Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memakan kapal sendiri

Pelni masih terus merugi. Perhitungan pengusutan kapal diperlonggar untuk memperlancar keuangan. Masih ada persaingan tidak sehat. (eb)

2 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELNI masih akan merugi. Tahun buku 1985 ini, kerugian penyelenggara jasa angkutan laut itu dianggarkan bakal mencapai Rp 9.552 juta, atau naik 96% bila dibandingkan tahun lalu. Kerugian terbesar tahun ini, sekitar Rp 5.485 juta di antaranya merupakan sumbangan kapal penumpang baru, KM Umsini dan KM Rinjani. Kenyataan suram itu rupanya bisa dimaklumi Komisi V DPR, yang pekan lalu menyelenggarakan dengar pendapat dengan direksi Pelni. Menurut Sudharno Mustafa, direktur utama Pelni, perseroan milik pemerintah itu sesungguhnya hanya mengalami kerugian dalam perhitungan akuntansi. Sebab, katanya, pada kenyataannya perseroan itu malah bisa memetik laba cukup lumayan: Rp. 1.686 juta untuk tahun 1984. Kemungkinan memperoleh laba memang mulai terbuka, "Sesudah penyusutan kapal, yang seharusnya disisihkan, boleh digunakan untuk modal kerja," katanya. Pemegang saham, dalam hal ini Departemen Perhubungan, "terpaksa" merestuinya, mengingat pemerintah sendiri tidak mampu memberi dana untuk modal kerja - dalam bentuk penyertaan modal sekalipun. Bahkan untuk melonggarkan keuangan perusahaan itu, pemerintah menyetujui pula perhitungan penyusutan diperpanjang dari 20 tahun jadi 25 tahun, selaras dengan kelaziman di luar negeri. Serangkaian kelonggaran itu tentu saja tidakakan menyebabkan Pelni bisa membeli kapal sendiri. Empat kapal barunya: KM Kerinci, Kambuna, Rinjani, dan Umsini, hakikatnya merupakan penyertaan modal pemerintah. Keadaan Pelni sendiri, ketika diserah terimakan dari Husseyn Umar kepada Sudharno Mustafa, sangat menyedihkan. Pada bulan Februari 1983 itu, uang kas perusahaan berasal dari klaim Tampomas II yang tenggelam itu - hanya Rp 888 juta. Utangnya pada akhir 1982 tercatat Rp 20 milyar, dan piutangnya berjumlah Rp 5 milyar. Kapalnya ketika itu berjumlah 54 buah, dan sudah tua-tua. Entah karena alasan apa, untuk mengelola kapal sejumlah itu, Pelni sampai mempekerjakan 7.471 pegawai yang, 2.778 di antaranya, bertebaran di 109 kantor cabangnya. Konsolidasi organisasi dan rasionalisasi pegawai terpaksa dilakukan. Jumlah cabang diringkas jadi 89, lalu 3.772 pegawai dirasionalsiasikan - sebagian besar kena pemutusan hubungan kerja sama sekali. Dengan serangkaian tindakan itu, direksi baru bisa menaikkan gaji terendah karyawan dari 48 ribu jadi Rp 105 ribu sebulan. Dengan tambahan premi muatan 4% dan premi penumpang 4% dari penghasilan, kini seorang nakoda kapal paling rendah bisa membawa pulang Rp 887 ribu setiap bulan. Jika nasib sedang baik, dia bisa mengantungi sekitar Rp 1,5 juta. TAPI faktor di luar perusahaan sangat besar mempengaruhi kelangsungan usaha. Kendati pemerintah menetapkan Pelni adalah perseroan, dalam prakteknya perusahaan ini ternyata lebih tampil sebagai perusahaan jawatan, yang mengutamakan kepentingan pelayanan umum tanpa mengejar laba. Contohnya, harga karcis kapal dibikin sesuai dengan kantung sebagian besar rakyat. Yang seperti itu tidak terjadi pada perusahaan penerbangan Garuda semasa dipimpin direktur utama Wiweko Soepono. Tambahan lagi, persaingan tidak sehat di laut cukup membuat Pelni jadi keteter Banting-bantingan harga dalam mencari muatan tidak menolong perusahaan ini dalam mengatasi kelebihan suplai ruangan kapal. Di tengah situasi runyam itu, 17 kapal dari pelbagai perusahaan belum lama ini diizinkan beroperasl, hingga menyebabkan kelebihan suplai ruangan makin menjadi-jadi - kendati sejumlah kapal tua sebelumnya sudah dibesituakan. Karenanya, tak heran, "Sementara masyarakat merasakan ongkos tambang tinggi, bagi Pelni hasilnya terlalu rendah," kata Sudharno. Dan, untuk menghadapi tantangan itu, direksi Pelni tak bisa berteriak minta proteksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus