Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sayonara Pepsi Membawa Lisensi

Indofood tidak lagi memproduksi dan memasarkan Pepsi di Indonesia. Pelaku usaha yakin Pepsi segera kembali.

12 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Minuman soda Pepsi di salah satu gerai makanan di Jakarta, 11 Oktober 2019./ Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indofood dan PepsiCo sudah seperti saudara. Persekutuan mereka merentang sepanjang dua puluh sembilan tahun. Maka, ketika tersiar kabar minuman kola merek Pepsi akan hengkang dari Indonesia, menyeruak pula desas-desus terjadi perpecahan di antara keduanya.

Namun Direktur Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) Franciscus Welirang buru-buru membantah bisik-bisik itu. Menurut Welirang, yang hengkang cuma Pepsi kola. Tidak ada hubungannya dengan makanan ringan merek dagang Pepsi, yang juga diproduksi melalui perusahaan patungan dengan Indofood. “Tidak ada dampak pada bagian makanan ringan,” kata Weli-rang, Rabu, 9 Oktober lalu.

Pepsi tiba-tiba langka di pasar sejak akhir September lalu. Tempo mendatangi tiga gerai retail modern di kawasan Jakarta Barat, Sabtu, 28 September lalu. Semua kompak tidak menjual Pepsi. Di salah satu gerai, petugas jaga mengatakan tidak menjajakan Pepsi tiga bulan belakangan. Saat ditemui di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat, 27 September lalu, Weli-rang mengatakan tidak bisa berbicara tentang Pepsi. “Saya kira dalam satu-dua hari ini corporate secretary perusahaan akan memberikan pengumuman,” tuturnya.
Baru pada Jumat, 4 Oktober lalu, Corpo-rate Secretary PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) Gideon A. Putro membeberkan status Pepsi ke Bursa Efek Indonesia. Perjanjian lisensi produksi (ex-clusive bottling agreement/EBA) antara PT Anugerah Indofood Beverage Makmur—anak usaha ICBP—dan Pepsi telah berakhir pada 2019. “Kami sepakat tidak melanjutkan jangka waktu EBA karena alasan komersial,” ujar Gideon.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan Triyono Prijosoesilo, alasan bisnis dan komersial itu bisa berarti tiga hal: perkara produksi, distribusi, atau merek dagang. “Tapi kami tidak tahu bagaimana detailnya,” tuturnya, Kamis, 10 Oktober lalu.

Adapun bagi Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S. Lukman, alasan komersial bisa saja terkait dengan merek dagang. “Bisa jadi tidak ada kesepahaman,” katanya saat dihubungi, Selasa, 8 Oktober lalu.

Tapi Triyono dan Adhi kompak mengatakan industri minuman ringan memang sedang lesu darah. Sepanjang 2019, menurut Triyono, tidak ada pertumbuhan di industri itu. Hanya segmen minuman bersoda yang tumbuh sedikit, sekitar 4 persen. Itu pun soda secara umum. “Mau soda rasa buah lemon atau kola, jadi satu,” ujar Triyono.   

Hengkangnya Pepsi seakan-akan menandai berakhirnya perang minuman kola di Indonesia. Kisah PepsiCo, produsen makanan dan minuman dengan pendapatan US$ 64,66 miliar atau sekitar Rp 913 triliun pada 2018, dan Coca-Cola, yang meraup pendapatan US$ 31,85 miliar atau sekitar Rp 450 triliun dari bisnis minuman, adalah kisah epik persaingan bisnis terbuka merek dagang terpopuler dunia.

Perang memanas sejak 1977 lewat kampanye Pepsi Challenge, yang menantang orang-orang minum dua gelas kola tanpa merek dengan mata tertutup. Hasilnya menunjukkan mayoritas orang lebih menyukai gelas yang berisi Pepsi. Kampanye ini sukses besar dan Pepsi sempat mencuri pasar Coca-Cola alias Coke. Persaingan PepsiCo dan Coca-Cola merembet ke belahan dunia lain dalam bentuk yang terus dimodifikasi.

Namun persaingan sengit tidak terlalu terasa di Indonesia. Pakar pemasaran, Hermawan Kartajaya, dalam bukunya yang terbit pada 2002 sempat berharap masuknya Grup Salim ke PepsiCo Indonesia bisa menentang dominasi Coke. “Pepsi kini dipegang oleh Grup Salim, perusahaan yang berkantung tebal (deep-pocket),” tulisnya dalam Hermawan Kartajaya on Marketing.

Salim sudah berkongsi dengan PepsiCo Inc pada 1990 ketika mendirikan perusahaan patungan makanan ringan bersama Frito-Lay Netherlands Holding BV, perusahaan afiliasi PepsiCo. Baru pada 1995 Salim membawa minuman kola Pepsi lewat PT Gapura Usahatama, yang bersekutu dengan Seven-Up Nederland BV, perusahaan afiliasi PepsiCo lain, mendirikan pabrik PT Pepsi-Cola Indobeverages di Purwakarta, Jawa Barat.

Franciscus Welirang/ TEMPO/M Taufan Rengganis

Pada 12 September 2013, Indofood, yang berkongsi dengan Asahi, membeli Pepsi-Cola Indobeverages senilai US$ 30 juta. Saat dibeli, Pepsi-Cola—kini PT Prima Cahaya Indobeverages—sedang memproduksi tiga merek minuman, yaitu Pepsi, 7up, dan Tropicana Twister. Pepsi-Cola juga memproduksi Fruitamin dan Tekita, dua minuman merek lokal yang dipasarkan Indofood. Pada akhir 2012, pendapatan Pepsi-Cola sebesar Rp 714,4 miliar.

Setelah akuisisi tersebut, PepsiCo praktis hanya menjadi pemberi lisensi. Pada 12 September 2013, PepsiCo memberikan hak memproduksi, mendistribusikan, dan menjual minuman ringan merek Pepsi kepada PT Indofood Asahi Sukses Beverage (IASB), perusahaan patungan Salim-Asahi urusan distribusi, selama lima tahun.

IASB lalu meneken perjanjian produksi dengan Prima Cahaya, yang dimiliki PT Asahi Indofood Beverage Makmur (AIBM), kongsi Salim-Asahi di bidang produksi. AIBM, yang sejak tahun lalu berganti nama menjadi Anugerah Indofood Barokah Makmur, menjadi divisi minuman PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).

Selama empat bulan pada 2013, divisi minuman hanya mencatatkan penjualan sekitar Rp 218,9 miliar, dengan margin usaha negatif, akibat biaya investasi awal, iklan, dan promosi produk baru. Nasib itu berlanjut. Dari laporan keuangan ICBP dan INDF sepanjang 2013-2018, divisi minuman Indofood, yang di dalamnya terdapat Pepsi, tak pernah mencapai margin usaha yang positif.

Pada 2014, penjualan divisi minuman memang naik menjadi Rp 1,92 triliun, tapi margin usaha minus 18,3 persen. Pada 2015, penjualan turun menjadi Rp 1,84 triliun dengan margin usaha minus 18 persen.

Pada 2016, penjualan anjlok menjadi Rp 1,67 triliun dengan margin operasi minus 20,1 persen. Pada 2017, penjualan naik menjadi Rp 1,72 triliun dengan laba usaha minus 19,3 persen. Tahun lalu, penjualan divisi minuman naik sedikit menjadi Rp 1,83 triliun tapi dengan margin usaha masih minus 16,3 persen. Divisi minuman mencatatkan kinerja terburuk dibanding divisi lain di ICBP dengan margin usaha yang selalu minus dua digit.

Variasi produk PepsiCo yang beredar juga naik-turun. Pada 2013-2014, Indofood masih memproduksi empat merek minuman sekaligus, yaitu Pepsi kola, 7up, Mirinda, dan Tropicana Twister. Pada 2015, variannya tinggal Pepsi kola. Indofood sempat mencoba memasarkan Sting pada 2017, minuman energi milik PepsiCo. Tapi, dalam laporan keuangan Indofood tahun lalu, produk lisensi PepsiCo yang diproduksi tinggal kola.

Pada 2018, saat Indofood berusaha menahan laju bisnis minumannya, Asahi malah keluar dari kongsi pada Maret. Sejak itu nama perusahaan berubah menjadi Anugerah Indofood Barokah Makmur. Saat itu divisi minuman Indofood tersebut sedang mengoperasikan 19 pabrik dengan total kapasitas produksi 3 miliar liter per tahun. Dalam laporan itu juga tertulis Indofood memperpanjang lisensi Pepsi setahun hingga 2019. Perpanjangan lisensi itu yang pertama dan terakhir. Franciscus Welirang tidak menjawab ketika ditanya apakah Pepsi hengkang karena jualannya merugi di Indonesia.

Namun Triyono Prijosoesilo percaya Pepsi akan segera kembali. “Tidak mungkin Pepsi begitu saja meninggalkan pasar Indonesia yang sebesar ini,” tuturnya. Tempo telah berusaha menghubungi PepsiCo Inc, yang berkantor di New York, Amerika Serikat, melalui alamat surat elektronik perusahaan untuk menanyakan apakah benar mereka hanya keluar sementara dari Indonesia. Namun PepsiCo Inc belum memberikan jawaban.

KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI, DIAS PRASONGKO (JAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus