ANGGARAN iklan sebesar Rp 105 milyar per tahun masih tetap
merupakan makanan yang diincar perusahaan asing meskipun
pemerintah telah melakukan kekangan terhadap gerak-gerik mereka.
Dari lantai delapan gedung Wisma Antara, Jalan Merdeka Selatan,
Jakarta, menempati ruangan sekitar 300 mÿFD, perusahaan iklan
multinasional Amerika Serikat Ted Bates mulai melancarkan
operasinya awal Oktober.
Perusahaan iklan yang punya cabang di 28 negara itu masuk ke
Indonesia setelah "kawin" dengan partner lokal PT Kencana Indah
dan berubah nama menjadi Bates Advertising Indonesia (BAI).
Menurut Direkturnya, P. Hartawan, BAI dikenakan kewajiban
membayar royalt 2% untuk tiap iklan perusahaan multinasional
yang memang sudah jadi langganan Bates, sesuai dengan perjanjian
kedua belah pihak.
BALI mulai ramai dibicarakan kalangan periklanan sejak Juli yang
lalu ketika iklannya muncul di berbagai koran. Iklan tersebut
dimuat dalam bahasa Inggris, mencari beberapa tenaga ahli
periklanan untuk menempati pos-pos yang masih lowong. "Iklan ini
secara tak disadari oleh yang memasang adalah iklan dari
perusahaan asing yang jelas-jelas menurut peraturan pemerintah
dilarang beroperasi," kata Nuradi, direktur Intervista. Selain
itu, menurut dia alamat yang digunakan dalam iklan itu pun ada
lah alamat perusahaan asing Coopers & Lybrand.
Mengapa pimpinan Intervista begitu keras berbicara mengenai BAI
ini bisa dimengerti. Dengan beroperasinya perusahaan iklan itu
berarti Intervista kehilangan kliennya yang terdiri dari Colgate
dan Palmolive. Sebab di luar negeri seluruh promosi kedua produk
kosmetika itu memang berada di tangan Bates. Di samping itu dia
juga kehilangan 2 tenaga account executtve (pencari langganan)
yang pindah ke BAI. Kedua tenaga penting itu yang memperoleh
gaji sekitar Rp 400.000, rupanya tergoda dengan bujukan gaji dua
kali lipat yang akan mereka peroleh di perusahaan baru itu.
Bersama mereka ikut pula seorang sekretaris dan seorang dari
bagian media.
Dummy
Beberapa perusahaan iklan yang lain juga kena getah. Pancingan
iklan BAI memang cukup kuat di tengah-tengah tenaga periklanan
yang memang seperti "bajing loncat" sikapnya. Gampang pindah
kalau saja ada tawaran yang lebih tinggi. P. Hartawan yang
memimpin biro iklan tersebut mau berusaha untuk membuat
karyawannya mantap bekerja di BAI. Katanya para karyawan yang
ikut menggerakkan perusahaan pada saat-saat permulaan akan
mendapat saham. "Ini cara kami untuk membuat mereka betah di
sini," katanya kepada TEMPO.
Nuradi sendiri tidak keberatan terhadap masuknya Bates ke
Indonesia asal saja mereka "kawin" dengan perusahaan lokal yang
memang sudah sejak lama bergerak di bidang iklan. "Jangan
seperti yang sekarang ini dengan jalan mendirikan perusahaan
dummy, " ulasnya.
Dia mengkhawatirkan cara perusahaan asing masuk dengan
mendirikan perusahaan cantolan lebih dulu "bisa menular ke
bidang lain, seperti media massa." Karena itu dia menganggap
sudah saatnya pemerintah membuat peraturan yang melarang
perusahaan cantolan. Filipina katanya sudah maju dalam hal ini.
Larinya Colgate dan Palmolive yan sejak lama dipegang
Intervista ke Bates Advertising Indonesia menurut Nuradi "tidak
mempengaruhi perusahaan. Sebab kebetulan bersamaan dengan
larinya kedua klien itu kami dapat pesanan untuk kampanye
keluarga berencana di perkotaan."
Indra Abidin, salah seorang tokoh Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia tidak menganggap seluruhnya kehadiran
perusahaan asing itu merugikan. "Kedatangan mereka bisa
meningkatkan standar profesi staf lokal dan membuka kesempatan
kerja yang baru. Yang penting bagi orang Indonesia adalah agar
mereka tidak membiarkan orang-orang asing itu menjalankan
perusahaan dan menjadikan orang Indonesia sekedar 'orang depan'
saja," katanya. Nuradi sendiri beranggapan saat ini kemahiran
tenaga Indonesia sudah cukup tinggi untuk tidak memakai tenaga
asing lagi.
Dicabut Visanya
Namun bagaimana sampai orangorang asing itu dibolehkan
beroperasi di sini? Didi Abdurachman, direktur pembinaan sarana
perdagangan pada Departemen Perdagangan dan Koperasi mengakui,
"belum ada peraturan yang kuat untuk mengatur biro iklan asing
di Indonesia." Menurut Didi, "yang ada hanya undang-udang no. 6
tahun 1968 mengenai penanaman modal asing."
Dia juga menerangkan kerjasama antara biro iklan nasional dengan
asing dalam bentuk saham, seperti terjadi dalam bidang industri
dan perusahaan kayu, tak diizinkan. Dengan kata lain,
"orang-orang asing itu diizinkan bekerja sebagai tenaga ahli,"
katanya.
Menurut Didi, 45 tahun, memang sebaiknya biro iklan nasional
berhubungan dengan biro iklan internasiqnal, untuk mengembangkan
perusahaan. "Tapi di dalam negeri harus kita yang aktif,"
katanya. Sampai sekarang pejabat Departemen Perdagangan itu tak
pernah mengetahui bahwa ada perusahaan iklan multinasional yang
beroperasi di Indonesia. "Setahu saya mereka itu pribumi semua,
barangkali memang mereka menggunakan tenaga kerja asing,"
ucapnya tak pasti.
Dia juga mengakui kalau sekitar tahun 1970-an perusahaan iklan
raksasa seperti Mc Cann Ericson dari Amerika bisa masuk ke
Indonesia. Sebab, menurut ayah dari lima anak ini, dalam tahun
itu belum ada peraturannya. "Undangundang No. 6 tahun 1968 itu
sendiri mulai berlaku pada 1 Januari 1978," kata Didi.
Tapi bagaimana kalau misalnya ketahuan ada perusahaan iklan
multinasional melakukan operasinya di Indonesia melalui suatu
perusahaan dummy, seperti disinyalir Nuradi dari Intervista?
"Itu bisa kami cabut visanya. Itu berarti dia harus cepat
meninggalkan Indonesia," jawabnya.
Sekalipun demikian, Didi cepat menjelaskan bahwa pemberian izin
itu sebenarnya bukan dilakukan oleh kantornya, tapi oleh Kanwil
Perdagangan DKI. Nuradi sendiri, yang sudah mendirikan
Intervista selama 18 tahun, menilai apa yang dilakukan biro
iklan Bates di Indonesia adalah legal. "Sebab ada perusahaan
pribuminya berdasarkan perjanjian manajemen . . . " Meskipun
begitu, ayah dari dua anak itu, yang merasa jengkel karena
kehilangan empat tenaga kerjanya, toh beranggapan, "tak jelas
siapa sebenarnya Bates itu di Indonesia."
Biro iklan Bates sendiri berinduk di AS dengan nama Ted Bates,
memiliki 65 kantor di 28 negara dengan 3950 karyawan. Dan George
Patterson, biro iklan terbesar di Australia telah mereka beli
pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini