Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebun karet Fauzi Hasballah di Desa Lau Tador, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, kini tinggal delapan ratus an hektare. Enam belas tahun lalu, keluarganya memiliki lahan hampir dua kali lipat. Pada 1994, atas persetujuan keempat saudaranya, ia ”membongkar” sebagian kebun karet, dan menggantinya dengan kelapa sawit. Tiga pabrik pengolah karet pun dilikuidasi, disisakan satu buah.
Rendahnya harga karet, menurut Fauzi, memaksa PT Gotong Royong perusahaan perkebunan milik keluarganya mengambil terobosan. Pilihan jatuh pada tanaman sawit yang ketika itu diyakini memiliki prospek lebih cerah ketimbang karet. Gara-garanya, harga karet terus berada di dasar, tidak banyak beranjak dari setengah dolar Amerika per kilogram. ”Sekitar dua puluh tahun harga berada di titik terendah,” kata Corporate Executive Officer (CEO) Gotong Royong ini kepada Tempo, Selasa dua pekan lalu.
Kini, Fauzi generasi kedua keluarga ini cuma bisa tersenyum kecut menyesali aksi per usahaannya pada masa lalu. Karet kini justru sedang menunjukkan keperkasaannya. Harga komodi tas ini mampu menembus US$ 3 per kilogram, naik enam kali lipat dibanding pada 2000. Kenaikan harga di pasar dunia itulah yang membikin kinerja perdagangan karet nasional kinclong.
Hasil survei ekonomi Danareksa Research Institute menunjuk kan tren peningkatan ekspor karet dan barang dari karet pada triwulan pertama tahun ini. Pada Januari, misalnya, ekspor mencapai US$ 521,1 juta. Bulan berikutnya naik menjadi US$ 654,4 juta. Tahun lalu, pengiriman pro duk ini ke luar negeri pada Januari dan Februari berturut-turut hanya US$ 284,1 juta dan US$ 298,1 juta.
Permintaan karet dunia memang sedang menanjak seiring dengan mulai pulihnya penjualan mobil dunia. CEO Daimler Dieter Zetsche meramalkan penjualan mobil dunia tahun ini akan tumbuh 3-4 persen. Penjual an kelompok usaha yang berpusat di Jerman itu pada triwulan pertama tahun ini naik sampai 11 persen menjadi 271 ribu. Bahkan penj ualan Mercedes naik 27 persen. Padahal tahun lalu Daimler merugi.
Perbaikan kinerja ekspor karet tersebut turut mengerek kinerja ekspor nonmigas nasional di samping kenaikan harga bahan bakar mineral sebagai penopang utama perbaikan ekspor. Badan Pusat Statistik mencatat kenaik an ekspor nonmigas per Maret US$10,65 miliar, naik 18,40 persen dibanding Februari. Atau secara kumulatif, tiga bulan pertama tahun ini mencapai US$ 28,89 miliar, naik 46,66 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu.
Indonesia adalah eksportir ka ret terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Tahun lalu, produksi karet mentah nasional mencapai 2,44 juta ton, 80 persennya dieks por. Tahun ini, Indonesia menar getkan ekspor 2,5 juta ton, masih kalah dibanding Negeri Gajah Putih, yang menyuplai 2,7 juta ton ke pasar internasional. ”Tahun lalu jeblok karena pembeli utama kita, Amerika, terkena krisis,” kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Suharto Honggokusumo.
Tingginya harga inilah yang membuat banyak petani mempertahankan kebun karet milik mereka. Zuhri, petani karet di Kelurahan Sambutan, Kecamatan Samarinda Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, salah satunya. Ia tak hendak mengikuti kawan-kawannya yang berpaling ke sawit. Sebaliknya, ia ingin memperluas area, yang saat ini cuma setengah hektare. April lalu, pria 59 tahun ini menikmati betul harga getah sadapannya yang laku Rp 9.500 per kilogram. ”Tertinggi selama saya menjadi petani karet,” katanya kepada Tempo.
Persoalannya adalah tingkat produktivitas. Ini erat kaitannya dengan usia dan kualitas tanaman. Umur pohon karet waris an orang tua ini sudah 60 tahun lebih. Batangnya gembrot segede drum. Bibitnya juga berkualitas lokal. Karena itu, getahnya mi nim. Tiga hari terakhir, Zuhri cuma bisa mengumpulkan 30 kilogram. Malah, bila hujan tiba, ia tak panen. Batang pohon yang basah menyebabkan getah tak keluar. Alhasil, canting penam pungan pun melompong.
Kakek dua cucu ini berharap mendapatkan bantuan bibit unggul agar getah lebih mancur. Ia pernah mengikuti studi banding ke Perkebunan Inti Rakyat karet di Perangat, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di sana, tanaman karet slim, tapi getah yang mengalir bisa dua kali lipat.
Suharto menambahkan, rata-rata kebun karet Indonesia menghasilkan 1.000 kilogram per hektare setahun. Angka ini tentu jauh di bawah Thailand atau India yang sudah menembus 1.700 kilogram, atau Malaysia 1.500 kilogram. Sebab, baru beberapa hektare kebun yang telah diremajakan. Masih ada 400-an ribu hektare yang belum menggunakan klon unggul.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi membenarkan, banyak tanaman karet uzur yang mesti diperbarui. Namun masih ada dilema. Ketika harga bagus seperti saat ini, petani ogah menebang tanaman. Sebaliknya, pada saat harga jatuh, mereka tidak memiliki dana untuk reinvestasi.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Achmad Mangga Barani, dalam koordinasi pengembangan karet rakyat nonrevitalisasi April lalu, mengatakan peremajaan dilakukan melalui pengembangan karet nonrevitalisasi, seperti perluasan lahan. Program yang dimulai sejak 2007 ini diharapkan bisa melebarkan area kebun karet yang saat ini 2,4 juta hektare.
Tahun ini, pemerintah me nargetkan perluasan kebun 8.688 hektare di 16 provinsi, 51 kabupaten. Pada tahun sebelumnya, program ini menghasilkan 7.035 hektare di 13 provinsi, 43 kabupaten. Pemerintah mengalokasikan Rp 20 juta per hektare dalam anggaran pendapatan dan belanja negara tahun ini. Artinya, dengan target 8.688 hektare, subsidi yang disiapkan sekitar Rp 173,7 miliar.
Gotong Royong tak kalah ekspansif. Perseroan melebarkan sayap ke Perlak, Nanggroe Aceh Darussalam, kendati faktor keamanan membuat Fauzi dag-dig-dug. Nyatanya, mereka membeli 4.000 hektare lahan. Tak cuma untuk kebun karet, rencananya tanah juga akan ditanami sawit dan cokelat. Proses peremajaan tanaman tua pun akan dilakukan besar-besaran.
Masa keemasan karet awal tahun ini meningkatkan optimisme Fauzi. Puncaknya, pada April lalu, harga mencapai US$ 3,80 per kilogram. Dengan mengoptimalkan satu pabrik pengolahan karet yang tersisa, Gotong Royong masih kebanjiran fulus. Pada harga dunia US$ 3, lateks karet mentah yang telah diolah produksi PT Gotong Royong laku Rp 25 ribu per kilogram. Padahal setiap hektare kebun karetnya menghasilkan getah mentah 200 kilogram per bulan.
Saat ini, pemasukan dari kebun karet hampir dua kali lipat sawit. Karet menghasilkan Rp 62 juta tiap hektare per tahun, sedangkan sawit sekitar Rp 37 juta. Toh, Fauzi tak kemaruk mengharapkan harga akan terus naik. Keinginannya adalah harga stabil. ”Di kisaran US$ 2,5 per kilogram itu akan baik untuk produsen dan konsumen,” katanya. Jika stabil, tak cuma Fauzi yang untung. Indonesia juga bakal mengeduk uang hijau berlipat ganda.
Produksi dan Ekspor Karet Mentah Indonesia (Juta Ton)
2002 | 2003 | 2004 | 2005 | 2006 | 2007 | 2008 | 2009 | |
Produksi | 1,63 | 1,79 | 2,07 | 2,27 | 2,64 | 2,76 | 2,75 | 2,44 |
Ekspor Karet | 1,5 | 1,7 | 1,9 | 2 | 2,3 | 2,4 | 2,6 | 1,99 |
Retno Sulistyowati, Viva Kusnandar (PDAT), Soetana Monang Hasibuan (Medan), Firman Hidayat (Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo