SEJAK Indonesia merdeka, sedikitnya sudah tujuh kali isi kantung bangsa terasa mengkeret. Pertama kali terjadi Maret 1950, ketika semua uang kertas dipotong dua: separuh ditukar dengan obligasi pemerintah. Terjadi lagi pada Agustus 1959. Banjir uang, gara-gara uang kertas dicetak tak kira-kira, tak seimbang dengan devisa emas di brankas pemerintah. Untuk membendungnya, pemerintah meminta 90% uang masyarakat untuk tumbal, sehingga uang kertas Rp 1.000 nilainya tinggal Rp 100 dan Rp 500 tinggal Rp 50. Hal serupa dilakukan lagi Januari 1966, dua bulan sebelum pemerintah Orde Lama tumbang, dengan cara lebih "kejam": nilai uang di kantung masyarakat dianggap tinggal seperseribu. Pemerintah Orde Baru, yang aktif dalam perdagangan luar negeri, membuat devisa dalam bentuk emas dan valuta asing semakin berperan menentukan nilai tukar rupiah. Tapi kuatnya cadangan devisa, tampaknya, tak blsa ladi Jamman mata uang ruplah akan terus-menerus sama kuatnya dengan perkembangan nilai valuta asing. Pertumbuhan ekonomi di tiap-tiap negara 'kan tidak selalu sama? Rupiah belum bisa diambangkan secara murni terhadap dolar. Buktinya, nilai rupiah terhadap dolar beberapa kali harus disesuaikan. Pertama kali terjadi, Agustus 1971, rupiah didevaluasikan 10% menjadi 420 per dolar. Setelah itu dengan sangat mengejutkan, November 1978, nilai rupiah diperlemah 50% dari Rp 415 menjadi Rp 625 per dolar. Lima tahun kemudian, kurs rupiah terus "diambangkan secara terkendali" hingga mencapai Rp 702 sampai disentakkan lagi dengan devaluasi per 30 Maret 1983: setiap satu dolar dihargai Rp 970. Sementara orang terlena dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan berenteng yang hangat, pekan lalu rupiah di kantung tiba-tiba terogoh 45%, karena dolar yang diam-diam sudah seharga Rp 1.134 tiba-tiba saja dihargai lebih mahal lagi: Rp 1.644. Tapi siapa lagi yang menghargai rupiah kalau bukan kita sendiri -- bukan begitu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini