Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Godaan Ted Bates

Perusahaan iklan multinasional AS Ted Bates mulai melancarkan operasinya di Indonesia dengan bekerjasama dengan PT. Kencana Indah, & berganti nama menjadi Bates Advertising Indonesia (bai). (eb)

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGARAN iklan sebesar Rp 105 milyar per tahun masih tetap merupakan makanan yang diincar perusahaan asing meskipun pemerintah telah melakukan kekangan terhadap gerak-gerik mereka. Dari lantai delapan gedung Wisma Antara, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, menempati ruangan sekitar 300 mÿFD, perusahaan iklan multinasional Amerika Serikat Ted Bates mulai melancarkan operasinya awal Oktober. Perusahaan iklan yang punya cabang di 28 negara itu masuk ke Indonesia setelah "kawin" dengan partner lokal PT Kencana Indah dan berubah nama menjadi Bates Advertising Indonesia (BAI). Menurut Direkturnya, P. Hartawan, BAI dikenakan kewajiban membayar royalt 2% untuk tiap iklan perusahaan multinasional yang memang sudah jadi langganan Bates, sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak. BALI mulai ramai dibicarakan kalangan periklanan sejak Juli yang lalu ketika iklannya muncul di berbagai koran. Iklan tersebut dimuat dalam bahasa Inggris, mencari beberapa tenaga ahli periklanan untuk menempati pos-pos yang masih lowong. "Iklan ini secara tak disadari oleh yang memasang adalah iklan dari perusahaan asing yang jelas-jelas menurut peraturan pemerintah dilarang beroperasi," kata Nuradi, direktur Intervista. Selain itu, menurut dia alamat yang digunakan dalam iklan itu pun ada lah alamat perusahaan asing Coopers & Lybrand. Mengapa pimpinan Intervista begitu keras berbicara mengenai BAI ini bisa dimengerti. Dengan beroperasinya perusahaan iklan itu berarti Intervista kehilangan kliennya yang terdiri dari Colgate dan Palmolive. Sebab di luar negeri seluruh promosi kedua produk kosmetika itu memang berada di tangan Bates. Di samping itu dia juga kehilangan 2 tenaga account executtve (pencari langganan) yang pindah ke BAI. Kedua tenaga penting itu yang memperoleh gaji sekitar Rp 400.000, rupanya tergoda dengan bujukan gaji dua kali lipat yang akan mereka peroleh di perusahaan baru itu. Bersama mereka ikut pula seorang sekretaris dan seorang dari bagian media. Dummy Beberapa perusahaan iklan yang lain juga kena getah. Pancingan iklan BAI memang cukup kuat di tengah-tengah tenaga periklanan yang memang seperti "bajing loncat" sikapnya. Gampang pindah kalau saja ada tawaran yang lebih tinggi. P. Hartawan yang memimpin biro iklan tersebut mau berusaha untuk membuat karyawannya mantap bekerja di BAI. Katanya para karyawan yang ikut menggerakkan perusahaan pada saat-saat permulaan akan mendapat saham. "Ini cara kami untuk membuat mereka betah di sini," katanya kepada TEMPO. Nuradi sendiri tidak keberatan terhadap masuknya Bates ke Indonesia asal saja mereka "kawin" dengan perusahaan lokal yang memang sudah sejak lama bergerak di bidang iklan. "Jangan seperti yang sekarang ini dengan jalan mendirikan perusahaan dummy, " ulasnya. Dia mengkhawatirkan cara perusahaan asing masuk dengan mendirikan perusahaan cantolan lebih dulu "bisa menular ke bidang lain, seperti media massa." Karena itu dia menganggap sudah saatnya pemerintah membuat peraturan yang melarang perusahaan cantolan. Filipina katanya sudah maju dalam hal ini. Larinya Colgate dan Palmolive yan sejak lama dipegang Intervista ke Bates Advertising Indonesia menurut Nuradi "tidak mempengaruhi perusahaan. Sebab kebetulan bersamaan dengan larinya kedua klien itu kami dapat pesanan untuk kampanye keluarga berencana di perkotaan." Indra Abidin, salah seorang tokoh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia tidak menganggap seluruhnya kehadiran perusahaan asing itu merugikan. "Kedatangan mereka bisa meningkatkan standar profesi staf lokal dan membuka kesempatan kerja yang baru. Yang penting bagi orang Indonesia adalah agar mereka tidak membiarkan orang-orang asing itu menjalankan perusahaan dan menjadikan orang Indonesia sekedar 'orang depan' saja," katanya. Nuradi sendiri beranggapan saat ini kemahiran tenaga Indonesia sudah cukup tinggi untuk tidak memakai tenaga asing lagi. Dicabut Visanya Namun bagaimana sampai orangorang asing itu dibolehkan beroperasi di sini? Didi Abdurachman, direktur pembinaan sarana perdagangan pada Departemen Perdagangan dan Koperasi mengakui, "belum ada peraturan yang kuat untuk mengatur biro iklan asing di Indonesia." Menurut Didi, "yang ada hanya undang-udang no. 6 tahun 1968 mengenai penanaman modal asing." Dia juga menerangkan kerjasama antara biro iklan nasional dengan asing dalam bentuk saham, seperti terjadi dalam bidang industri dan perusahaan kayu, tak diizinkan. Dengan kata lain, "orang-orang asing itu diizinkan bekerja sebagai tenaga ahli," katanya. Menurut Didi, 45 tahun, memang sebaiknya biro iklan nasional berhubungan dengan biro iklan internasiqnal, untuk mengembangkan perusahaan. "Tapi di dalam negeri harus kita yang aktif," katanya. Sampai sekarang pejabat Departemen Perdagangan itu tak pernah mengetahui bahwa ada perusahaan iklan multinasional yang beroperasi di Indonesia. "Setahu saya mereka itu pribumi semua, barangkali memang mereka menggunakan tenaga kerja asing," ucapnya tak pasti. Dia juga mengakui kalau sekitar tahun 1970-an perusahaan iklan raksasa seperti Mc Cann Ericson dari Amerika bisa masuk ke Indonesia. Sebab, menurut ayah dari lima anak ini, dalam tahun itu belum ada peraturannya. "Undangundang No. 6 tahun 1968 itu sendiri mulai berlaku pada 1 Januari 1978," kata Didi. Tapi bagaimana kalau misalnya ketahuan ada perusahaan iklan multinasional melakukan operasinya di Indonesia melalui suatu perusahaan dummy, seperti disinyalir Nuradi dari Intervista? "Itu bisa kami cabut visanya. Itu berarti dia harus cepat meninggalkan Indonesia," jawabnya. Sekalipun demikian, Didi cepat menjelaskan bahwa pemberian izin itu sebenarnya bukan dilakukan oleh kantornya, tapi oleh Kanwil Perdagangan DKI. Nuradi sendiri, yang sudah mendirikan Intervista selama 18 tahun, menilai apa yang dilakukan biro iklan Bates di Indonesia adalah legal. "Sebab ada perusahaan pribuminya berdasarkan perjanjian manajemen . . . " Meskipun begitu, ayah dari dua anak itu, yang merasa jengkel karena kehilangan empat tenaga kerjanya, toh beranggapan, "tak jelas siapa sebenarnya Bates itu di Indonesia." Biro iklan Bates sendiri berinduk di AS dengan nama Ted Bates, memiliki 65 kantor di 28 negara dengan 3950 karyawan. Dan George Patterson, biro iklan terbesar di Australia telah mereka beli pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus