SEBUNGKUS puyer "tujuh keliling" langsung ditenggak Nyonya Fatimah, Jumat malam lalu, setelah Menteri Keuangan Radius Prawiro selesai mengumumkan devaluasi 45%. Kepalanya mendadak pening, karena uang yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit dalam Tabanas dan deposito untuk membangun rumah seperti tercuri para pengusaha bahan bangunan yang menaikkan harga semacam kunci, semen, dan perlengkapan sanitair. Gara-gara devaluasi Maret 1983 dan September lalu itu, daya beli uang Nyonya Fatimah memang banyak berkurang. Bagi para pemilik Tabanas dan deposito rupiah, devaluasi memang bisa dianggap hantu bertangan panjang. Padahal, jutaan orang tertarik menabung rupiah mereka dalam Tabanas dan deposito karena pemerintah menjanjikan insentif bunga memikat pada pemilik uang itu. Lebih dari separuh 862 responden TEMPO dalam poll 17 Agustus lalu bahkan menyimpan dalam deposito dan Tabanas. Apalagi pemerintah sudah menjamin tidak akan ada devaluasi rupiah lagi mengingat cadangan devisa dalam pot cukup tebal. Kepercayaan dan harapan dari pemilik uang itu bisa dilihat dari kenaikan mengesankan jumlah Tabanas dan deposito hampir setahun terakhir ini. Pada bulan Desember lalu, jumlah deposito rupiah baru Rp 8.888 milyar, tapi minggu keempat Juni barusan sudah menggelembung jadi Rp 9.880 milyar -- setelah sempat berkurang dari Rp 9.184 milyar (Februari) jadi Rp 9.089 milyar (Maret) gara-gara terkena isu devaluasi. Pada periode yang sama, jumlah Tabanas dan Taska menggelembung dari Rp 936 milyar ke angka Rp 1.106 milyar. Pesertanya, pada periode itu, bertambah dengan empat juta orang lebih dari pada umumnya golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan tetap. Kemampuan dan pengetahuan mereka untuk melindungi tabungan itu dari gejolak harga akibat perubahan kurs rupiah, pada umumnya, masih sederhana. Kalau ada isu devaluasi, yang paling banyak mereka tubruk biasanya dolar. Sesudah itu mungkin emas, tanah, atau barang berharga yang diduga akan naik nilainya. Sertifikat saham atau surat saham, yang tidak memberikan keuntungan d masa resesi ini, jelas mereka jauhi. Tapi bagi pengusaha rekaman, yang namanya ingin disebut saja sebagai Sumaryoko, usaha melindungi rupiah dari gejolak kurs itu sudah dilakukan dengan sebuah keterampilan tinggi. Uang, bagi pengusaha muda ini, sudah diperlakukan sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan -- tidak lagi dibiarkan tidur dalam bentuk Tabanas, Taska maupun deposito. Uangnya senilai Rp ioo juta, misalnya, sudah sejak akhir tahun lalu ditempatkan dalam dana deutsche mark Jerman, yang sewaktu-waktu bisa dijual ke dolar Amerika. Sumaryoko bisa memperoleh banyak keuntungan karena, sejak September 1985, dolar Amerika terus bergerak turun nilainya melawan mata uang Jerman Barat dan Jepang. Untuk mengikuti perubahan kurs dari hari ke hari itu, bagian pasar uang Bank of America di Jakarta setiap saat selalu memberikan laporan perkembangan harga setiap mata uang itu melawan dolar. Jika suatu kali Sumaryoko menganggap dolar sudah demikian jatuh, dia tinggal memerintahkan bank asing itu mengkonversikan DM-nya tadi, hingga memungkinkannya bisa memperoleh dolar dalam jumlah lebih besar. Kalau sesudah devaluasi ini dolarnya kemudian dirupiahkan, coba berapa banyak keuntungan yang bisa diperoleh? Tapi pemilik uang, yang punya keterampilan seperti itu, tidak banyak Mereka yang punya keyakinan lebih baik menyimpan dolar dalam deposito juga terbatas orangnya. Lebih-lebih karena imbalan bunganya kecil -- sekalipun inflasi dolar relatif rendah dibandingkan rupiah. Toh, bagi kalangan yang tak ingin terlalu pusing mengikuti perkembangan harga uang di pasar internasional, depoito dolar di bank lokal tetap menarik sebagai salah satu alat untuk melindungi kekayaan mereka. Tapi, bagi mereka yang ingin selamat dari perubahan kurs dengan risiko kecil, bisa bersusah payah sedikit dengan memanfaatkan jasa lembaga keuangan di luar negeri. Melalui cabang bank asing Singapura dan Hong Kong di Jakarta, seseorang bisa menempatkan deposito dalam mata uang negara setempat. Dan, supaya tidak rugi, pemilik uang harus selalu mengawasi perubahan kurs mata uang kedua negara itu terhadap dolar. Bukan tak mungkin orang bakal buntung, hanya karena dolar Hong Kong jatuh nilalnya melawan dolar Amerika -- misalnya, ketika koloni Inggris itu diisukan akan dikomuniskan setelah diambil alih RRC nanti. Sebab, penurunan nilai itu akan menyebabkan imbalan bunga yang diterima pemilik uang bakal disapu habis. Sementara itu, pemilik uang tidak usah terlalu pusing memikirkan perubahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika, yang sepanjang sejarahnya tidak pernah menguat melawan mata uang kertas hijau itu. Tapi di saat Amerika sekarang sedang risau menghadapi defisit perdagangannya dengan Jepang, menyimpan deposito dalam yen memang lebih menguntungkan -- meskipun bunganya hanya 2,13% untuk jangka tiga bulan. Soalnya, sejak Tokyo ditekan Washington mulai September 1985 lalu, yen sudah menguat 35% lebih terhadap dolar Amerika. Dari situ pemilik deposito sudah memperoleh keuntungan dari nilai tukar lumayan besar. Yang juga memberikan keuntungan dari perubahan kurs lumayan untuk deposito satu bulan adalah DM yang sejak Juli lalu, nilainya menguat hampir 6%. Simpanan terendah untuk setiap mata uang itu berbeda-beda: bergantung pada penyelenggara deposito -- juga pungutan uang administrasi dan jasa pemeliharaan simpanan itu. Hongkong Bank perwakilan Jakarta, misalnya, menetapkan simpanan untuk deposito dalam dolar Amerika minimal US$ 25 ribu, dan pemilik uang akan dikenai biaya Rp 15 ribu untuk transfer uang dari Jakarta ke Singapura. Dan jika uang kelak ditarik kembali, pemilik yang dikenai 0,125% lagi. Agak rumit, memang. Kalau pemilik uang masih merasa ragu-ragu menyimpan dolar Amerika, pihak bank biasanya juga membuka kesempatan deposito yang dikaitkan dalam beberapa mata uang. Besar kecilnya bunga itu dipengaruhi tmgkat bunga mata uang yang dimasukkan oleh penyelenggara. Untuk mata uang Eropa, yang besar mempengaruhi bobot bunganya adalah tingkat bunga pound sterling Inggris dan DM. Jika pemilik uang merasa berat harus mengawasi pergerakan kurs itu mereka bisa bergabung ramai-ramai, dan mengangkat dan mengupah seorang manajer yang bertugas memberi laporan. Bila tidak ingin terlalu repot berhubungan dengan bank asing penyelenggaranya, maka tindakan terbaik menyelamatkan rupiah yah, apa lagi kalau tidak mendepositokannya di bank lokal. Bunganya -- untuk sementara -- tidak kena pajak, memasukkannya pun hanya perlu fotokopi kartu tanda penduduk dan tidak perlu berlangganan telerate Reuter untuk mengikuti perubahan kurs yang bikin pusing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini