Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gejala plaza

Perkembangan pertokoan di kota-kota besar di Indonesia cenderung membuat suatu kompleks yang berdampingan dengan perkantoran, hotel, dst. Misalnya Delta Plaza di Surabaya.(eb)

2 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pemilik modal seperti hendak menggiring sejumlah kota besar di Indonesia menjadi Singapura. Sebuah pusat pertokoan didirikan berdampingan dengan gedung perkantoran, hotel, apartemen, dan pelbagai sarana rekreasi, sekaligus di satu tempat. Surabaya Delta Plaza (SDP), yang kini tengah dibangun di sisi Jalan Pemuda Surabaya, misalnya, bahkan akan dilengkapi dengan pusat perdagangan mobil dan motor. Di situ nanti akan menjulang pula sebuah hotel berlantai 29, yang bersebelahan dengan gedung perkantoran berlantai 19. Apartemen dan rumah susun 12 lantai dibangun untuk melengkapi sarana itu, juga kolam renang dan lapangan tenis. Maret tahun depan, pengelola SDP berharap bisa merampungkan pembangunan pusat pertokoannya yang berlantai enam. Sekitar Rp 100 milyar, yang 25% di antaranya merupakan dana penanam modal sendiri, dibenamkan untuk menghasilkan kompleks impian itu. Kapling pertokoannya, sejak pertengahan Februari lalu, sudah dijajakan dengan harga Rp 4 juta sampai Rp 5 juta per m2. Kendati mahal, 20% dari 500 ruangan di pertokoan itu kabarnya sudah ditutup para peminat. Hebat. Mereka tampaknya jenis pengusaha yang mampu membayar sewa US$ 17 setiap bulan untuk bisa memperoleh setiap m2 ruang pertokoan di Ratu Plaza Jakarta. Sedangkan ruang perkantoran di situ, yang sewanya setiap bulan US$ 20 per m2, 30 lantainya terisi penuh. Pengelola boleh besar hati. "Gedung ini diresmikan pada 1980 dengan investasi Rp 30 milyar. Dan kalau keadaan begini terus, dalam jangka pendek modal bisa kembali," ujar Ibrahim Alsegaf, direktur Ratu Sayang International. Sukses Ratu Plaza itu membenarkan anggapan bahwa mendirikan perkantoran, pertokoan, dan apartemen sekaligus di satu tempat merupakan salah satu cara investasi cukup menguntungkan. Apalagi iklim lingkungan usaha cukup mendukung: sektor perdagangan besar dan eceran, pada 1979-1983, pukul rata tumbuh sekita- 8% setahun. Jadi, cukup beralasan bila Gajah Mada Plaza di Jalan Gajah Mada, Jakarta, juga dibangun. Kompleks pertokoan dan perkantoran milik Hendra Rahardja dari Grup Harapan, yang sempat terbakar sebelum jadi itu, rupanya masuk pada saat yang kurang tepat. Ruang perkantorannya (27 lantai) di Gajah Mada Tower baru terisi 30%, kendati tarif sewanya sudah dibanting jadi USS 15-US$ 20, turun jauh dibandingkan tawaran 1983 yang sekitar US$ 35. Tapi ruang pertokoan di Gajah Mada Plaza, yang dijajakan US$ 25 sampai US$ 35, sudah terisi hampir 100%. Supaya persaingan dalam satu plaza berjalan sehat, pihak pengelola berusaha membatasi jumlah pedagang untuk suatu jenis usaha. Di situ usaha salon, misalnya, dibatasi enam buah. Juga restoran. Tapi calon penyewa yang bergerak di bidang elektronik, pakaian jadi, kosmetik dan perhiasan masih bisa masuk. "Sebab untuk barang-barang jenis terakhir ini, banyak ditentukan oleh selera pembeli," ujar Henry Atmadjaja, manajer pemasaran Grup Harapan. Sayang, sukses pemasaran di ruang pertokoan itu belum bisa menutup ongkos operasi untuk Gajah Mada Tower, hingga pengelolanya sampai kini masih mengeluh rugi. Risiko semacam ltu juga sudah dibayangkan para penanam modal asing dan nasional yang kini tengah menegakkan The Jakarta Landmark di sisi jembatan Dukuh Atas, Jakarta. Di situ nanti akan menjulang sebuah hotel bimtang lima berlantai 20, yang puncaknya ditutup kaca tembus cahaya matahari, hingga menerangi lobby dan koridor. Pusat perkantorannya berlantai 30, dan dilengkapi dengan apartemen 200 unit. Tapi pembangunan Landmark, yang menelan US$ 142 juta ini, tak dilengkapi pertokoan. Di tengah kelebihan suplai ruang perkantoran, anehnya, ruang perkantoran di Landmark sudah banyak diminati. Hendrik Chandra, koordinator proyek di situ, menyebut Citibank salah satunya. Toh, dia tak berani berharap, sesudah dibuka Agustus nanti, dagangannya bakal laku keras. Ibarat toko, "Meskipun banyak orang yang masuk, belum tentu semuanya mau beli barang," katanya bertamsil. BOLEH jadi pusat perkantoran Landmark, yang disewakan US$ 22 per m2, bakal lebih menarik dibandingkan dengan perkantoran lain di sepanjang Jenderal Sudirman, karena berada satu lokasi dengan hotel, apartemen, dan sarana rekreasi. Dalam beberapa hal, kombinasi perkantoran dengan rumah tinggal, atau toko dengan rumah tinggal, memang banyak diminati mereka yang mengejar efisiensi - sekalipun mungkin tak memperoleh kenyamanan. Karena itu, ruang toko yang dilengkapi dengan ruang kantor sekaligus tempat tinggal di Medan Plaza, Medan, cukup banyak dibeli orang. Padahal, harganya Rp 40 juta. Dari 200 ruangan toko di situ, yang dibangun dengan biaya Rp 2 milyar, sudah 70% dipesan dan ditempatl pengusaha. Kata Jafril Jamin, manajer Medan Plaza, pembangunan kelompok gedung di satu wilayah merupakan salah satu cara bisnis yang terbukti ampuh di Singapura dan Hong Kong. "Tujuannya tak lain menghlmpun konsumen ke satu tempat secara lebih mudah," katanya. Sejumlah plaza serupa itu kini sedang giat - giatnya dibangun di Medan. Betapapun terasa benar pembangunan kompleks semacam itu merupakan usaha mengulang sukses Singapura, sambutan tetap hangat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus