Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Belajar dari <font color=#FF0000>Kasus Budi</font>

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memutuskan dua dokter Rumah Sakit Siloam Lippo Karawaci, Tangerang, bersalah. Tapi tetap saja sulit membuktikan dugaan malpraktek.

31 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alfonsus Budi Susanto susah payah menapaki anak tangga gedung Konsil Kedokteran, Jakarta Selatan. Pria 60 tahun itu harus dibantu dua asistennya serta tongkat penyangga. Bukan karena badannya tambun, melainkan sebagian tubuhnya lumpuh.

Tekadnya kuat. Sebab, hari itu, Rabu pekan lalu, merupakan saat yang menentukan setelah konsultan manajemen terkenal itu menanti selama sekitar dua tahun. Ya, A.B. Susanto ingin mendengar langsung putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) menyangkut kelum­puhan, yang tidak seharusnya dia derita.

Majelis memang akhirnya memutuskan dua dokter yang menangani Budi, yaitu dokter ahli bedah saraf Eka Julianta Wahjoepramono dan dokter Julius July, bersalah. Majelis yang terdiri atas Suyaka Suganda, Merdias Alma­tsier, Budi Sampurna, Ismayati, dan Otto Hasibuan menilai tindakan Eka dan Julius melanggar disiplin kedokteran. Mereka bertindak yang tidak seharusnya, tidak memberikan penjelas­an memadai, seperti soal risiko yang mungkin dihadapi pasien. Peralihan pena­nganan dari Eka kepada Julius juga dinilai salah. Dokter Eka dijatuhi sanksi disi­plin dengan pencabutan izin praktek tiga bulan, sedangkan dokter Julius mendapat skors dua bulan.

Sementara itu, pihak Rumah Sakit Siloam Lippo Karawaci, tempat dokter Eka dan Julius bekerja, menyatakan menghormati rekomendasi Majelis Kehormatan. ”Kami akan mengajukan pembelaan, menggunakan hak yang diberikan MKDKI,” ujar Division Head or Corporate Marketing Communication Siloam Hospital Amelia Hendra kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Diharapkan, Majelis akan memberikan rekomendasi kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk mengubah putusan sanksi disi­p­lin tersebut.

l l l

Tragedi yang menimpa Budi bera­wal dari rasa pegal di bagian punggung, Oktober 2005. Karena merasa nyeri, Budi berobat ke Rumah Sakit Siloam Ka­rawaci, Tangerang. Ketika itu, dia ditangani dokter Eka dan tubuhnya dipindai dengan magnetic resonance imaging (MRI). ”Kelihatan ada infeksi dan diberi obat, lalu terasa sembuh,” Budi mengisahkan.

Ternyata Budi tidak benar-benar pulih. Beberapa bulan kemudian nyeri bertambah. Setelah dicek ulang, ternyata dua ruas di tulang belakang, yang disebut Th 7 dan 8, agak keropos. Dokter Eka menyarankan Budi disuntik semen untuk mencegah fraktur (patah tulang) yang dapat mengakibatkan kelumpuhan. Pemimpin Jakarta Consulting Group itu mengaku ngeri dengan saran tersebut. ”Karena saya pernah sekolah kedokteran, jadi tahu betapa ngerinya mengobati tulang belakang itu,” kata Budi, yang juga dokter ahli diabetes lulusan Universitas Dusseldorf, Jerman.

Toh, peringatan dokter Eka soal bahaya tulang patah dan kelumpuhan menghantui pikirannya. ”Kalau sampai jatuh terpeleset, dapat lebih berbahaya,” kata-kata itu masih terngiang-ngiang. ”Saya teringat karena sering traveling, jika ada hal-hal yang tak terduga, misalnya guncangan pesawat atau kendaraan lainnya, malah berbahaya.”

Setelah lebih dari dua tahun sejak peringatan sang dokter, akhirnya Budi mengikuti saran Eka. ”Saya pikir-pikir daripada berutang, sekaligus saja membereskan hal ini agar seterusnya lebih enak,” katanya. Keputusan itulah awal dari segala bencana pada dirinya.

Saat itu Sabtu, pas hari raya Nyepi 2008, Budi dibawa ke kamar operasi, dan dibius total—meski dijanjikan hanya dibius lokal. Saat ditanya, menurut Budi, dokter Eka menyatakan lebih tepat anestesi umum. ”Dokter Eka sempat menyalami saya di kamar operasi,” ujarnya.

Seusai operasi, secara refleks Budi mengecek kemampuan kaki kiri dan kanan. Tapi kaki kiri tak bisa bergerak sama sekali. Bahkan Budi tak bisa ba­ngun untuk duduk, dan selalu kembali jatuh tertelentang. Namun, yang bisa ditanya Budi hanya dokter Julius, bukan Eka. Sejak Budi sadar, dokter ahli bedah saraf batang otak itu tak dapat ditemui.

Pernyataan resmi tim dokter Siloam Karawaci, Budi terkena spinal shock, guncangan pada sumsum tulang belakang. Terapinya, Budi harus diberi cortison dosis tinggi, yaitu 500 miligram, tiga kali sehari, selama lima hari. ”Saya juga memang pernah belajar kedokteran, memang benar kalau sudah terjadi seperti itu harus diberi obat anti-shock,” ujar Budi.

Agar memperoleh pendapat alternatif, Budi dibawa keluarganya ke ­Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Setelah dicek ulang dengan MRI, ditemukan cedera pada sumsum tulang belakang sebelah kiri. Akibatnya, menurut dokter di Singapura, Alvin Hong, dengkul dan telapak kaki tak dapat bergerak. Dalam laporan medis Alvin, diduga jarum sebelah kiri saat operasi merusakkan tulang sebelah kiri. Itulah yang kemudian menyebabkan kelumpuhan.

Budi berusaha mencari penjelasan dari dokter Eka ataupun Rumah Sakit Siloam, tapi tak bersambut. Dia lalu mengadukan nasibnya ke Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia yang diketuai dokter Marius Widjajarta. Aduan itu diteruskan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, April 2008.

Budi juga menggugat Eka dan Siloam secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pertengahan Maret lalu gugatan itu ditolak pengadilan, Budi naik banding melalui pengacara Bambang Widjojanto dan kawan-kawan.

l l l

Dua tahun memang bukan waktu yang pendek untuk menunggu keputusan MKDKI. Menurut Ketua Majelis, dokter Merdias Almatsier, lamanya proses bukan karena Majelis mengabaikan laporan, melainkan semata-mata karena anggotanya terbatas, hanya sebelas orang.

Sementara itu, majelis yang baru berdiri sejak empat tahun silam itu harus menangani laporan dari seluruh Indonesia. Pada 2008, ada 19 pengaduan. Setahun berikutnya pengaduan mening­kat menjadi 36 kasus. Sampai pertengahan tahun ini ada 16 pengaduan. ”Meningkatnya pengaduan bisa karena masyarakat baru mengetahui ­MKDKI atau bisa juga karena dokter banyak membuat kesalahan,” kata Merdias.

Keputusan yang diambil Majelis Kehormatan yang paling ringan adalah tidak ada pelanggaran disiplin. Selanjutnya, ada pelanggaran ringan, lalu peringatan dengan dicabut sementara izin praktek maksimum setahun, diminta ikut pendidikan kembali, atau dicabut selamanya. ”Kalau selamanya, ya selesai karier dokter itu,” ujar Merdias.

Sampai saat ini, menurut Merdias, belum ada izin dokter yang dicabut selamanya. ”Paling hanya dicabut sementara dan ada kewajiban mengikuti pendidikan,” katanya. Konsil Kedokteran dengan kolegium sang dokter menetapkan lama pendidikan. ”Tujuannya meningkatkan mutu dokter itu,” ujar bekas Direktur Rumah Sakit Cipto Ma­ngunkusumo, Jakarta, itu.

Sanksi Majelis memang tampak ”ringan” bila dibanding akibat yang diderita korban. Tidak mengherankan bila timbul anggapan Majelis cenderung membela rekan seprofesi. ”Kalau melapor ke MKDKI, sanksinya administratif. Itu menguntungkan para dokter,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Iskandar Sitorus.

Namun Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Zaenal Abidin tidak sepakat. Menurut Zaenal, tak ada dokter yang punya niat jahat mencelakai pasien. Karena itu, dia sepakat kasus-kasus dugaan malpraktek diselesaikan dengan cara mediasi. ”Putusan ­MKDKI memang untuk kepentingan internal profesi. Kalau proses hukum, baru untuk publik,” katanya. ”Kalau ada ke­lalaian, ya ganti rugi. Kalau dipaksakan dipidana, tidak banyak ahli hukum, termasuk hakim, yang paham dunia kedokteran.”

Malpraktek, kelalaian, atau kece­lakaan medis dalam dunia kedokteran, menurut Zaenal, sulit dibuktikan. Sebab, dalam dunia kedokteran, bukan hasil yang dinilai, melainkan proses atau upaya yang dilakukan dokter. Namun harus diakui—seperti kata mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohamad—posisi pasien ketika berhadapan dengan dokter atau rumah sakit memang lemah, sehingga harus ada orang gigih seperti Budi. ”Agar menjadi pelajaran, pasien apa pun tingkat sosialnya harus dila­yani sungguh-sungguh.”

Ahmad Taufik, Tito Sianipar

Malpraktek, Kelalaian, dan Kecelakaan Medis
Perbedaan malpraktek dengan kelalaian sangat tipis. Beberapa ahli bahkan berpendapat kelalaian adalah malpraktek. Dokter spesialis anestesi lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Anny Isfandyarie, penulis Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, memperjelas perbedaan malpraktek dan kelalaian.

Malpraktek
Perbuatan dokter yang secara sengaja melanggar undang-undang, misalnya pengguguran kandungan, eutanasia (memenuhi permintaan bunuh diri), dan memberikan surat keterangan palsu atau isinya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dilakukan secara sadar. Pelaku tidak peduli pada akibat walau diketahui tindakannya melanggar undang-undang.

Kelalaian
Perbuatannya tidak sengaja, seperti tertukarnya rekam medis, keliru membedah, dan lupa memberikan informasi kepada pasien. Dari motifnya, dokter tidak menduga timbul akibat tindakannya.

Kecelakaan Medis
Peristiwa tak terduga, tindakan tidak disengaja, dokter sudah sungguh-sungguh bekerja sesuai dengan standar profesi medis dan etika profesi, sudah berhati-hati, dan berkonsultasi dengan dokter ahli lain, jika ditemukan yang bukan keahliannya. Namun terjadi juga akibat seperti lumpuh, cacat, bahkan kematian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus