagaimana pengaruh devaluasi itu terhadap APBN? Menurut perhitungan Hamzah Haz, Wakil Ketua Komisi APBN, devaluasi hanya akan memberikan efek pada realisasi pajak migas bisa mencapai angka Rp 7 trilyun saja. Jika sasarannya ditetapkan Rp 9,7 trilyun, untuk tahun anggaran berjalan ini, berarti pemerintah masih harus mencari tombokan Rp 2,7 trilyun lagi. "Jika minyak merosot lagi sampai US$ 10, maka makin bertambah besar kekurangan yang harus dicari itu," katanya. Tepat tidaknya perhitungan itu, tentu, masih bisa diperdebatkan -- karena siapa, sih, orang yang bisa menebak harga minyak dan volume penjualannya kelak di masa licin seperti sekarang. Sejumlah kalangan, sementara itu, percaya dengan devaluasi sasaran pajak migas sebesar itu gampang dijangkau, mengingat untuk kuartal pertama tahun anggaran berjalan pemerintah sudah bisa mengumpulkan Rp 2 trilyun lebih. Yang memberatkan, untuk memperolch tambahan rupiah dari pajak migas itu, pemerintah harus menyisihkan lebih banyak rupiah untuk mengangsur utang pokok. Bila semua utang pokok sebelumnya dianggarkan Rp 4,2 trilyun, menurut perhitungan Hamzah Haz, setelah devaluasi cicilan atas utang pokok itu akan menggelembung jadi Rp 6,2 trilyun. "Jika sasaran devahlasi tak tercapai, tindakan itu berarti hanya akan menambah beban utang berjalan kita yang semula Rp 30 trilyun jadi Rp 45 trilyun," katanya. Soalnya tentu jadi akan makin serius kalau komoditi yang diandalkan bisa memperoleh rezeki nomplok, dan yang diharapkan mampu mengalirkan rupiah ke para petani karet, kopi, maupun teh itu gagal menembus pasar ekspor. "Harga-harga pasti naik, dan daya beli jadi semakin berkurang," kata Hamzah Haz. "Bagi yang berpenghasilan tetap, kenaikan harga akibat devaluasi paling menyakitkan." Para pengusaha yang punya utang valuta asing jelas juga ikut tertonjok. Bayangkan kalau sebelumnya mereka hanya perlu menyisihkan Rp 1.134 untuk setiap dolar Amerika, sekarang harus mengumpulkan sebesar Rp 1.644. Untuk mengurangi risiko rugi akibat perubahan kurs itu Bank Indonesia sebenarnya sudah menyediakan fasilitas suap. Dengan fasilitas ini, sebuah perusahaan terbuka untuk membeli valuta asing (biasanya dolar) untuk jangka tiga bulan atau enam bulan (forward contract), setinggi harga saat kontrak dibuat dengan membayar asuransi untuk membayar utang valuta asingnya. Tapi, karena devisa pemerintah terbatas, tidak semua utang itu bisa di-swap-kan. Akibatnya, perusahaan Jepang yang biasa beroperasi dengan tingkat utang tinggi, paling telak terpukul dengan kebijaksanaan devaluasi itu. Empat kali sejak PMA diperbolehkan masuk di masa Orde Baru, mereka tertohok perubahan kurs. "Sekarang banyak PMA Jepang yang segan menanamkan modal di Indonesia," kata Direktur Jetro Hiroshi Oshima. "Karena, sekalipun pemerintah bilang tidak ada devaluasi, toh terjadi lagi." Krisis kepercayaan? Paling tidak terhadap pernyataan-pernyataan pejabat yang berkenaan dengan urusan sekitar "Rupiah". Direktur Utama Bank Perkembangan Asia Priasmoro Prawiroardjo terus terang mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu gampang mengutak-atik rupiah. "Kalau terlalu sering, kepercayaan terhadap rupiah akan berkurang," katanya. Bukan itu saja. Kalau sejumlah menteri, si anu dan si anu, sudah bilang tidak akan ada devaluasi, tapi Menteri Keuangan tetap muncul dengan keputusan mengagetkan, mana yang bisa dipegang? Kepastian sikap dibutuhkan untuk memberi rasa aman semua pihak. Eddy Herwanto, Laporan Biro Jakarta & Tokyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini