Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bersaing Atraksi

Kenaikan harga obat di apotik dipengaruhi oleh macam-macam servis yang diberikan. Usulan untuk mengaktifkan kembali pabrik-pabrik obat pemerintah untuk dapat mengendalikan harga.(eb)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK perusahaan mengeluh kalau harus terus-terusan membayari biaya pengobatan para pegawainya. Apalagi bila anak isteri ikut jadi tanggungan. Semua itu baru mulai terasa sebagai pos yang menelan banyak duit, setelah apotik-apotik di Indonesia memasang tarif baru. Kenop-15 lah yang oleh para pemilik apotik dianggap sebagai biang keladinya. Tapi dengan alasan itu pula harga obat naik tak kepalang tanggung. Dan tidak seragam. Kenaikan harga itu berkisar antara 33,3% sampai 50%. Seorang ibu yang ingin mengambil sebotol obat batuk di apotik MF jadi tercengang melihat harganya yang dulu Rp 2.550 kini sudh menjadi Rp 3.350, naik dengan 35%. Tapi di apotik W yang cuma beberapa ratus langkah dari apotik pertama obat batuk itu lebih murah Rp 150. Belum juga puas, ibu itu pergi ke apotik lain yang tanpa AC. Dan selisihnya lumayan: Rp 350. Perbedaan harga karena persaingan servis tentu masih bisa dibenarkan. Sekalipun dalam hal apotik para pembeli itu tidak dihadapkan dengan banyak pilihan. Setidaknya, membeli obat itu tak sama dengan misalnya membeli sepatu di Pasar Baru. Umumnya orang toh akan membayar harga yang disodorkan kasir. Tapi kalau perbedaan harga untuk sebotol obat batuk saja sudah sampai ratusan, jadi bisa ribuan rupiah selisihnya bila obat yang diambil itu banyak macamnya, daftar HET yang dikeluarkan Departemen Perdagangan hanya berlaku sebagai sekedar pegangan. Akan halnya tingginya harga obat itu tak satupun orang apotik bersedia untuk menerangkannya. Kalaupun ada, mereka menuding pabrik obatlah yang menjadi sumbernya "Harga dari pabriknya sudah mahal," kata seorang pegawai apotik di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Bisa jadi begitu. Apalagi mengingat ramuan bahan mentah obat dan alat kemasannya yang warna-warni dan menarik itu, semuanya masih impor. Tapi seorang manajer pemasaran pabrik obat di Jakarta mengaku pihaknya "cuma bisa menghimbau agar para apotik tak menjual obatnya terlalu tinggi." TV Berwarna Sebagai sesama tukang obat, manajer itu tak ingin menuding apotik. Sekalipun begitu, dia bisa memberi contoh beda harga yang rata-rata sampai 50% lebih tinggi di apotik-tertentu di Kebayoran Baru dibanding dengan yang didekat bioskop Roxy, Jalan Kiai Tapa, Jakarta. "Selain servisnya cepat, peredaran obatobatan di apotik Kebayoran itu pesat," katanya. "Jadi saya selalu mendapat obat yang fresh. " Persaingan di antara apotik, terutama di Jakarta, tampak kian seru. Bahkan untuk lebih menarik pembeli, ada yang suka memberi korting, disertai 'hadiah' gelas, sabun atau Kupon. Ada juga yang memberi minuman cuma-cuma. Akhir-akhir ini bahkan disediakan atraksi yang bisa membuat pembeli tak mendengar bila dipanggil nama atau nomornya: TV berwarna. Maka kalau obatnya pun jauh lebih mahal dari apotik yang kecilan, mafhumlah orang kenyamanan itu ada harganya. Dan yang harus mehanggung konsumen juga. Kalau benar demikian, apa yang bisa dilakukan pemerintah agar warganya yang sakit tidak terlalu disakiti kantongnya? "Mengaktifkan kembali pabrik-pabrik obat pemerintah," kata Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat kepada TEMPO. Dengan kata lain, "pemerintah ingin membuktikan harga obat itu tak perlu demikian mahal." (lihat box Wawancara). Tapi sembari menunggu segarnya kembali pabrik-pabrik obat pemerintah yang umumnya agak terlantar, baiklah didengar suara seorang dokter pemerintah di Kudus, yang menulis surat pembaca di Sinar larapan akhir bulan lalu. Harga obat Antalgin buatan PN Kimia Farma, menurut dokter di Kudus itu, terbukti lebih mahal dari buatan pabrik lokal lainnya. Di kalangan yang mengetahui harga obat, keluaran KF umumnya dianggap lebih mahal. Untuk jenis tetrasiklin yaitu bekatetracyn, yang HET-nya Rp 32,90 per kapsul, keluaran KF itu diketahui 50% lebih tinggi dari keluaran beberapa pabrik lainnya. Apakah yang buatan pabrik obat milik negara itu lebih mujarab dari lainnya, mudah-mudahan begitu. Tapi kalau kelak rencana mengaktifkan kembali pabrik-pabrik obat pemerintah itu jadi dilaksanakan, semoga saja bisa berfungsi sebagai "pemimpin harga", seperti diidamkan Menteri dr. Suwardjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus